Advertisement

Responsive Advertisement

Pelesir ke Pacitan

Setelah banyak membantu di penelitian Bu Ayu maupun Pak Budi, beliau berdua ingin mengajak kami jalan-jalan refreshing. Setelah berembug, akhirnya diputuskan kami akan ke Pacitan, wilayah yang sama sekali belum pernah aku kunjungi dan tanggal yang dipilih, pas sekali sehari setelah aku pulang dari Jember.


- Senin, 28 Maret 2023 –

Di penghujung bulan ini, sudah tidak ada survei yang tersisa. Hari-hari hanya kami lalui dengan membantu pengolahan data dan penyelesaian laporan. Aku sudah cukup lupa tentang ngapain aja sebelum berangkat ke Pacitan. Yang jelas, kami meminjam alat-alat outdoor yang diperlukan seperti tenda, flysheet, dan kompor lapangan. Sekitar pukul 09.00 pagi, kami mulai berangkat dari Stageof menuju rumah Adi untuk menjemputnya. Kami membawa dua mobil. Satu dikendarai oleh Adi, satu lagi oleh Om Budi dan aku ikut di rombongan Om Budi.

Dari Kota Yogyakarta, kami melaju ke timur melewati jalanan kota yang ya Allah, banyak sekali lampu merahnya ini. Kami terus melewati daerah Piyungan dan naik ke arah Wonosari. Tidak jauh dari Wonosari, kami berhenti untuk makan siang di Rumah Makan Lesehan Nasi Merah Pari Gogo (panjang ya bund, namanya). Disini lupa aku memesan makan apa, yang jelas aku mencoba makanan baru, yaitu belalang goreng yang jadi makanan umum di wilayah Gunung Kidul. Mungkin karena memang di Gunung Kidul ini banyak belalang ya (?) Saat belalang itu aku gigit, jujur gak ada impresi jijik dan sejenisnya sih. Hanya saja rasanya menurutku terlalu asin (haha). Jadi ya, belum bisa dibilang kuliner yang meng-wah-kan ku karena terlalu enak (atau justru sebaliknya).

Selesai makan, kami bergegas berangkat lagi dengan membawa beberapa camilan yang kami beli dari rumah makan tersebut. Perjalanan kami masih jauh, mungkin ini baru 1/3 nya dan baru kali ini aku pergi se-timur ini dari Jogja. Melewati Semanu, bukit-bukit kapur kecil mulai berganti menjadi bukit yang lebih besar dan beberapa justru berwarna kehitaman. Kemiringan lereng dari bukit-bukit ini sangat tajam dan itulah yang membuat aku ter-wah-kan lagi. Jalanannya cukup sepi karena daerah ini merupakan wilayah pedesaan. Hingga akhirnya kami melewati perbatasan antar provinsi dan kualitas jalan berubah cukup drastis. Jalan menjadi lebih kecil dan lebih ber-gronjal dangdut gitu yah. Namun, entah kenapa menurutku kanan kirinya justru lebih rimbun vegetasi.

Semakin siang dan semakin panas, kami akhirnya melewati Pracimantoro dan mampir ke Masjid Usroh Ismail yang arsitekturnya sangat mirip dengan bangunan Islam di Spanyol. Masjid ini juga ramai jadi persinggahan rombongan-rombongan keluarga atau mungkin RT RW dengan mobil dan bisnya. Selesai ibadah, kami lanjut perjalanan lagi dan singkat cerita, kami sampai di Kota Pacitan. Kota ini terletak di lembah pinggir laut dan benar-benar diapit oleh bukit-bukit. Kotanya tergolong kecil dengan jalanan yang sepi (bahkan di siang hari dibanding kota-kota di Jawa lainnya).

Di kota, kami mampir ke pasar untuk membeli logistik untuk makan malam dan sarapan di esok harinya. Setelah itu, kami mampir ke rumah temannya Bu Ayu yang menjaga rumah Bu Ayu yang ada di Pacitan. Bu Ayu juga sekalian nengok rumah yang sudah lama ditinggalkan dan kelihatannya sih, kondisinya sudah kurang bagus. Kami bercengkerama sembari menyantap suguhan yang disediakan hingga tak terasa, waktu sudah semakin sore. Mengingat tujuan kami yang masih cukup jauh, kami memutuskan untuk pamit menuju Pantai Srawu.

Foto dulu di Masjid Darul Falah Pacitan sebelum menuju Srawu.

Kami melaju kembali melewati kota dan naik ke perbukitan hingga akhirnya kami sampai ke jalan yang lebih kecil menuju desa-desa di bawah bukit. Rasa-rasanya, mirip dengan desa-desa di Gunung Kidul. Kerennya adalah, walaupun pelosok, jalanannya masih bagus walaupun sempit. Jarak yang jauh menyebabkan kami membutuhkan waktu yang banyak untuk akhirnya sampai. Cuaca saat itu adalah hujan yang turun sejak waktu maghrib dan membuat jalanan menjadi basah, licin, juga gelap. Sesekali kilat terlihat menyambar dan langit seketika terang sejenak. Hujan terus semakin deras dan kami seolah-olah berjalan menuju tak terbatas karena tidak bisa melihat apa-apa di depan kami. Sesekali sinyal di ponsel yang menjadi senjata utama mencari jalan, hilang. Namun, setelah perjalanan panjang, akhirnya kami sampai di pantai yang dimaksud.

Karena sudah malam, tak ada yang bisa dilihat karena gelap. Tetapi, hujan perlahan mereda dan kini hanya ada gerimis sedikit-sedikit. Kami menempati satu gubuk beton untuk tempat kami memasak bahan yang sudah dibeli tadi. Sudahlah, kami menggunakan tempat seadanya dan kami memakan santapan yang disajikan oleh Ardi ini (si tukang masak di kesempatan apapun). Malam semakin dingin, walaupun kami membawa tenda, kami memutuskan untuk menggelar teduhan seadanya berbekal kap bagasi mobil dan flysheet. Kami tidur setelah itu.

 

- Selasa, 29 Maret 2022 –

Waktu subuh, kami semua terbangun dan melaksanakan ibadah. Cuaca sudah cukup bersahabat kali ini. Saat fajar menyingsing, sudah tidak terlihat lagi awan kelabu pembawa hujan dan digantikan oleh awan tipis yang sedikit menghalangi sinar matahari. Kami semua main-main ke segala sisi pantai. Ada yang menikmati bibir pantai, ada yang cuma duduk-duduk, sedangkan aku memilih untuk coba naik ke bukit karang yang ada di sisi selatan pantai. Tak banyak yang dapat dilihat kecuali pemandangan bibir pantai dari jauh dan bukit-bukit karang di sekelilingnya. Setelah merasa puas, aku turun.

Aku lihat mereka sedang berkumpul di tenda-mobil yang kami buat. Entahlah sedang apa, tapi sepertinya sedang menyiapkan minuman. Aku coba bergabung dengan mereka dan mereka menawarkan aku teh. Aku heran, karena cara menawarkannya aneh, seolah dipaksa dan aku jadi sangsi. Benar saja, setelah aku coba minum, mereka semua langsung meninggalkan aku. Membalas perbuatanku yang jalan-jalan sendirian ke bukit tadi (duh ini ngeselin tapi ya lucu sih). Tapi tidak berapa lama, mereka memanggil aku karena ingin foto bersama dan kita berfoto diantara pohon kelapa yang berjajar simetris di pinggir jalan.

Setelah itu, kita sarapan dengan makanan yang masih tersisa dari tadi malam. Selesainya, kita beres-beres semua barang dan memasukkannya ke dalam mobil. Tapi, kita bukan mau pulang, kita mau mencoba ke pantai sebelahnya yang tidak jauh dari lokasi kami saat ini dan Google Maps menunjukkan kalau namanya masih sama-sama Srawu. Sesampainya disana, ternyata kami tidak sendiri karena tiba-tiba ada rombongan anak pesantren yang main-main datang menggunakan bis. Aku dan Ardi memilih untuk membuka baju dan mandi-mandi sementara mereka hanya menikmati pemandangan dengan duduk-duduk. Belum lama mandi, kami ditegur oleh petugas karena ternyata di pantai ini, tidak boleh mandi (DUAR!). Entahlah apa penyebabnya, padahal kalau dilihat ombaknya juga tidak ganas. Lantas, kami bilas dan bergegas lagi pulang dengan mobil.

Dalam perjalanan pulang, tidak ada yang spesial dan alhamdulillah, perjalanan lancar hingga kami sampai kembali di Stageof sore harinya. Kami segera membersihkan barang-barang dan juga mengembalikan barang yang kami sewa. Itulah kumpul-kumpul terakhir kami selama di Jogja dan sebelum bulan puasa, dimana kami akan berpisah.

Beberapa foto panoraman Pantai Srawu yang indah setelah hujan badai di malam harinya.

Post a Comment

0 Comments