Advertisement

Responsive Advertisement

Gunung Penanggungan - Pentingnya Restu

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Salam dari matahari pagi yang hangat!

Selamat siang teman-teman pembaca semua. Alhamdulillah sekarang sudah dalam masa liburan akhir tahun. Kami diberi waktu selama kurang lebih 10 hari. Aku bisa melaksanakan apa yang aku mau dan segala yang tertunda. Salah satunya adalah nge-blog. Nah kali ini aku mau cerita pengalaman aku mendaki ke Gunung Penanggungan yang ada di Provinsi Jawa Timur. Gunung pertama di Jatim yang pernah aku daki nih hehe. Sebelum masuk ke cerita, aku tidak bosan-bosannya berpesan untuk selalu menjaga lingkungan dengan salah satunya tidak membuang sampah sembarangan yaa. Jangan jadikan lingkungan kita menjadi rumah dari sampah, padahal kan lingkungan kita itu ya rumah dari kita ya kan?

Oke masuk ke cerita. Liburan Lebaran 2019 yang jatuh pada bulan Juni kali ini aku tidak pulang ke Kalimantan. Hal ini dikarenakan keluargaku di Kalimantan pada mau mudik. Aku kira semuanya bisa ikut, namun ternyata hanya Ayah dan Mama ku yang bisa ikut dikarenakan kakak-ku baru saja mengadakan pernikahan dan sulit cuti, pun adikku yang barusan masuk kerja dan tidak bisa mengambil cuti. Jadi kali ini saya sendirian dan tidak bertemu dengan saudara-saudaraku. Tujuan mudik kami adalah Kabupaten Jember, rumah asal kami sebelum pindah ke Kalimantan. Aku berangkat dari Jakarta ke Jember pada tanggal 3 Juni 2019 dan sampai satu hari setelahnya. Perjalanan Jakarta-Jember aku tempuh dengan kereta dan bis lokal. Oiya cerita mengenai perjalananku itu akan aku buat postingan nantinya, tagih aku ya!


Sabana kecil yang tak kalah indah dengan sabana di gunung lain.

Sampai di Jember, kami menikmati waktu bersama keluarga selama beberapa hari. Baik dengan acara kekeluargaan atau berkunjung ke sanak saudara. Begitu memuaskan bisa kembali menapaki jalanan Jember bersama orang tua di tanah kelahiran setelah berapa tahun tidak pernah pulang bersama-sama. Namun, semuanya berjalan sama hingga pada suatu hari, muncullah rencana untuk mendaki gunung. Sebenarnya rencana ini sudah dibicarakan sama kami (yang nanti akan aku sebutkan) sejak sebelum liburan lebaran ini. Pada saat liburan ini kami baru bisa merealisasikannya. Salah satu faktor pendukung adalah karena kebetulan kami sedang berada di tempat yang berdekatan jadi mudah untuk bertemu.

Jadi dulu Kharis pernah bercerita pengalamannya mendaki Gunung Penanggungan ke anak-anak IPJ. Namun, yang tertarik ya cuma Emi dan Aku karena Emi dekat rumahnya dan kalau aku, karena memang kepingin hehe. Dan kali ini, kami bertiga merealisasikannya.

Dimulai pada perencanaan hari yang jatuh pada Senin, 10 Juni 2019, beberapa hari setelah lebaran. Kami mempersiapkan semuanya, mulai dari tekad yang bulat, izin dari orang tua, uang saku dan rencana keberangkatan. Alhamdulillah, semuanya aman terkendali. Namun, pada hari terakhir, H-1 keberangkatan, ada masalah. Tiba-tiba saja Emi tidak diizinkan untuk mendaki oleh kedua orang tuanya. Orang tua Emi khawatir sepertinya dan ya, kami sempat terkejut. Kepalang tanggung sudah menjelang keberangkatan, kami tetap melanjutkan rencana. Oiya aku lupa, karena kami bertiga masih pendaki amatir, kami mengajak Izharu yang lebih berpengalaman dan sudah pernah kesini juga. Jadilah pelaku perjalanan kali ini ada 4 orang, yaitu aku, Izharu, Kharis dan Emi (ndoro). 


Kru pendakian Gunung Penanggungan kali ini. Dari kiri ke kanan, Izharu, Emik, aku dan Kharis.

Hari keberangkatan, bertepatan dengan hari kepulangan orang tua ku ke Kalimantan. Hal ini dikarenakan ayah yang harus cepat kerja kembali. Kami berangkat bersama-sama ke Terminal Tawang Alun Jember untuk menaiki bis. Beruntungnya pada saat itu juga, ada bis yang menuju Surabaya. Tidak beruntungnya, aku dan orang tuaku harus berpisah bis dikarenakan bis yang diikuti orang tuaku bis eksekutif yang tidak turun di Bangil dan aku harus naik bis ekonomi agar bisa turun di Bangil. Keberangkatan dari Jember lancar dengan bis yang dikemudikan oleh supir "pembalap" ini. Dia berani menembus lampu merah dan meliuk-liuk, menyelip kendaraan di depannya walau sudah tahu jalanan Jember-Surabaya itu sangat sempit dan ramai (kaya gak ingat kalau yang dia kemudikan itu adalah bis).

Karena bis ini bis ekonomi, jadi dia "ngetem" di banyak tempat. Hal ini cukup memakan waktu. Subhanallah, berada dalam bis yang ramai dan kencang selama 5 jam itu. Tapi ternyata perjalanan ini sangat menyenangkan, dikarenakan perjalanan ini di pagi hari, aku bisa melihat kegiatan masyarakat yang ada di sekitar jalanan. Karena cerah, aku bisa melihat sedikit puncak Argopuro waktu bis melewati jalanan di Tanggul. Bis terus melaju melewati Jatiroto, Lumajang, Leces, Probolinggo, Pasuruan dan akhirnya di siang hari sekitar pukul 11.30 (setelah perjalanan selama 5 jam), sampai di Bangil. Aku turun di depan Stasiun Bangil dan menunggu jemputan dari Kharis/ Izharu yang sudah sampai duluan di rumah Emik dari Sidoarjo menggunakan motor. 

Lumayan lama aku menunggu, sampai seperempat buku aku habiskan dan akhirnya Izharu sampai di depan mataku. Kami langsung meluncur ke rumah Emik yang berjarak 20 km-an. Menuju rumah Emik, kami harus melewati jalanan yang ekstrim. Naik, turun dan ada naikan yang sangat terjal. Namun, akhirnya kami sampai di suatu desa yang keren (karena ada yang pelihara kuda putih hahaha). Rumah Emik terletak di suatu persimpangan. Kami sampai sekitar pukul 12.30 dan langsung dijamu habis-habisan oleh ibunya Emik. Semuanya dikeluarkan dan semuanya dijadikan jamuan sampai kami bingung mau makan dan minum yang mana hehe (dijamin gak nyesel ke rumah Emik). 

Setelah satu jam yang dihabiskan dengan makan dan ibadah, kami akhirnya sampai di waktu keberangkatan. Tiba-tiba, ibu Emik nanya ke kami masalah naik gunung ini. Mengejutkan, pertanyaan tersebut berakhir pada keputusan diperbolehkannya Emik untuk naik gunung. Tanpa pikir panjang, Emik langsung menyiapkan kebutuhannya dan kami berangkat. Aku naik motor berdua dengan Emik dan Izharu dengan Kharis. Kami melewati jalanan yang terjal kembali dari Prigen menuju Trawas. Kami mampir di pinggir jalan untuk membeli logistik dan menyewa alat-alat yang dibutuhkan untuk mendaki. Lalu kami lanjut menuju basecamp yang terletak di Trawas.

Basecamp ini terdiri atas beberapa warung yang menjual logistik dan ada musholla di tengahnya. Kami sholat ashar terlebih dahulu sebelum naik ke atas. Ternyata, yang punya basecamp disini adalah teman bapaknya Izharu. Lantas, ia berbincang-bincang dengan bapak tersebut dan sampai kami lupa untuk membayar retribusi. Waktu itu kami sudah di tengah-tengah perjalanan menuju pos 1 dan kami baru teringat hehe. Jangan ditiru yaa! Kalian wajib untuk membayar retribusi karena dana itu digunakan untuk pengelolaan juga

Pukul 16.00, kami mulai berjalan menuju pos 1. Perjalanan ke pos 1 membutuhkan waktu yang tak terlalu lama dikarenakan track disini masih tergolong landai. Sesampainya kami di pos 1, kami tak menemukan terlalu banyak orang. Terlihat di depan, track menuju pos 2 sudah mulai menanjak, namun ada tangga yang bisa membantu kami naik. Track yang semakin menanjak ini lumayan melelahkan untuk ukuran gunung yang tidak terlalu tinggi. Tidak sampai satu jam, kami sampai di pos 2 dan kira-kira pukul 5.25 sore, kami sampai di pos 3. Pos disini ada 4 kalau tidak salah, dan pos ke 4 ini adalah tempat berkemah terakhir yang dinamakan Puncak Bayangan. 

Perjalanan menuju pos 4, kami terpisah, Izharu bersama Emik terlebih dahulu dan aku dengan Kharis yang berkali-kali kram kakinya. Perjalanan jadi gak bisa cepat karena tiap melangkah, kram terus. Ada di suatu waktu, baru angkat kaki ke tangga diatasnya, dia sudah merasa kram lagi haha. Mungkin karena sudah lama vakum naik ginian, dan langsung naik lagi tanpa adanya olahraga ya. Untunglah waktu itu dia bawa minyak kayu putih dan dengan bantuannya, kram di kaki berangsur-angsur hilang. Bersyukurnya lagi, selama kaki dia kram, tidak menimbulkan kemacetan hehe.

Tak terasa hari sudah mulai gelap, dan aku bersama Kharis belum juga sampai di pos 4. Kami sampai menggunakan senter kepala kami. Kurang lebih jam 18.30 mungkin, kami sudah sampai di Puncak Bayangan. Ternyata Puncak Bayangan "ruame pol" dikarenakan hari ini adalah hari libur lebaran. Kesusahan kami mencari Izharu dan Emik berada dimana. Setelah kami berteriak-teriak seperti orang hilang, akhirnya kami menemukan mereka di salah satu pojokan dekat dengan semak-semak. Tenda telah selesai dibuat oleh mereka dan kami beres-beres barang kami. 

Pukul 20.00 kira-kira kami sudah selesai makan dan istirahat. Udara luar tidak terlalu dingin terasanya, bahkan angin cenderung tidak ada. Sehingga kami berani untuk menikmati udara luar hanya dengan jaket, buff dan sarung tangan, tanpa pengaman lainnya. Kami menikmati lampu malam Trawas yang terlihat sangat indah dari atas sini. Sayangnya, kami tidak mendapatkan pemandangan bulan terbit dikarenakan bulan saat itu sedang bulan baru (kan lebaran wkwk). Pukul 21.00 kami sudah mulai bosan dengan kegiatan di luar dan kami akhirnya memutuskan untuk tidur. Tenda kami penuh drama, dari yang kentut hingga tetangga yang ributnya minta ampun, membuat Emik menggerutu karena dia tidak bisa tidur (karena dia paling pinggir,sehingga efeknya paling kerasa). Bahkan kata Emik "jedak-jeduk"-nya kerasa sampai di tenda kami hahaha. Hari itu kami akhiri dengan rencana untuk naik ke puncak pada pukul 3 pagi.


Ndoro Emik yang minta diantarkan ke singgasananya.

Keesokan harinya, pukul 3 pagi, kami masak makanan terlebih dahulu untuk perjalanan menuju puncak. Pukul 3.45 pagi, kami memulai perjalanan kami menuju puncak. Waktu yang disarankan Izharu ini ternyata cukup rasional setelah kami menjalaninya. Track menuju puncak Penanggungan tidak boleh diremehkan. Penuh dengan kerikil dan batu yang bisa menggelinding waktu kita berpijak. Jadi butuh hati-hati yang ekstra. Apalagi waktu itu kan gelap, licin karena embun pagi, jadilah pendakian semakin menyeramkan saja rasanya. Di pertengahan jalan, Emik sempat menyerah, mengingat trek yang ekstrim dan semakin menanjak soalnya. Namun dengan kekuatan penyemangat kami, Emik mau melanjutkan perjalanan. Kharis juga untungnya tidak kram lagi kakinya. Beberapa kali kami menyebabkan batuan meluncur ke bawah. Untungnya tidak ada yang cedera. Semuanya baik-baik saja. 


Iki lo pas ndoro arep nyerah wesan.

Sekitar 2 jam mendaki, kami akhirnya sampai di puncak. Pukul 6 kurang di pagi hari, saat bahkan matahari masih belum keluar dari peraduannya, kami sudah sampai. Ketika langit masih berwarna ungu dikarenakan semburat matahari yang belum muncul kami sudah berhasil mengantar Ndoro Emik ke persinggahannya di Puncak Penanggungan. Dilihat dari morfologinya, sepertinya Gunung Penanggungan ini adalah gunung api mati. Di puncaknya terdapat kawah yang tidak begitu dalam dan ditumbuhi rerumputan. Hal ini menandakan kalau kawahnya sudah lama mati. Rerumputan disini begitu indah apalagi diterpa warna oranye sinar matahari di pagi hari. Di kawah ini terdapat beberapa orang yang mendirikan tenda, lumayan aman sih tempatnya. Dan ada juga kuburan keramat disana. Bagusnya lagi, ada lubang tempat membuang sampah disini sehingga tidak akan menimbulkan sampah yang berserakan. 



Beberapa foto kami di Puncak Penanggungan. Di belakang kami adalah Gunung Arjuno dan Welirang.

Hingga pukul 7, kami masih berada di puncak dan sudah puas rasanya berada disini. Kami memutuskan untuk turun. Perjalanan turun kembali ke Puncak Bayangan tentunya lebih cepat. Kami bertemu dengan sebuah batu yang kami sebut "batu lion king". Kalau kalian liat fotonya, memang cocok untuk scene di film The Lion King. Karena unik, kami ambil foto disini. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan dan mungkin sampai di Puncak Bayangan pada jam 8.30 atau 9. Setelah itu kami segera merapikan barang bawaan untuk selanjutnya turun ke basecamp. Saat turun ini Izharu begitu cepat sehingga kami bertiga ketinggalan haha. Sebagaimana perjalanan turun lainnya, selalu lebih cepat daripada perjalanan naik kan. Kira-kira pukul 11.30 kami sampai di basecamp


Ini lho batu lion king. In frame : Izharu.

Masih ingat dengan kami yang lupa membayar retribusi? Di pulang ini pun kami lupa untuk menyinggungnya dan kami malah pulang setelah beres-beres. Jadilah kami tidak bayar apa-apa disini. Haduh emang keteledoran itu manusiawi ya. Oiya setelah kami mengembalikan alat-alat outdoor yang kami sewa, Emik ngajak kami untuk minum es campur di Pasar Prigen, dekat dengan tempat jualan ibunya Emik di pasar. Walhasil, minuman yang Emik maksud memang enak, menyegarkan sekali. Setelah kami puas, kami kembali ke rumah Emik untuk istirahat. 

Sore harinya, setelah istirahat yang kami punya dirasa cukup, kami pulang. Aku diantar oleh Emik ke pinggiran jalan Surabaya - Jember dan Kharis bersama Izharu pulang menggunakan motor ke Sidoarjo. Hampir maghrib, aku baru mendapatkan bis dan sampai di Jember pada pukul 9.30. Sungguh perjalanan yang menyenangkan kali ini. 

Oke teman-teman itulah kisah yang ingin aku bagi pada kalian! Mengenai perjalanan kali ini, aku berpesan cobalah sekali-kali untuk menggunakan transportasi umum. Karena di transportasi umum banyak hal bisa kita jadikan pengamatan. Bahkan, sekadar anak-anak main di transportasi aja bisa jadi hal yang menyenangkan!

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Post a Comment

2 Comments

  1. Kuat ya si Emik nyampe puncak, aku aja pernah kemaren cuman naik-turun jalan terjal udah nyerah wkwk

    ReplyDelete