- Rabu, 3 November 2021 -
Oke, kita mulai dengan template yang sama lagi. Survei
hari ini libur lagi karena alasan yang aku sudah lupa dan aku menjadi sangat
gabut, pengangguran tanpa kerjaan. Kenapa tidak mencoba ke satu daerah di Jogja
yang belum pernah aku injak sama sekali? Yaitu Kulon Progo yang hingga saat itu
rasanya tidak ada keperluan untuk kesana. Tapi kali ini, aku ingin berkunjung
kesana, bertamu ke rumah Sigit sebagai tuan rumah. Dimas berkenan untuk
menemani aku pada kesempatan ini.
Pukul 8 pagi, kami sudah beranjak menggunakan motor Dimas
menyusuri jalan Jogja-Wates yang lebar menurut standar Jogja yang kebanyakan jalannya
kecil-kecil. Apa mungkin jalan ini dilebarkan karena ada proyek Bandara YIA?
Tapi ya nggak tau juga sih, hanya menduga-duga. Jalan besar ini dipakai oleh
banyak orang yang membuat lalu lintas ramai sekali, mirip dengan jalan
Jogja-Solo. Bedanya, disini banyaknya hanya mobil dan motor dengan kecepatan
yang kencang.
Sampai di simpang Tugu Pensil-dengan tugu berbentuk
pensil aktual-kami belok ke kiri dan masuk sekitar 5 km hingga di rumahnya
Sigit. Rumahnya agak jauh dari jalan raya, masuk ke jalan kecil dengan banyak
pepohonan disekitarnya. Udaranya terasa sejuk di waktu yang masih belum terlalu
siang ini. Sigit dan orangtuanya menyambut kami. Perbincangan kami mengarah ke
“mau kemana setelah ini?” Setelah berunding, kami memutuskan untuk ke tiga
wisata.
Tujuan pertama kami adalah air terjun Kedung Pedut yang
terletak di Perbukitan Menoreh. Jaraknya cukup jauh dari rumah Sigit. Kami memulai
perjalanan kira-kira pukul 10 pagi dan sampai disana sekitar jam 11 siang.
Perjalanan ditempuh melalui Jalan Wates dan belok ke kanan sebelum sampai Wates
lalu menyusuri jalan kecil. Akhirnya, sampailah kami di suatu desa dengan jalanan
yang mulai menanjak, menandakan kami sudah berada di kaki perbukitan.
Tidak ada opsi lain selain mengikuti Google Maps yang
memaksa kami harus melewati jalan naik ini. Hingga di suatu titik, motor yang
aku dan Dimas naiki ini sudah tidak kuat lagi melawan gravitasi di tanjakan
yang cukup curam. Bayangkan sudutnya mungkin sedikit melebihi 45 derajat!
Dengan sangat terpaksa, Dimas turun dari motor dan berjalan. Aku terus mencoba untuk
mengemudikan motor sedemikian rupa hingga sampai di akhir tanjakan. Keadaan ini
diperparah dengan matahari yang meninggi, meradiasikan panas dengan hebat yang
membuat kami merasa cepat lelah. Walaupun kami berada di tempat yang cukup
tinggi, udara masih tidak terlalu dingin.
Sampai di akhir tanjakan, aku dan Sigit menunggu Dimas.
Setelah sampai, ia beristirahat sebentar lalu melanjutkan perjalanan kembali.
Jalanan yang kami susuri selanjutnya penuh dengan liukan, namun dengan tanjakan
yang masih bisa dikompromi. Hingga akhirnya, kami menemui jalan raya.
Syukurlah, walau jalan ini meliuk-liuk dan agak naik turun, paling tidak
hawanya tidak sepanas tadi. Kedung Pedut sudah lumayan dekat dari sini. Kami hanya
harus belok kanan dan melewati turunan yang curam. Astaga, seram.
Dengan keberanian, akhirnya kami sampai. Hari kerja
membuat wisata ini sepi tanpa pengunjung. Setelah membayar retribusi, kami
berjalan menyusuri jalan setapak yang bersih (bahkan waktu itu jelas-jelas
sedang ada yang membersihkan) namun agak licin karena selepas hujan. Berjalan
selama 20 menit, kami lalu sampai di air terjunnya. Akhirnya sampai, namun
tidak bisa dipungkiri agak kecewa karena air terjun yang saat itu keruh akibat
hujan. Padahal, cerita dari mereka berdua yang pernah kesini sebelumnya saat
kemarau, airnya bisa berwarna biru. Semangat kami untuk mandi-mandi langsung luntur
karena ekspektasi yang terhempas ini. Kami
hanya duduk-duduk dan menikmati udara sejuk sembari mendengarkan gemuruh air yang cukup deras. Sebenarnya Dimas masih
terlihat sangat ingin masuk ke
dalam air. Namun, tanpa kami berdua, dia juga tidak jadi masuk
ke dalam air.
Air Terjun Kedung Pedut yang waktu itu sedang tidak dalam kondisi terbaiknya |
Setelah kami selesai sholat, kami sudah kehabisan akal ingin ngapain dan memutuskan untuk pulang. Kami
menuju parkiran dan langsung
meninggalkan tempat ini. Menuju jalan besar, kami harus melewati jalan yang
sangat menanjak tadi. Dengan
ancang-ancang yang tepat, motor
Dimas berhasil membawa kami berdua ke jalan besar tanpa salah satu dari kami harus
berjalan. Kuncinya adalah ancang-ancang.
Sampai
di jalan besar, kami bingung ingin kemana
lagi. Kami coba untuk berjalan
terus ke arah Gunung Gajah. Sesampainya
disana, tidak ada yang bisa kami
liat selain kabut. Benar-benar putih pekat dan menghalangi
pandangan kami. Kami berhenti sebentar untuk istirahat dan foto. Tiba-tiba perut
kami terasa lapar dan kami segera beranjak mencari makanan.
Tak jauh dari sana ternyata ada penjual bakwan kawi. Tanpa pikir
panjang, kami menghampiri dan membeli. Makan bakwan kawi di Perbukitan Menoreh
dengan kabut yang cukup dingin itu sangat perfect. Kami yang cukup kedinginan
dihangatkan oleh bakwan kawi yang murah ini.
Panorama di sekitar wisata Gunung Gajah |
Setelah habis,
kami segera beranjak turun. Dalam perjalanan kami beberapa kali melewati hujan
yang tidak deras. Kami mengikuti Sigit
saja dan kehilangan orientasi arah. Tiba-tiba
saja,
kami sampai
di pinggiran Waduk Sermo. Waduk ini cukup luas dan waktu itu sedang ada
pembangunan disana, entah apa itu. Banyak orang yang datang untuk menghabiskan
waktu sorenya disana. Kami tidak mampir lama dan
hanya lihat-lihat saja sembari mengikuti
jalan sepanjang bendungan ini. Singkat
cerita kami sampai di Wates.
Salah satu sisi dari Waduk Sermo |
Jajaran pohon yang gak aku tau namanya di jalan menuju Kulon Progo |
Disini, Sigit membawa kami ke Masjid Jami’ Wates yang letaknya berdekatan dengan
Stasiun Wates. Kami ibadah dan selesainya, melanjutkan perjalanan pulang menuju
rumah Sigit. Di rumah Sigit, kami berbincang sebentar
kemudian pamit untuk pulang ke Kota, karena hari sudah cukup sore. Dalam
perjalanan menuju kota, lagi-lagi kami kehujanan. Namun, kali ini cukup deras.
Sekian cerita perjalananku mengunjungi Kulon Progo untuk pertama kalinya.
0 Comments