Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!
Selamat pagi teman-teman pembaca! |
Alhamdulillah
rangkaian UAS selama 2 minggu sudah selesai dan sekarang adalah saatnya
menenangkan diri kembali sembari menunggu keputusan PKL yang entah akan
dilaksanakan kapan. Tunggu aja deh, nanti juga ada kabarnya. Hari terakhir UAS
ku adalah hari Kamis dan sekarang sudah hari Minggu, udah 2 hari menenangkan
diri hahaha. Kali ini aku mau cerita pengalaman aku di pertengahan 2019 kemarin
mendaki Gunung Sindoro (kembarannya Gunung Sumbing). Gunung ini kalau bisa
dibilang punya perawakan yang lebih ramping dibanding Gunung Sumbing. Tapi
treknya jangan diremehkan hehe.
Prolog
Beberapa minggu sebelum liburan semester genap kami dimulai,
kami (aku, Ditto, Ardi, Izza dan Sigit) merencanakan untuk mendaki Gunung
Merbabu (yang sudah aku pinginin sejak lama). Semua rencana sudah terbentuk,
kapan mau berangkat dan bagaimana teknisnya. Tiba-tiba, Izza tidak bisa ikut.
Dia harus tinggal di Pondok Betung untuk menyelesaikan suatu urusan. Aku gak
akan bilang disini (hehe). Masalah lain datang lagi, satu hari sebelum hari
keberangkatan kami, Ardi yang barusan turun dari Gunung Sumbing (acara
Wanasetya) katanya kakinya sakit dan kelelahan habis turun (banget) di tanggal
19 soalnya. Membingungkan sekali situasi saat itu ketika rencana yang sudah
direncanakan lama harus berantakan di H-1 keberangkatan. Ternyata, Adi punya
rencana mau ke Gunung Sindoro, mau solo-hiking katanya. Tapi
akhirnya kami ikut dia dan kami tidak jadi ke Gunung Merbabu.
Senin, 19 Agustus 2019
Adi membolehkan kami untuk ikut ke rencana pendakian dia
(yang gak jadi solo-hiking). Malam itu, kami bersiap-siap untuk
keesokan hari. Membeli semua keperluan yang diperlukan untuk mendaki dan packing dengan
rapi kerir kami. Oiya, yang ikut jadinya aku, Ditto, Adi dan Sigit. Sigit
pendakian pertama banget nih katanya hehe. Kami akan menaiki Gunung Sindoro
melalui sebuah desa yang bernama Bansari. Kenapa memilih jalur ini? Dikarenakan
kata Adi (diberitahu oleh Danu), jalur ini membolehkan pendaki untuk mendaki
sendirian. Adi bahkan sudah kontak terlebih dahulu dengan penjaga basecamp disana.
Udah merencanakan untuk mendaki solo, namun ternyata kami ikut terbawa hehehe.
Kami mempersiapkan diri sampai larut malam dan akhirnya aku bisa menutup mata
untuk tidur membawa kesimpulan, "memang kita yang merencanakan, semua
keputusan ada di Allah SWT." Siapa sangka aku akan ke Sindoro? Gunung yang
gak pernah aku pikirkan sebelumnya sama sekali.
Selasa, 20 Agustus 2019
Pagi-pagi sekali aku dan Adi bersiap untuk masak sarapan.
Orang tua Adi sedang tidak di rumah, jadi kami masak sendiri selama di Jogja.
Pukul 6-an, semuanya sudah siap dan segera menyantap sarapan pagi. Setelah itu
kami membeli keperluan yang gak bisa dibeli tadi malam karena hari yang sudah
terlampau malam. Seperti biasanya, belinya di Koperasi Hijau hehehe. Setelah
itu kami mandi, beres-beres dan ngecek keadaan rumah, dikunci semuanya. Setelah
semuanya selesai, lalu kami berangkat menggunakan dua motor. Aku bersama Adi
dan Sigit bersama Ditto. Kerir udah ditaruh di depan belakang motor ini. Kerir
Adi yang kapasitasnya 80 L lumayan juga beratnya ternyata.
Perjalanan kami tempuh dengan lancar. Satu-persatu daerah
kami lewati. Dari Sleman, Muntilan, Mungkid, Magelang, hingga di Temanggung.
Temanggung adalah kota kecil yang asri dan damai, enak banget udaranya sejuk
dan gak terlalu ramai. Tapi masih enak Pelaihari tentunya! Hahaha. Nah dari
Temanggung kota, kami masih menempuh perjalanan 30 menit-an buat sampai
di Basecamp Bansari. Kami kebingungan mencari basecamp yang
dimaksud oleh aplikasi Google Maps, karena yang kami temukan adalah basecamp yang
sedang tutup. Tutup?
Ternyata setelah kami menghubungi mas-mas yang sudah lebih
dulu dikontak oleh Adi, basecamp-nya ditutup karena kurang ramai
yang naik. Tapi bukan berarti kami ditolak, kami tetap dibukakan pintu
kok. Basecamp ini adalah bangunan seperti toko yang digunakan
untuk registrasi, pendataan barang bawaan, istirahat dan penitipan motor.
Selain itu para pengurus juga menjual suvenir seperti stiker, gantungan kunci.
Setelah kami menyelesaikan urusan administrasi, kami segera bersiap-siap karena
hari sudah mulai panas.
Kami menuju ke musholla terdekat dulu untuk mengisi
perbekalan air dan sholat zuhur terlebih dahulu. Setelah itu, kami menuju kedai
terdekat untuk makan, mengisi perut terlebih dahulu sebelum kami naik. Cukup
murah, sekali makan bahkan tidak habis sampai Rp. 10.000. Setelah itu, kami
ke basecamp lagi dan segera menggendong kerir kami untuk
memulai perjalanan.
Inilah rute yang akan kami tempuh menuju puncak Gunung Sindoro. |
- Menuju Pos 1 -
Kami berangkat sekitar pukul 13.30 WIB dari basecamp.
Kami melewati rumah-rumah penduduk terlebih dahulu. Rumah-rumah disini
didirikan di lereng yang miring, namun masih kurang miring jika dibandingkan
dengan perumahan di lereng Gunung Sumbing. Kira-kira sejauh 800 m kami melewati
perumahan penduduk lalu sampailah kami di perbatasan antara rumah penduduk
dengan perkebunan. Perkebunan ini ditanami oleh tanaman tembakau yang sangat
banyak dan luas. Luas banget sampai Gunung Sindoro-nya bisa dilihat secara utuh
dari perkebunan ini. Kami melewati jalanan yang dilapisi bebatuan dan masih
bisa dijalani oleh sepeda motor. Kurang lebih kami berjalan selama 1 jam. Kalau
dilihat di Google Maps ternyata jaraknya sejauh 3 km. Sejauh itu semuanya masih
berupa kebun tembakau.
Ini adalah jalan menuju Pos 1 dari basecamp. Bagus kan pemandangan tanaman tembakau dimana-mana dan ada Gunung Sumbing juga! |
Setelah itu sampailah kami di gerbang pendakian yang sekaligus
bersebelahan dengan tempat wisata. Kalau tidak salah tempat wisata ini
adalah camping ground. Memang cocok sih soalnya pemandangannya
bagus banget. Karena kami kelelahan, maka kami istirahat terlebih dahulu.
Berjalan 3 km tanpa ada vegetasi penutup dan di tengah hari membuat kami cukup
kelelahan dan kehausan.
Sebelum pendakian. |
- Menuju Pos 2 -
Setelah kami cukup beristirahat, kami berangkat memasuki
jalur pendakian yang sudah berubah menjadi hutan yang lebat. Jalanan yang kami
tempuh bukanlah bebatuan dengan tumbuhan tembakau sepanjang jalan. Melainkan
sudah menjadi tanah berdebu dengan kemiringan yang lumayan menantang. Sepanjang
jalan menuju Pos 2 kami harus memakai buff karena jalanan benar-benar
berdebu saat diinjak oleh kaki. Untung saja kami dibawah pepohonan lebat
sehingga tidak ada angin yang dapat membuat pasir debu ini berterbangan kesana kemari.
Kurang cocok apa buat prewedding kan? |
Pada pertengahan jalan, kami bertemu jalan tanjakan yang di
kanan kirinya ditumbuhi pohon cemara. Keren banget! Cocok untuk tempat pre-wedding hahaha.
Kadang juga bisa dilihat beberapa tumbuhan kopi dan juga bekas saluran air yang
sangat dalam. Kurang lebih hampir 45 menit kami berjalan, kami sampai di Pos 2.
Di Pos 2, Pos Turunan namanya ini, kami melaksanakan sholat ashar dan memetik
kopi yang ada disana. Ternyata ketika langsung dihisap, manis ya rasanya.
Benar-benar tidak ada manusia lain selain kami hari itu yang melaksanakan
pendakian. Kata mas di basecamp sih ada satu kelompok yang
naik duluan daripada kami. Tapi kami selama naik tidak ketemu sama sekali sama
mereka. Mungkin mereka lintas jalur?
Penanda Pos 2 - Turunan. |
Setelah kami puas beristirahat dan menenggak air putih kami
akhirnya pergi meninggalkan Pos Turunan. Oiya kenapa namanya Turunan ya?
Padahal jelas jalanannya menanjak. Mungkin dibuat posnya pas orangnya lagi
turun gunung makanya namanya Turunan hahaha.
Ayok segera berangkat lagi! |
- Menuju Pos 3 -
Perjalanan dari Pos 2 ke Pos 3 membutuhkan waktu yang cukup
lama. Mungkin 1 jam kami berjalan terus menerus dan kami baru sampai di Pos 3.
Jalanan yang kami tempuh masih sama, berupa tanah yang perawan, tidak ada
tangga-tangga seperti di gunung-gunung lain. Adapun di suatu belokan, kami
keluar dari vegetasi dan bisa melihat lereng seberang yang sangat indah di sore
hari. Kabut ternyata mulai turun karena hari sudah mulai malam dan sudah mulai
dingin. Sepertinya di belokan ini bisa dibuat tempat untuk berkemah namun masih
lumayan jauh dari Pos 4. Jadi kami tidak akan bermalam disini hehe. Lagipula
masih ada beberapa jam sebelum terlalu malam untuk terus berjalan.
Hari mulai gelap, kami berhenti sejenak terlebih dahulu. |
Setelah kami sampai di Pos 3, kami mendirikan pelataran
dengan flysheet untuk melaksanakan sholat maghrib. Disini kami
mulai merasakan dingin yang sangat menusuk. Apalagi masih kemarau kan? Dimana
kalau malam itu biasanya memang dingin. Apalagi di Pos 3 ini yang ketinggiannya
mungkin sudah mencapai 2000 mdpl. Bahkan kami sholat dalam keadaan menggigil
dan setelah selesai cepat-cepat packing kembali dan kembali
berjalan. Untuk menghindari kedinginan dan suhu tubuh agar tetap hangat, maka
kami jangan lama-lama beristirahat dan terus berjalan.
- Menuju Pos 4 -
Perjalanan menuju Pos 4, kami mulai keluar dari vegetasi
lebat dan beralih ke tanaman merambat yang masih melindungi sisi kiri kanan
jalan kami. Udara malam yang dingin mulai terasa menusuki kulitku yang hanya
dilapisi baju taruna yang tipis. Kerir terasa semakin berat karena kami telah
berjalan selama sehari penuh hingga malam. Setengah jam berjalan, kami mulai
keluar dari zona vegetasi dan ke zona sabana yang berisi rerumputan, ilalang
yang melambai dihembus angin malam.
Perjalanan menembus sabana kami ditemani oleh rembulan yang
baru saja keluar dari singgasasananya. Ia berwarna merah temaram dan terlihat
begitu indah sesaat setelah menyembul. Kami terus berjalan menanjak. Keluhan
karena kelelahan mulai keluar dari mulutku. Tidak seharusnya aku mengeluh
seperti ini dan aku menjadi lebih sering istirahat. Aku sama Ditto bahkan
bilang “pokok turun nanti cari makanan enak-enak di simbah-simbah Jogja!” Adi
sudah mulai meninggalkan kami untuk pergi duluan dan mendirikan tenda,
sedangkan aku, Ditto dan Sigit mengikuti perlahan di belakang. Memang aku yang
hobinya sambat, aku sambat terus selama perjalanan hehehe.
Pada suatu waktu kami di perjalanan, kami beristirahat.
Waktu kami duduk dan menghadap belakang, kami melihat padang rumput dan bulan
yang tetap merah. Tak terlalu lama aku mengakhiri istirahat ini dan mengajak
mereka untuk segera jalan. Oke saatnya jalan kembali. Setelah 5 menit berjalan,
Ditto bertanya kepadaku kenapa mau cepat-cepat jalan lagi. Aku menjawab ya
karena aku memang kedinginan. Tapi aku sepertinya menangkap maksud Ditto apa.
Setelah kutanya dia, dia gak mau bilang. Katanya nanti aja kalau sudah sampai
puncak.
Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam dan
kejutan datang disini. Ternyata tiba-tiba kami menemukan Adi. Dan ternyata,
kami sudah di PUNCAK SINDORO! Kami melewatkan Pos 4 pendakian dan kami langsung
trabas sampai ke puncak. Benar-benar puncak dan kami melihat kepulan
belerang tipis. Lho, dimana letak Pos 4? Kok kami gak ketemu? Apa kami saling
semangatnya jalan jadi kami kelewatan gitu Pos 4? Wah benar-benar gak tau deh
dan pada saat itu aku merasa lega, akhirnya pendakian hari ini diakhiri dengan
langsung puncak yang kami dapat dengan pemandangan bawah yang ciamik! Bulan
merah dan lampu-lampu perkotaan yang indah sekali.
Puncak
Sindoro cukup luas. Bisa dibuat berkemah untuk banyak orang kayanya hahaha.
Banyak batu-batu seukuran kepalan tangan namun aku terkagum dengan bentuk
puncak seperti ini. Malam itu kami tapi tak banyak berkeliaran lagi, angin
sudah lumayan kencang di puncak sini. Kami segera mendirikan tenda, wudhu lalu
sholat dan diikuti dengan agenda penutup makan malam. Tak lupa kami membuat
jeli yang dibawa dari bawah untuk dimakan di pagi hari. Selamat malam puncak
Sindoro, kutemui kamu esok pagi!
Rabu,
21 Agustus 2019
Pagi
hari, udara semakin dingin saja sehingga aku terbangun dari tidurku yang sangat
nyenyak dan semua lelah hilang! Namun karena saking dinginnya dan anak-anak
lain masih belum bangun, aku masih berdiam di tenda. Setelah aku melihat
semburat kemerahan matahari terbit, aku mulai keluar dan membangunkan mereka.
Kami keluar, menghangatkan diri sembari melihat matahari yang terbit. Indah
sekali matahari terbit yang ada di puncak sini. Lalu, setelah tubuh kami cukup
hangat, kami agak naik keatas untuk melaksanakan sholat subuh dan tidak lupa
kami membawa jeli yang kami masak tadi malam. Jelinya beku hahaha. Sholat di
puncak Sindoro adalah kenikmatan Tuhan yang tiada taranya!
Selamat pagi Sumbing, Merapi, Merbabu, Andong dan Lawu! |
Tenda yang hebat! Didirikan di puncak dan mampu menahan angin malam. |
Terimakasih matahari atas kehangatan pagimu! (In frame : Ditto). |
Setelah
sholat kami makan jeli dan berjalan-jalan di sekitar puncak. Adi tidak
tertarik, ia menyiapkan semua makanan pagi kami sementara Ditto, aku dan Sigit
memutari puncak Sindoro yang cukup ini untuk dibuat rumah kayanya haha. Dari
atas sini yang paling indah adalah saudaranya Sindoro, Sumbing yang terlihat
megah dan agung! Kita bisa juga lihat Slamet, DTT Dieng, Lawu, Merapi, Merbabu
dan gunung-gunung yang lebih kecil lainnya. Masyaallah emang pemandangan yang
tiada tara!
DTT Dieng dari Puncak Sindoro. |
Oiya,
mengenai kejadian tadi malam setelah kami istirahat yang Ditto alami, jadi
begini. Kan kami istirahat dan menghadap belakang. Aku dan Sigit tidak ada
melihat apa-apa kecuali ya lampu kota, bulan dan pepohonan. Nah beda dengan Ditto.
Karena sebelumnya kami membicarakan mau cari makan-makan enak di simbah-simbah
Jogja, dia beneran lihat penampakan simbah-simbah 30 meter dibawah kami. Waduh,
ini pengalaman pertamaku mendengar temanku ditampakin makhlus halus begini.
Makanya pas aku ajak cepat-cepat pergi, Ditto curiga kalau aku juga melihat
pemandangan yang sama. Padahal alasanku murni karena gak mau terlalu kedinginan
dan malas naik kembali. Entahlah ya, ini semua karena efek kelelahan sepertinya.
OKE!
Setelah kami puas menikmati, kami keliling puncak. Kami menemukan dataran yang
bisa lah untuk digunakan main sepak bola haha. Ada lubang besar di sebelah
dataran ini yang merupakan kawah dari gunung ini. Ketika kami dekati, bau
belerang terasa sekali dan ada suara yang aneh menurutku. Aku cari-cari
sumbernya ternyata itu adalah suara air yang mendidih dibawah sana! Masyaallah,
aku baru kali ini lihat kawah yang ada airnya dan airnya mendidih! Benar-benar
proses alam yang keren dan aku jadi ingin tau lebih jauh bagaimana bawah
tanahnya gunung ini. Metode geofisika apa yang cocok ya? Hahaha.
Ini kawah dari Gunung Sindoro. Di lubang bawah tengah itu tempat air mendidih, terpanaskan oleh lava yang ada dibawahnya. |
Terbawa
suasana, aku duduk sendiri, merenung. Melihat kebawah sana, lereng yang terjal
dan dataran bawah yang hijau. Benar-benar penenang untuk jiwa yang beberapa
waktu kebelakang ini agak terguncang hahaha. Skip. Setelah aku
selesai menikmati, kami makan pagi. Alhamdulillah masakan Adi nikmat terasa.
Hangat matahari sudah ada dimana-mana sekarang dan kami bersiap untuk
pulang. Packing tenda, kerir dan segala prentelan sudah
dilaksanakan. Oiya yang penting jangan lupa untuk BAWA SAMPAHMU TURUN!
Ingat, bawa sampahmu turun! |
Perjalanan
turun segera dilaksanakan agar tidak terlalu siang sampai di bawah. Sembari
turun kami membawa sampah dan memetik semua sampah yang kami dapatkan di jalan.
Lumayan juga banyak dapatnya, padahal jalur ini termasuk sepi lho. Artinya
sampah akan tinggal ditempatnya kecuali ada yang pungut. Makanya JANGAN
BUANG SAMPAH SEMBARANGAN!
Sesaat sebelum turun. Dari kiri ke kanan, aku, Ditto, Sigit dan Adi. |
Perjalanan
turun kami ya mengulang apa yang kami lakukan kemarinnya. Gak akan banyak aku
ceritakan. Oiya ada suatu ketika Sigit salah pijak tanah. Yang dikiranya tanah
keras, ternyata adalah cerukan saluran air yang cukup dalam, tertutup
rerumputan. Sehingga dia terperosok dan menggelinding beberapa kali ke bawah.
Cukup lucu kalau diingat gimana Sigit bisa menggelinding hahaha. Kami sampai di
Pos 1 sekitar jam 12.30-an. Mengingat perjalanan dari basecamp menuju
Pos 1 kemarin, kami membulatkan tekad untuk menggunakan ojek saja hahaha. 30
menit menunggu, ojek sudah datang dan kami on board menuju basecamp.
Setelah pendakian! |
Di
jalan aku bercerita kepada mas ojek, kalau kami kemah di puncak. Aku bertanya
dimana Pos 4 nya mas? Masnya bilang kalau Pos 4 nya itu hancur termakan
belerang katanya. Pantas saja kami malam-malam gak bisa nemu yaaa. Mas-masnya
ketawa tau kalau kami mendaki sampai malam dan sampainya di Pos 4. Keseliwer ngomong-ngomong
gak kerasa 15 menit kami menaiki ojek akhirnya sampai di basecamp.
Alhamdulillah kami bisa beristirahat disini. Tapi kami gak lama-lama ambil
istirahat dikarenakan hari sudah menunjukkan sekitar pukul 2.
Kami
segera cabut dari basecamp dan meninggalkan Bansari menuju
Jogja. Kami sampai di Jogja sekitaran maghrib dan makan di Mie Ayam Afui dulu.
Kata Adi, ini recommended sih. Setelah itu kita pulang lewat
sebelahnya Selokan Mataram yang kata Adi sebenarnya bawahnya ini terowongan
dari Keraton menuju Lumbung Padi Godean. WAW!
Akhirnya
kami sampai di rumah sekitar pukul 8 malam dan langsung beristirahat. Lengkap
sudah perjalanan ini. Terimakasih Adi telah sekali lagi memberikan rencana
bepergian yang baik! Sekian cerita kali ini, semoga kalian menyukainya dan
mohon maaf kalau cara menulisku yang masih agak gak jelas mungkin ya? Tapi
terimakasih banyak telah mau membaca dan sampai jumpa di tulisan berikutnya!
Wassalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Terimakasih diriku! |
0 Comments