Advertisement

Responsive Advertisement

Gunung Sumbing – Pendakian Pertama

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Selamat pagi teman-teman pembaca dan semoga kalian selalu diberkahi kesehatan oleh Allah SWT ya! Udah masuk minggu kedua perkuliahan ini dan akhirnya aku sempatkan untuk posting. Tulisan ini aku tulis waktu liburan kemarin di rumah, dan rencanaku waktu sudah masuk kuliah dan tentunya ada wifi di kos-kosan aku pos. Maklum, kalau lagi di daerah, akses ke internet terbatas dengan kuota yang tidak cukup banyak. Oke, cukup berbasa-basi.

Kabut tebal menemani perjalanan kami, yet, interesting things in front of us!

Oiya sebelum aku bercerita aku mau selalu berpesan agar selalu menghargai lingkungan ya. Bumi kita sama kaya hidup kita, cuma satu dan gak bisa kembali lagi kalau sudah rusak. Sayangi lingkungan mu! Manajemen plastikmu, gunakan sedotan stainless dan lakukan hal-hal lain untuk menjaga lingkungan, oke?

Kali ini aku mau cerita (sesuai dengan judulnya) pengalaman pendakian gunung pertama kali selama aku hidup. Yap, Gunung Sumbing. Gunung ini terletak di Magelang, Jawa Tengah. Disebut sebagai kembarannya dari Gunung Sindoro karena tinggi yang terpaut tidak terlalu jauh dan letaknya yang berdekatan sekali. Kalau kata orang Jawa, “sandingan”. Ketinggian gunung ini mencapai 3.371 mdpl dan mempunyai dua puncak katanya (dan yang aku tahu, wallahua’lam), yakni Puncak Sejati dan Puncak Rajawali. Kedua puncak ini saling berseberangan dan dipisahkan oleh sebuah kawah besar yang sudah lama tidak erupsi sepertinya (jangan sampai).

Dimulai pada pertengahan 2018, dan masa-masa liburan seperti sekarang ini. Aku “dilarang” oleh orang tua untuk pulang ke rumah karena beberapa bulan sebelumnya aku juga baru saja pulang dalam rangka liburan lebaran. Jadilah aku cari-cari rencana untuk menghabiskan liburan agar tidak di Pondok Betung saja. Saya memilih untuk pergi ke Jogja dan menginap di rumah sahabat (eyak sahabat haha) saya, Adi. Waktu itu saya pernah bilang ke Adi, “Di, kalau ada rencana mau ndaki ajak-ajak aku ya!”. Dan ternyata Adi punya rencana untuk mendaki Gunung Sumbing. Ia juga belum pernah mengunjungi gunung ini, namun untuk pengalaman naik gunung, ia lebih jago.

Pada H-1 keberangkatan kami, siangnya Adi mengajakku untuk membeli sandal gunung. Walhasil saya beli sandal yang sampai sekarang masih saya pakai. Sedangkan malamnya, Adi mengajakku untuk ngopi sejenak di “Murni” (walau aku gak minum kopi), tempat ia biasa nongkrong yang terletak di sebelah selatan Jogja (masih di dalam ringroad). Disana ia hendak mematangkan rencana pendakian dan juga menunggu konfirmasi apakah temannya jadi akan ikut atau tidak. Ternyata teman-temannya tidak jadi ikut namun ada satu cewek yang bakal ikut, namanya Indah, teman SMP Adi. Oiya, Ditto juga ikut. Bocah satu ini ternyata juga ada di Jogja dan tidak punya rencana kemana-mana sepertinya sehingga memutuskan untuk ikut. Malam itu, kami pulang sekitar jam 1 dini hari dan langsung tidur sesampainya di rumah Adi untuk menyimpan tenaga.

Pada hari-H, kami bangun pagi dan sarapan dengan menu yang telah dihidangkan oleh ibundanya Adi. Setelah itu, kami segera mandi dan membawa barang-barang yang kami butuhkan. Karena saya masih tidak punya carrier, maka saya harus menyewa. Keberangkatan kami sekitar pukul 8 pagi, kurang atau lebih. Kami menuju “Anak Rimba” terlebih dahulu, tempat penyewaan alat-alat outdoor kepercayaan Adi. Saya menyewa hampir semua toolkit pendakian. Senter, matras, sleeping bag, carrier apa lagi ya? Cukup deh. Setelah itu, kami packing. Aku perlu diajari terlebih dulu gimana cara masukin barang-barang ini ke carrier agar efektif saat dibawa dan efisien ruangannya. Bisa masuk banyak dan carrier terlihat rapi dari luar. Ternyata cukup mudah.

Setelah menerima nota dan selesai packing, kami berangkat. Kami melewati ringroad, Jembatan Jombor, Sleman, Muntilan, Mungkid dan belok ke kiri waktu di lampu merah Grand Artos Magelang. Ternyata, kami juga melewati Akademi Militer yang gerbangnya berwarna hitam pas lihat di internet. Saya takjub sepanjang jalan di Akademi Militer, karena di kanan ada Akmil, dan di kiri ada banyak perumahan tentara gitu. Kurang lebih selama 1 km seperti itu dan hingga kami bertemu lampu merah lagi. Kali ini jalan lurus yang kami ambil hingga kami mulai menapaki jalan pedesaan. Jalanan sudah mulai naik dan kami ada berhenti di masjid untuk melaksanakan sholat dzuhur. Ingat, sholat dijaga ya teman-teman dimana-mana. Karena itu sarana kita mengingat Allah SWT.

Sejak jalanan mulai menanjak, kabut tipis menemani perjalanan kami. Saat perjalanan terus kami lanjutkan, kami terus masuk ke dalam desa-desa di lereng gunung yang asri. Yang aku suka adalah melihat saluran irigasi di sebelah jalan yang kami lalui. Hingga pada suatu saat, saat kabut sudah berganti sangat tebal, bahkan kita gak bisa lihat 5 meter kedepan, jalanan sudah sangat menanjak. Sepeda motor sudah tidak kuat membawa beban seberat 2 orang ditambah carrier ini. Walhasil aku yang dibonceng Ditto dan Indah yang dibonceng Adi harus turun dan jalan sementara mereka keep going dengan membawakan carrier kami. Selama jalan, aku dan Indah hanya melihat kabut tebal dan beberapa simbah-simbah yang naik turun lereng ini. Lalu kami bertemu dengan orang menaiki mobil pickup yang membawa sayuran dan hendak menuju rumahnya diatas. Kami diberikan tumpangan oleh beliau dan jujur, cukup ngeri berada di bak terbuka pickup di medan jalan yang sangat curam seperti ini tanpa bisa melihat apa-apa karena kabut!

Kondisi Desa Butuh, Kaliangkrik, Magelang yang tertutup oleh kabut. Saya penasaran bagaimana cara membangun desa di kemiringan lereng tinggi seperti ini. Menarik kan?

Setelah sampai di tujuan beliau, kami turun. Kami menanyakan kemana arah basecamp Sumbing via Butuh. Kata bapaknya, “Ikutin aja ini jalan ke atas!”. Dan benar saja, tak berapa lama kami bertemu Adi dan Ditto yang hendak menjemput kami kembali menggunakan sepeda motor di tengah jalan. Ini jalan benar-benar curam dan menanjak. Gak bisa dibuat berdua pakai sepeda motor. Salah satu harus ada yang ngalah buat jalan, kecuali motornya sudah di modifikasi ya haha. Tak begitu jauh dari tempat tadi, kami sudah sampai di basecamp, dengan pemandangan kabut sejauh mata memandang. Gak ada yang lain bisa dilihat. Bahkan rumah-rumah di sekitar lereng saja terlihat samar. Dalam hatiku, “Waduh kok berkabut gini -_-. Dan ternyata gini toh penampakan dari basecamp pendakian.”

Kami masuk ke dalam basecamp dan beristirahat. Adi memesan makanan. Aku lupa yang lain ngapain. Karena ini pendakian pertama kali aku, aku gak lupa buat minta doa keselamatan ke orang tua. Alhamdulillah-nya, ada sinyal buat mengirim sms. Waktu itu, aku membaca bacaan yang ada di dinding. Ada salah satu paragraf bilang, “Mendaki gunung adalah masalah hidup dan mati, semuanya ada di tangan sendiri.” Lantas aku langsung merinding membaca itu, ingin rasanya aku minta antar untuk kembali pulang ke Jogja saja. Namun aku berpikir kembali, sudah jauh-jauh sampai sini masa mau tidak dilakukan. Harus aku lawan rasa takut akibat kata-kata tadi dan berani maju ke depan (yaiyalah masa maju ke belakang).

Setelah semuanya siap dan cukup istirahat sehabis perjalanan Jogja-Magelang, kami memulai pendakian. Pada saat sampai di gerbang pendakian, kami melakukan doa bersama dan briefing sedikit dari Adi. Ia mengatakan bahwa jangan melakukan hal-hal aneh dan pelan-pelan saja jika tidak kuat. Yang penting selamat sampai di atas. Setelah itu, kami mulai menapaki tangga bebatuan yang terbentang sepanjang jalan menuju Pos 1. Di samping kanan kiri kami masih banyak tanaman pegunungan seperti sayur mayur. Andaikan tidak ada kabut hari itu, pasti kami bisa melihat pemandangan yang sangat indah di depan kami. Beberapa kali kami bertemu dengan simbah-simbah yang lewat turun membawa gendongan kayu maupun sayur sangat banyak. Kuat sekali walaupun disebut simbah. Kurang tahu berapa lama kami berjalan, akhirnya kami sampai di Pos 1. Pos 1 ada di sebelah kanan jalur naik. Disana kami istirahat dan sholat ashar terlebih dahulu. Di Pos 1 ini kabut sudah mulai tipis dan kami bisa melihat pemandangan sekitar. Puncak Sumbing sudah mulai terlihat, berwarna oranye tertimpa cahaya matahari sore.

Saat kabut sudah mulai hilang karena kami memasuki daerah yang sudah cukup tinggi.


Oke, istirahat cukup, perjalanan lanjut! Jalan selanjutnya menuju Pos 2 hampir sama seperti menuju Pos 1. Cuma disini tangganya sudah mulai tidak rapi, hanya tangga seadanya. Yang kami tapaki, sudah mulai tanah yang berdebu karena kemarau. Kabut sudah tidak ada dan kami bebas melihat ke depan. Kami sudah memasuki hutan pinus yang lebat. Cahaya mentari sore sudah mulai hilang karena ia sudah hendak tidur kembali di ufuk. Kami bertemu beberapa pendaki lain yang dalam perjalanan turun. Perjalanan menuju Pos 2 tidaklah susah dan tidak ada hal-hal aneh terjadi. Saat kami sampai, kami istirahat sebentar dan segera melanjutkan perjalanan agar tidak sampai terlalu malam.

Pemandangan di tengah-tengah perjalanan. Merapi dan Merbabu di seberang sana sudah mau tidur, sudah mau malam. 

Dalam perjalanan menuju Pos 3, mentari sudah benar-benar tenggelam. Kami bisa melihat sunset saat di tengah jalan. Dalam perjalanan menuju Pos 3, banyak jalan yang datar atau kalau kata Adi, “bonus”. Namun, sayangnya kami sudah tidak bisa melihat apa-apa dan hanya mengandalkan cahaya senter di kepala kami. Ada suatu saat kami merayap di bebatuan. Wah ini yang buat saya ketakutan karena bisa saja bawahnya jurang dan kami melakukan hal ini di malam hari. Namun, semuanya terlewati hingga kami sampai di Pos 4. Kami berhenti sebentar untuk sekedar meluruskan kaki yang telah bekerja keras hari ini. Kalau berhenti lama-lama, kami akan kedinginan dan malas untuk berjalan lagi. Jadi kami segera get going lagi.

Perjalanan menuju Pos 4, aku, Indah dan Ditto mulai kelelahan sehingga berjalan di belakang sedangkan Adi terus naik menuju Pos 4 lebih dahulu. Jalanan menuju Pos 4 adalah pasir dan sudah tidak ada tangga lagi. Jalanannya cukup menanjak dan membuat lelah. Sepertinya perjalanan menuju Pos 4 inilah yang paling susah daripada pos-pos lainnya. Namun, akhirnya kami sampai di Pos 4. Hanya ada beberapa pendaki disini, tidak banyak. Di Pos 4 ini, kami melihat rembulan yang baru saja terbit dengan warna kemerahannya ternyata jika dilihat dari atas. Kami juga melihat ikon dari Pos 4 Gunung Sumbing, cabang batang tumbuhan yang sudah mati dan mengarah pas ke arah Timur. Kami segera mendirikan tenda, masuk dan masak. Kami makan malam, lalu kami segera istirahat untuk summit attack di pagi harinya.

Kami tidur cukup lama, hingga tak terasa, depan tenda yang aku lihat sewaktu aku bangun, sudah kemerahan. “Wah sudah sunrise kah ini?!!”, dalam hatiku. Ternyata sewaktu aku membuka pintu tenda, benar saja sunrise sudah dimulai dan Indah sudah duduk menghadap matahari. Aku membangunkan Adi dan Ditto namun mereka masih enggan untuk beranjak. Namun, tak berapa lama mereka bangun dan kami sholat subuh terlebih dahulu. Setelah itu, kami menikmati proses matahari terbit selama kurang lebih 1 jam. Pemandangan depan mulai terlihat dengan awan dimana-mana. Sayangnya, kota di bawah gunung tidak terlihat karena tertutupi awan ini. “Inilah bayaran yang diberikan oleh Allah SWT atas keberanian melawan kata-kata saat di basecamp tadi”, pikirku. Sungguh sepadan semua perjuangan menuju Pos 4 hanya dengan satu kejadian sunrise.



Matahari terbit dari sebelah timur, sungguh nikmat ketika kami mendapatkan kehangatan setelah semalaman penuh kami melawan dingin.


Pukul 7-an, setelah kami masak dan makan, kami mulai summit attack. Puncak masih terlihat jauh dari Pos 4. Mungkin seperti kami naik dari ketinggian 3.000 menuju 3.300-an (ketinggian puncak Sumbing). Tapi, apa gunanya membayangkan, let’s hike again! Jalanan menuju puncak kebanyakan pasir dengan edelweiss dan rerumputan di kanan dan kiri. Banyak bebatuan besar atau dalam pelajaran geologi disebut boulder. Setelah 1,5 jam kami mendaki, akhirnya kami sampai di puncak Sejati Gunung Sumbing. Dari Puncak Sejati ini, kami bisa melihat kawah yang sangat besar, dengan kuburan di sampingnya dan juga Puncak Rajawali yang terletak tepat di seberang kami (tentunya dipisahkan oleh kawah). Kalau dilihat-lihat kawah dari gunung ini sungguh keren, karena ada salah satu sisi yang tererosi, seperti tempat keluarnya lava, sehingga tidak sepenuhnya berbentuk bundar. Namun tenang, gunung ini kelihatannya tidak terlalu aktif, hanya menyemburkan uap beberapa menit sekali dan itupun tidak terlalu banyak. Di satu sisi, ada batu yang sangat besar dan aku tidak membayangkan bagaimana itu terbentuk. Kawah gunung ini seperti lapangan, luas sekali dan banyak ditumbuhi rerumputan. Sungguh indah pemandangannya dan setelah 2 jam diatas, kami rasa kami cukup puas. Kami turun.

Pemandangan menuju puncak Gunung Sumbing

Kawah besar Gunung Sumbing, apakah bisa digolongkan sebagai kaldera? 

Perisai untuk foto di Puncak Sumbing. Inilah pemandangan saat kami di Puncak Sejati Gunung Sumbing. Kelihatan tuh Sindoro di seberang sana.

Ini kawah Gunung Sumbing dilihat dari atas, sayangnya kami tidak turun kesana kemarin. Kapan-kapan boleh dicoba lah ya.

Baru pertama kali liat bunga edelweiss. Cantik sekali. Daunnya mirip daun kayu putih.

Perjalanan turun ditempuh sekitar 30-45 menit. Setelah kami sampai di Pos 4 kembali, kami beres-beres dan segera menempuh perjalanan turun. Selama perjalanan turun, kami melihat hal-hal luar biasa yang kami tidak lihat saat malam hari. Kami lihat luncuran batuan dari atas, seperti lava yang meluncur dari atas dan membeku. Kayanya kalau dibuat perosotan dari atas bisa itu hehe. Kami juga melihat jalur air yang kering. Saat memasuki hutan pinus kembali, kami kembali masuk kedalam kabut tebal. Tidak ada yang bisa dilihat kecuali pohon pinus yang tinggi. Sekitar 4 jam kami menempuh perjalanan turun ini dan kami sampai di basecamp kembali. Oiya, saat kami beristirahat di perjalanan, kami bertemu dengan mbak-mbak yang dengan kerennya dia lari selama turun. Dan ternyata mbak ini adalah warga lokal yang berumah di sebelah basecamp. Kami disuruh mampir ke rumahnya hahaha.

Di basecamp kami membersihkan diri dan beribadah. Setelah beristirahat yang cukup, kami segera memutuskan untuk pulang. Tak lupa kami berfoto terlebih dahulu di depan basecamp. Saat perjalanan pulang, gara-gara sering ngerem akibat turunan, rem sepeda motor Ditto sampe blong. Untungnya bukan putus, cuma karena kepanasan. Perjalanan yang mulus kami tempuh hingga saat maghrib, akhirnya kami sampai di Jogja. Kami segera mengembalikan barang-barang yang kami pinjam di Anak Rimba dan sholat. Setelah sholat kami segera kembali ke rumah Adi untuk pulang.

Kru perjalanan, dari kanan, Indah, Ditto, aku dan Adi. 

Perjalanan ini adalah perjalanan yang dibangun oleh keberanian untuk mencoba. Kalau saja aku tidak segera memberanikan diri untuk bepergian sendiri ke Jogja, menginap di rumah orang, menaiki gunung dengan kata-kata yang saya bilang tadi, semuanya tidak akan terjadi. Dan hal inilah yang mendorong saya, sampai sekarang menyukai kegiatan menaiki gunung. Menikmati ciptaan Allah SWT yang diberikan kepada bumi Indonesia.

Post a Comment

2 Comments