Advertisement

Responsive Advertisement

Eastrip Bagian 4: Waktunya Beranjak!

Perjalanan membutuhkan keberanian. Kalau Anda tidak berani mengambil langkah, Anda tidak akan sampai. Kalau Anda berani, ada kemungkinan Anda sampai atau tidak. Jadi, beranilah!

 

-- 19 Februari 2020 –

Tidur yang lelap sudah cukup kami dapatkan. Entah kenapa, kalau di rumah Mbah Mun kebiasaanku jadi bangunnya pagi. Tidak ada kata bangun siang. Mungkin karena pagi-pagi sudah terdengar bunyi “krempyengan” panci dari dapur yang cukup dekat dengan tempat aku tidur, sehingga membuat aku terbangun. Justru itu tapi yang aku senang. Ya, bangun pagi adalah kebiasaan baik yang harus dipertahankan menurutku. Karena bangun pagi membuat aura positif keluar (perasaanku saja mungkin). Sehingga semua perasaan gembira dan optimis akan keluar hari itu.

Hari ini adalah hari pertama eksekusi rencana perjalanan kami. Entah kenapa pagi itu terasa lambat. Aku merasakan aku sedikit gugup dan takut. Apakah perjalanan beberapa hari kedepan akan memuaskan dan jelas? Adakah halangan yang akan menghadang kami? Oke, kembali ke kata-kata pembuka tadi. Kita harus berani! Lebih baik mempersiapkan barang-barang yang diperlukan kan daripada memikirkan hal-hal tidak baik. Namun, ternyata kami juga tidak tergerak untuk mempersiapkan hingga kira-kira pukul 9, kami baru benar-benar mengecek barang-barang bawaan.

Rencana awal kami adalah berangkat setelah sholat dzuhur. Biar kami tidak harus sholat di jalan. Waktu semakin siang dan akhirnya sampai juga waktunya. Selepas sholat dzuhur di musala dekat rumah, kami segera mengangkut semua barang bawaan kami yang terbungkus dalam satu kerir dan satu tas ransel. Kami berpamitan kepada Mbah Mun dan segera berangkat agar tidak terlalu malam sampainya. Tujuan pertama kami adalah Kawah Ijen. Kali ini Ditto yang mengendarai motor karena memang "harus dia" (xixixi).

Ditto baru saja bisa mengendarai kendaraan dengan gigi. Jadi selama perjalanan aku sambil ngajarin tuh gimana cara nurunin gigi biar tidak kasar hehe. Jalanan Jember Bondowoso keadaannya cukup bagus dan ternyata lebih sempit dibanding dulu aku waktu kecil lewat. Mungkin karena akunya yang tambah besar sih ya haha. Setelah 40 menit kira-kira kami sampai di daerah Grujugan. Hujan yang cukup deras menghadang kami sehingga kami harus menepi, mencari masjid yang bisa kami gunakan untuk berteduh.

Tidur dulu gaes nunggu ujan selesai

Tak begitu lama, kira-kira 25 menit, bahkan azan ashar-pun belum terdengar, kami berangkat lagi. Sebenarnya gerimis masih turun, namun kami nekat hehe. Tak berapa lama, kami sampai di pusat kota Bondowoso yang tidak terlalu ramai dan teduh. Kami melewati Monumen Gerbong Maut yang ceritanya sepertinya terkenal di Bondowoso. Kota ini tidak lebih ramai dari Jember, namun juga masih lebih ramai dibandingkan Pelaihari. Dari pusat kota kita lalu mengarah ke timur laut menuju jalan yang menghubungkan Bondowoso dengan DTT Ijen.

Aku kira sudah cukup dekat setelah dari pusat kota Bondowoso, ternyata aku salah! Perjalanan dari pusat kota Bondowoso ke pertigaan menuju jalan Ijen aja sudah cukup jauh. Kapan sampainya ya? Hehe. Kira-kira setelah hampir 20 menit kami sampai di pertigaannya. Kami belok kanan dan berjalan lurus. Melewati kebun rumput gajah yang sangat luas! Melewati perkampungan yang ada di sekitar sana dan aku gak nyangka di daerah yang sangat jauh dari kota, swalayan waralaba ternyata masih ada! Memang kekuatan mereka adalah di jaringan yang ada di mana-mana ya.

Jalan menuju Ijen, mulus sekali dan rindang

 Sebelum memasuki hutan

Setelah kami habis melewati pedesaan, kami akhirnya masuk kedalam hutan. Kelihatannya ini adalah hutan perkebunan karena tumbuhannya homogen. Aku gak tau sih itu pepohonan apa gak terlalu merhatikan cuma aku ada lihat truk-truk pengangkut hasil kebun gitu. Besar-besar dan menurutku serem aja lihat truk besar di tengah-tengah hutan kebun gitu. Apalagi suasana waktu itu adalah jalanan yang basah, banyak kabut namun belum sampai menghalangi pandangan.

Pada awalnya sih jalanan tidak terlalu menanjak. Namun, lama kelamaan, jalanan mulai meliuk-liuk dan menanjak. Bahkan ada longsoran waktu itu di bahu kanan jalan. Pepohonan yang menutupi jalan sudah semakin menipis dan mulai ada pepohonan kopi di pinggir jalan. Sudah cukup tinggi menurutku ini. Lama kelamaan, jalanan berubah menjadi agak sedikit datar dan akhirnya menurun. Kami bisa melihat sisi bukit yang sangat terjal. Serem menurutku kalau ini longsor, itu bakal berbahaya. Tapi kami terus berjalan hingga akhirnya kami sampai di suatu pos.

Pos ini sepertinya adalah pos jaga. Waktu itu, ada dua bapak-bapak yang menjaga pos tersebut dan bapak-bapak ini menanyakan kami mau kemana dan tujuannya apa. Kami bilanglah ke mereka bahwa kami mau ke Ijen untuk satu hari. Kalau kalian sampai pos ini, mampir dulu ya. Kalian gak akan nyesal mampir melihat pemandangan seluruh gunung yang ada di Ijen. Masyaallah, indah sekali! Kalian bisa lihat Gunung Ijen, Gunung Suket, Kawah Wurung, bahkan Gunung Raung. Gunung Ijen terlihat khas dengan asapnya yang sedikit abu-abu. Setelah puas, kami melanjutkan perjalanan.


Pemandangan gunung-gunung yang melingkari DTT Ijen dilihat dari pos penjagaan

Kami menuruni punggungan bukit ini dan akhirnya sampai di dasar DTT Ijen. Kami melewati perumahan-perumahan pekerja kebun dan kami sampai di Desa Sempol. Desa ini beberapa waktu yang lalu dikabarkan dilanda banjir yang membawa material berwarna gelap akibat bekas kebakaran. Pertama kali sampai di desa ini, aku melihat patung jagung dan petani. Kayanya patung ini adalah landmark dari desa ini. Oiya, waktu itu juga kelihatan masih bekas banjirnya. Di jalanan masih ada bekas warna hitam. Tiba-tiba saja teringat, kami belum sholat ashar!

Selamat datang di Sempol!

Untungnya ada masjid di dekat sini dan kami mampir. Masjid ini cukup besar dengan pemandangan pintu belakangnya adalah Gunung Ijen. WAW! Air wudhunya dingin banget dan suasananya pun, dingin banget. Setelah kami sholat kami melanjutkan perjalanan. Kali ini kami mau berkunjung ke Kawah Wurung terlebih dahulu. Aku penasaran dengan bagaimana bentuk dari kawah yang tidak jadi ini dan mungkin, aku bisa liat fitur geologi yang keren disini hehe.

 

- Perjalanan Menuju Kawah Wurung –

Untuk menuju Kawah Wurung, kita belok kanan dari jalan utama Ijen. Kira-kira 1,5 km melalui jalan semen, kamu akan menemukan sebuah pedesaan yang tidak terlalu besar. Lalu kamu belok kiri dan akan menemukan sebuah tanjakan. Nah dari tanjakan ini, pemandangan sudah berubah ke padang rumput yang keren banget kaya di luar negeri atau suasana-suasana musik video lagu India, SUMPAH!

Foto yang aku ambil dari parkiran Kawah Wurung

Kira-kira 1 km dari desa terakhir tadi, kami akhirnya sampai di gerbang masuk Kawah Wurung. Aku kira disini bakal ditarik retribusi dan bakal dikasih karcis. Ternyata waktu itu, kami sepertinya terlalu sore sehingga sudah tidak ada yang menjaga. Kami langsung masuk dan memarkirkan motor kami.

Kawah Wurung sign

Setelah itu, kami menaiki tangga yang cukup panjang untuk menuju pinggiran kawah ini yang cukup tinggi. Kira-kira setelah  10 menit mendaki tangga, kami akhirnya sampai di tempat itu. Masyaallah ini indah sekali! Hamparan rerumputan di sabana yang sangat luas. Lalu ada sebuah gundukan yang menjelaskan kenapa dinamakan Kawah Wurung daerah ini. Jadi gundukan itu sepertinya adalah hasil aktivitas vulkanik namun tidak mencapai ketinggian yang signifikan dan aktivitasnya sudah berhenti. Di bawahnya, ada tanah yang bentuknya seperti aliran magma yang membeku. Bentuknya abstrak mengikuti kontur disana pokoknya keren banget! Ada dua gundukan besar disini dan satu sabana yang luas banget!



Pemandangan Kawah Wurung 

Aku kira, kita bisa kebawah namun ternyata tidak. Tapi ada pembangunan jalan di sebelah gundukan tadi. Entah menuju mana jalan itu. Jalanannya masih berupa tanah namun warnanya hitam, keren! Ternyata kami disini tidak sendiri. Ada seorang lelaki yang kelihatannya hobi fotografi dan dia sedang mengabadikan momen disini. Ia mengakui sedang mengadakan touring juga ke berbagai tempat. Ia berasal dari Jogja dan kebetulan ada temannya melakukan pernikahan di Bondowoso. Sehingga ia memutuskan untuk mampir.

Ini loh sabananya yang sangat luas! Kelihatan kan ada gundukan bekas aliran lava di sebelah kiri itu

Oiya di tempat kami menikmati pemandangan ini, kalian juga bisa ngelihat batuan yang terkikis. Batuan ini terlihat perlapisannya yang terkikis oleh air. Gak bisa jelasin lebih jauh tapi aku, takut salah hehe. Lalu kalian juga bisa lihat pemandangan DTT Ijen yang waktu itu, banyak kabutnya. Kami melihat kabut bergerak kesana sini, menutupi gunung lalu hilang. Bahkan aku juga melihat uap air yang naik ke udara untuk berkumpul lalu membentuk awan. Waktu itu proses itu terlihat jelas diatas sebuah hutan yang terlihat lebat.



Dari stairway to Kawah Wurung

Karena hari makin sore, kira-kira pukul 5, kami turun. Lalu kami kembali ke jalan utama menuju Ijen. Oh iya waktu dari Kawah Wurung menuju perkampungan, kami tidak menyalakan mesin kami melainkan membiarkan gravitasi menarik motor kami hahaha. Kira-kira 15 menit, kami akhirnya sampai di jalan utama kembali. Tak lama, kabut tebal kembali turun dan membuat jalanan basah. Matahari sudah mulai meninggalkan kami sehingga membuat suasana menjadi mistis.

Jalanan kecil yang meliuk-liuk ini seolah tak ada ujungnya. Kelihatannya di Google Maps tidak begitu jauh. Namun, ketika dijalanin beneran, jauh juga. Apalagi hari sudah mulai gelap, kabut tebal turun sehingga pandangan kami tidak lebih dari 5 meter kedepan. Tiba tiba saja, jalanan aspal yang kami lalui habis. Berganti dengan jalanan tanah dan berbelok. Seolah-olah ini bekas longsoran atau apa juga aku tidak mengetahuinya. Aku kira kami tersesat, karena jalan ini tanah yang aku kira ya akhir dari jalan aspal. Ternyata tidak, benar jalanan ini tertutupi bekas longsoran yang masih belum dibersihkan. Beberapa puluh meter didepan jalan tanah tadi, jalanan aspal kembali kami jumpai.

Namun, kami juga tak kunjung sampai. Kami terus melewati hutan dan hari semakin gelap. Sayup-sayup aku mendengar suara air terjun. Apakah ini Air Terjun Kalipait? Oh ini adalah penanda kalau kami akan sampai. Benar saja, air terjun yang katanya airnya adalah air belerang ini, ada di sisi kiri jalan. Terlihat samar-samar akibat gelap, airnya jatuh dari atas dengan deras. Kira-kira 10 menit setelah itu, kami sampai di jalanan yang cukup rata dan tak lama kami sampai di rumah-rumah penduduk.

Karena kami tidak tahu ini dimana, akhirnya kami memutuskan untuk bertanya kepada penjaga pos yang ada di sana. Bapak penjaga mengatakan bahwa ini adalah Bumi Perkemahan (Buper) Paltuding, satu-satunya pos pendakian Gunung Ijen. Alhamdulillah batinku, akhirnya sampai. Perjalanan menyeramkan ini selesai juga. Kami dipersilahkan oleh bapak tersebut untuk mampir ke salah satu warung yang ada disana. Terdapat banyak warung disana yang bisa kita singgahi sebelum kita mendaki Ijen di tengah malam nanti.

Ketika kami sampai disana, suasananya sepi. Memang kami yang datang terlalu awal sih. Pemilik warung mengatakan bahwa biasanya orang datang jam tengah-tengah malam karena pendakian dibuka pukul 1 malam. Sehingga orang-orang tak ingin berlama-lama menunggu disana. Padahal aku sudah ngira mungkin karena ini bukan musim liburan sehingga tak banyak orang yang kesini. Oke, karena waktu masih sangat lama, kami memutuskan untuk menghangatkan badan di perapian, makan malam, lalu beristirahat agar fisik kuat mendaki. Tak lupa juga kami melaksanakan ibadah terlebih dahulu. Akhirnya kami tertidur di salah satu warung. Malam itu menurutku cukup dingin. Aku memakai jaket dan seluruh penghangat badan yang bisa aku pakai.

Bersambung.

Post a Comment

0 Comments