Perjalanan membutuhkan
keberanian. Kalau Anda tidak berani mengambil langkah, Anda tidak akan sampai.
Kalau Anda berani, ada kemungkinan Anda sampai atau tidak. Jadi, beranilah!
-- 19 Februari
2020 –
Tidur
yang lelap sudah cukup kami dapatkan. Entah kenapa, kalau di rumah Mbah Mun
kebiasaanku jadi bangunnya pagi. Tidak ada kata bangun siang. Mungkin karena
pagi-pagi sudah terdengar bunyi “krempyengan” panci dari dapur yang cukup dekat
dengan tempat aku tidur, sehingga membuat aku terbangun. Justru itu tapi yang
aku senang. Ya, bangun pagi adalah kebiasaan baik yang harus dipertahankan
menurutku. Karena bangun pagi membuat aura positif keluar (perasaanku saja
mungkin). Sehingga semua perasaan gembira dan optimis akan keluar hari itu.
Hari
ini adalah hari pertama eksekusi rencana perjalanan kami. Entah kenapa pagi itu
terasa lambat. Aku merasakan aku sedikit gugup dan takut. Apakah perjalanan
beberapa hari kedepan akan memuaskan dan jelas? Adakah halangan yang akan menghadang
kami? Oke, kembali ke kata-kata pembuka tadi. Kita harus berani! Lebih baik
mempersiapkan barang-barang yang diperlukan kan daripada memikirkan hal-hal
tidak baik. Namun, ternyata kami juga tidak tergerak untuk mempersiapkan hingga
kira-kira pukul 9, kami baru benar-benar mengecek barang-barang bawaan.
Rencana
awal kami adalah berangkat setelah sholat dzuhur. Biar kami tidak harus sholat
di jalan. Waktu semakin siang dan akhirnya sampai juga waktunya. Selepas sholat dzuhur di musala dekat rumah, kami segera
mengangkut semua barang bawaan kami yang terbungkus dalam satu kerir dan satu
tas ransel. Kami berpamitan kepada Mbah Mun dan segera berangkat agar tidak
terlalu malam sampainya. Tujuan pertama kami adalah Kawah Ijen. Kali ini Ditto
yang mengendarai motor karena memang "harus dia" (xixixi).
Ditto
baru saja bisa mengendarai kendaraan dengan gigi. Jadi selama perjalanan aku
sambil ngajarin tuh gimana cara nurunin gigi biar tidak kasar hehe.
Jalanan Jember Bondowoso keadaannya cukup bagus dan ternyata lebih sempit
dibanding dulu aku waktu kecil lewat. Mungkin karena akunya yang tambah besar
sih ya haha. Setelah 40 menit kira-kira kami sampai di daerah Grujugan. Hujan
yang cukup deras menghadang kami sehingga kami harus menepi, mencari masjid yang
bisa kami gunakan untuk berteduh.
Tidur dulu gaes nunggu ujan selesai |
Tak
begitu lama, kira-kira 25 menit, bahkan azan ashar-pun belum terdengar, kami berangkat lagi. Sebenarnya gerimis masih turun, namun kami nekat hehe. Tak
berapa lama, kami sampai di pusat kota Bondowoso yang tidak terlalu ramai dan
teduh. Kami melewati Monumen Gerbong Maut yang ceritanya sepertinya terkenal di
Bondowoso. Kota ini tidak lebih ramai dari Jember, namun juga masih lebih ramai
dibandingkan Pelaihari. Dari pusat kota kita lalu mengarah ke timur laut menuju
jalan yang menghubungkan Bondowoso dengan DTT Ijen.
Aku
kira sudah cukup dekat setelah dari pusat kota Bondowoso, ternyata aku salah!
Perjalanan dari pusat kota Bondowoso ke pertigaan menuju jalan Ijen aja sudah
cukup jauh. Kapan sampainya ya? Hehe. Kira-kira setelah hampir 20 menit kami
sampai di pertigaannya. Kami belok kanan dan berjalan lurus. Melewati kebun
rumput gajah yang sangat luas! Melewati perkampungan yang ada di sekitar sana
dan aku gak nyangka di daerah yang sangat jauh dari kota, swalayan waralaba
ternyata masih ada! Memang kekuatan mereka adalah di jaringan yang ada di
mana-mana ya.
Jalan menuju Ijen, mulus sekali dan rindang |
Sebelum memasuki hutan |
Setelah
kami habis melewati pedesaan, kami akhirnya masuk kedalam hutan. Kelihatannya
ini adalah hutan perkebunan karena tumbuhannya homogen. Aku gak tau sih itu
pepohonan apa gak terlalu merhatikan cuma aku ada lihat truk-truk pengangkut
hasil kebun gitu. Besar-besar dan menurutku serem aja lihat truk besar di
tengah-tengah hutan kebun gitu. Apalagi suasana waktu itu adalah jalanan yang
basah, banyak kabut namun belum sampai menghalangi pandangan.
Pada
awalnya sih jalanan tidak terlalu menanjak. Namun, lama kelamaan, jalanan mulai
meliuk-liuk dan menanjak. Bahkan ada longsoran waktu itu di bahu kanan jalan.
Pepohonan yang menutupi jalan sudah semakin menipis dan mulai ada pepohonan
kopi di pinggir jalan. Sudah cukup tinggi menurutku ini. Lama kelamaan, jalanan
berubah menjadi agak sedikit datar dan akhirnya menurun. Kami bisa melihat sisi
bukit yang sangat terjal. Serem menurutku kalau ini longsor, itu bakal
berbahaya. Tapi kami terus berjalan hingga akhirnya kami sampai di suatu pos.
Pos ini sepertinya adalah pos jaga. Waktu itu, ada dua bapak-bapak yang menjaga pos tersebut dan bapak-bapak ini menanyakan kami mau kemana dan tujuannya apa. Kami bilanglah ke mereka bahwa kami mau ke Ijen untuk satu hari. Kalau kalian sampai pos ini, mampir dulu ya. Kalian gak akan nyesal mampir melihat pemandangan seluruh gunung yang ada di Ijen. Masyaallah, indah sekali! Kalian bisa lihat Gunung Ijen, Gunung Suket, Kawah Wurung, bahkan Gunung Raung. Gunung Ijen terlihat khas dengan asapnya yang sedikit abu-abu. Setelah puas, kami melanjutkan perjalanan.
Pemandangan gunung-gunung yang melingkari DTT Ijen dilihat dari pos penjagaan |
Kami
menuruni punggungan bukit ini dan akhirnya sampai di dasar DTT Ijen. Kami
melewati perumahan-perumahan pekerja kebun dan kami sampai di Desa Sempol. Desa
ini beberapa waktu yang lalu dikabarkan dilanda banjir yang membawa material
berwarna gelap akibat bekas kebakaran. Pertama kali sampai di desa ini, aku
melihat patung jagung dan petani. Kayanya patung ini adalah landmark dari desa ini. Oiya, waktu itu
juga kelihatan masih bekas banjirnya. Di jalanan masih ada bekas warna hitam.
Tiba-tiba saja teringat, kami belum sholat ashar!
Selamat datang di Sempol! |
Untungnya ada masjid di dekat sini dan kami mampir. Masjid ini cukup besar dengan pemandangan pintu
belakangnya adalah Gunung Ijen. WAW! Air wudhunya dingin banget dan suasananya
pun, dingin banget. Setelah kami sholat kami melanjutkan perjalanan. Kali ini
kami mau berkunjung ke Kawah Wurung terlebih dahulu. Aku penasaran dengan
bagaimana bentuk dari kawah yang tidak jadi ini dan mungkin, aku bisa liat fitur
geologi yang keren disini hehe.
-
Perjalanan Menuju Kawah Wurung –
Untuk
menuju Kawah Wurung, kita belok kanan dari jalan utama Ijen. Kira-kira 1,5 km
melalui jalan semen, kamu akan menemukan sebuah pedesaan yang tidak terlalu
besar. Lalu kamu belok kiri dan akan menemukan sebuah tanjakan. Nah dari
tanjakan ini, pemandangan sudah berubah ke padang rumput yang keren banget kaya di luar negeri atau suasana-suasana musik video lagu India, SUMPAH!
Foto yang aku ambil dari parkiran Kawah Wurung |
Kira-kira
1 km dari desa terakhir tadi, kami akhirnya sampai di gerbang masuk Kawah
Wurung. Aku kira disini bakal ditarik retribusi dan bakal dikasih karcis.
Ternyata waktu itu, kami sepertinya terlalu sore sehingga sudah tidak ada yang
menjaga. Kami langsung masuk dan memarkirkan motor kami.
Kawah Wurung sign |
Setelah
itu, kami menaiki tangga yang cukup panjang untuk menuju pinggiran kawah ini
yang cukup tinggi. Kira-kira setelah 10
menit mendaki tangga, kami akhirnya sampai di tempat itu. Masyaallah ini indah
sekali! Hamparan rerumputan di sabana yang sangat luas. Lalu ada sebuah
gundukan yang menjelaskan kenapa dinamakan Kawah Wurung daerah ini. Jadi
gundukan itu sepertinya adalah hasil aktivitas vulkanik namun tidak mencapai
ketinggian yang signifikan dan aktivitasnya sudah berhenti. Di bawahnya, ada tanah
yang bentuknya seperti aliran magma yang membeku. Bentuknya abstrak mengikuti
kontur disana pokoknya keren banget! Ada dua gundukan besar disini dan satu
sabana yang luas banget!
Pemandangan Kawah Wurung |
Aku
kira, kita bisa kebawah namun ternyata tidak. Tapi ada pembangunan jalan di
sebelah gundukan tadi. Entah menuju mana jalan itu. Jalanannya masih berupa
tanah namun warnanya hitam, keren! Ternyata kami disini tidak sendiri. Ada
seorang lelaki yang kelihatannya hobi fotografi dan dia sedang mengabadikan
momen disini. Ia mengakui sedang mengadakan touring
juga ke berbagai tempat. Ia berasal dari Jogja dan kebetulan ada temannya
melakukan pernikahan di Bondowoso. Sehingga ia memutuskan untuk mampir.
Ini loh sabananya yang sangat luas! Kelihatan kan ada gundukan bekas aliran lava di sebelah kiri itu |
Oiya
di tempat kami menikmati pemandangan ini, kalian juga bisa ngelihat batuan yang
terkikis. Batuan ini terlihat perlapisannya yang terkikis oleh air. Gak bisa
jelasin lebih jauh tapi aku, takut salah hehe. Lalu kalian juga bisa lihat
pemandangan DTT Ijen yang waktu itu, banyak kabutnya. Kami melihat kabut
bergerak kesana sini, menutupi gunung lalu hilang. Bahkan aku juga melihat uap
air yang naik ke udara untuk berkumpul lalu membentuk awan. Waktu
itu proses itu terlihat jelas diatas sebuah hutan yang terlihat lebat.
Dari stairway to Kawah Wurung |
Karena hari makin sore, kira-kira pukul 5, kami turun. Lalu kami kembali ke jalan utama menuju Ijen. Oh iya waktu dari Kawah Wurung menuju perkampungan, kami tidak menyalakan mesin kami melainkan membiarkan gravitasi menarik motor kami hahaha. Kira-kira 15 menit, kami akhirnya sampai di jalan utama kembali. Tak lama, kabut tebal kembali turun dan membuat jalanan basah. Matahari sudah mulai meninggalkan kami sehingga membuat suasana menjadi mistis.
Jalanan
kecil yang meliuk-liuk ini seolah tak ada ujungnya. Kelihatannya di Google Maps
tidak begitu jauh. Namun, ketika dijalanin beneran, jauh juga. Apalagi hari
sudah mulai gelap, kabut tebal turun sehingga pandangan kami tidak lebih dari 5
meter kedepan. Tiba tiba saja, jalanan aspal yang kami lalui habis. Berganti
dengan jalanan tanah dan berbelok. Seolah-olah ini bekas longsoran atau apa juga
aku tidak mengetahuinya. Aku kira kami tersesat, karena jalan ini tanah yang aku kira ya akhir dari jalan aspal.
Ternyata tidak, benar jalanan ini tertutupi bekas longsoran yang masih belum
dibersihkan. Beberapa puluh meter didepan jalan tanah tadi, jalanan aspal kembali kami
jumpai.
Namun,
kami juga tak kunjung sampai. Kami terus melewati hutan dan hari semakin gelap.
Sayup-sayup aku mendengar suara air terjun. Apakah ini Air Terjun Kalipait? Oh
ini adalah penanda kalau kami akan sampai. Benar saja, air terjun yang katanya
airnya adalah air belerang ini, ada di sisi kiri jalan. Terlihat samar-samar akibat
gelap, airnya jatuh dari atas dengan deras. Kira-kira 10 menit setelah itu, kami
sampai di jalanan yang cukup rata dan tak lama kami sampai di rumah-rumah
penduduk.
Karena
kami tidak tahu ini dimana, akhirnya kami memutuskan untuk bertanya kepada
penjaga pos yang ada di sana. Bapak penjaga mengatakan bahwa ini adalah Bumi Perkemahan (Buper) Paltuding, satu-satunya pos pendakian Gunung Ijen. Alhamdulillah batinku,
akhirnya sampai. Perjalanan menyeramkan ini selesai juga. Kami dipersilahkan
oleh bapak tersebut untuk mampir ke salah satu warung yang ada disana. Terdapat
banyak warung disana yang bisa kita singgahi sebelum kita mendaki Ijen di
tengah malam nanti.
Ketika
kami sampai disana, suasananya sepi. Memang kami yang datang terlalu
awal sih. Pemilik warung mengatakan bahwa biasanya orang datang jam tengah-tengah
malam karena pendakian dibuka pukul 1 malam. Sehingga orang-orang tak ingin
berlama-lama menunggu disana. Padahal aku sudah ngira mungkin karena ini
bukan musim liburan sehingga tak banyak orang yang kesini. Oke, karena waktu
masih sangat lama, kami memutuskan untuk menghangatkan badan di perapian, makan
malam, lalu beristirahat agar fisik kuat mendaki. Tak lupa juga kami
melaksanakan ibadah terlebih dahulu. Akhirnya kami tertidur di salah satu
warung. Malam itu menurutku cukup dingin. Aku memakai jaket dan seluruh
penghangat badan yang bisa aku pakai.
Bersambung.
0 Comments