Advertisement

Responsive Advertisement

Eastrip Bagian 5: Pendakian Gunung Ijen

Sudah banyak yang berkata untuk siapkan fisik ketika mendaki. Agar pendakianmu yang sudah berat akibat jalanan menanjak, tidak semakin berat karena tubuh tidak siap!

 

-- 20 Februari 2020 --

Kami terbangun pada pukul setengah 1 dini hari. TELAT! Karena rencana awal kami adalah bangun pada pukul 12 malam. Aku panik kala itu. Biasa, karena aku orangnya terbiasa tepat waktu sesuai rencana, jadi mungkin kaget dengan kegagalan rencana hehe. Oiya aku belum bercerita kalau pendakian kali ini aku bakal bareng sama teman aku dari Kalimantan, sebut saja namanya Ucil alias Yoan. Tapi lebih enak dipanggil Ucil sih. Ucil ini sedang liburan di rumah tantenya di Bali dan kali ini berkesempatan untuk mengunjungi Jember dan berlibur ke Ijen.

Sebenarnya aku terbangun jam setengah 1 pagi itu karena Ucil meneleponku. Untung saja baterai ponselku sudah terisi setelah sebelumnya drop karena suhu dingin. Sehingga dia bisa menghubungi aku. Ia berkata kalau ia sudah di pos pendaftaran di sana. Aku agak gak enak kala itu karena aku yang telat malah hehe. Kasian dia dan keluarga tantenya harus menunggu. Okelah aku dan Ditto segera beranjak dari tidur dan berangkat. Saat hendak berangkat, pemilik warung menawarkan kami untuk menyewa masker corong gitu (gatau ini sebutannya benar atau gak) karena nanti di atas bakal susah bernafas kalau gak pakai masker. Akhirnya kami menyewa di warung tersebut dan berangkat.

Saat di pos pendaftaran yang sekaligus gerbang masuk, kami ketemu dengan keluarganya Ucil. Kami berkenalan dan melakukan pendaftaran untuk mendaki. Tak disangka, ternyata waktu itu banyak banget yang mendaki. Emang cuma kami aja yang datangnya terlalu dini sampe bisa merasakan tidur yang sangat lama disini. Tak banyak bicara, kami segera mendaki dengan banyak orang yang juga mendaki pagi itu, termasuk para turis mancanegara dengan bodi yang besar dan langkahnya cepat. Ada juga turis dari China waktu itu, bahkan sudah cukup tua.

Kira-kira perjalanan baru menginjak 15 menit, aku yang didepan tidak menyadari kalau rombongan keluarganya Ucil tertinggal di belakang. Akhirnya kami menunggu dan ternyata omnya Ucil sudah tidak kuat katanya sehingga mereka berjalan pelan-pelan saja. Aku dan Ditto disuruh oleh Ucil untuk duluan saja. Kami menurut dan segera berjalan mendaki. Di tengah perjalanan, kami salip-salipan dengan dua bule cewek. Mereka kakinya panjang-panjang sekali dan melangkahnya cepat banget! Kami kalah disalip mereka tapi akhirnya kami bisa menyalip kembali. Terus-terusan seperti itu sampai akhirnya kami sampai di suatu gubuk. Bukan gubuk sih, mirip rumah cuma fungsinya adalah warung yang digunakan untuk singgah para pendaki dan penambang belerang. Cukup ramai, ada yang makan, ada yang hanya duduk-duduk. Kami memilih untuk istirahat sebentar meregangkan kaki kami dan mengelap peluh.

Setelah 8 menit beristirahat, tak disangka tiba-tiba si Ucil muncul dari kegelapan (jengjengjeng). Namun, ia hanya bertiga sama mas dan adek sepupunya, tanpa om dan tantenya. Aku menanyakan kemana mereka kok gak ada? Katanya, om sama tantenya udah gak kuat sehingga memutuskan untuk turun kembali. Owalah sayang sekali sudah jauh-jauh kesini malah gak jadi sebenarnya. Tapi apa boleh buat kan? Sebenarnya sebelum kami sampai di gubuk ini, Ditto beberapa kali meminta kami untuk rehat. Sama, dia juga mengalami kelelahan. Nah maka dari itu, ingat, penting untuk melakukan persiapan fisik sebelum mendaki! Paling gak lari-lari buat pemanasan tubuh kita biar gak kaget dikasih beban fisik yang cukup berat. Oke skip!

Setelah beberapa lama kami duduk disana, kami memutuskan untuk jalan kembali, bersama-sama, menuju Puncak Gunung Ijen. Perjalanan dari sini sudah tidak terlalu melelahkan lagi. Hanya ada beberapa tanjakan, ada juga tangga, dan lama kelamaan beralih ke jalanan yang cukup datar. Tiba-tiba kami dihalangi oleh kabut. Awalnya kabut ini tidak terlalu mengganggu, namun lama-lama, kok kabutnya jadi beraroma menyengat gini dan menyusahkan pernapasan serta membuat mata menjadi pedih? Ini bukan lagi kabut biasa, tapi kabut belerang. Kami harus mulai menggunakan masker yang kami sewa tadi. Alhamdulillah cukup menyelesaikan permasalahan pernapasan, walau mata aku berkali-kali menangis karena perihnya kabut belerang ini. Tapi kami terus berjalan.

Angin berkali-kali berubah arah. Terkadang membawa kabut ke arah kami dan terkadang malah sebaliknya. Terasa banget perbedaan antara waktu ada kabut dan tidak. Udara yang dihirup kerasa banget bedanya. Tiba-tiba, ada kaya pondok lagi dan kali ini ada antenna sinyalnya. Wadaw, elit sekali pondok ini (pikirku). Tapi kali itu kami gak mampir karena kami sudah tidak terlalu lelah. Kami meneruskan perjalanan dan pada akhirnya kami sampai di pinggiran kawah Gunung Ijen. Awalnya sih aku bingung mau ngapain, tapi ya apa lagi yang dicari di Ijen kalau bukan Blue Fire kan?

Akhirnya kami memutuskan untuk turun ke kawah untuk melihat Blue Fire yang hanya ada dua di seluruh dunia ini. Perjalanan ke bawah ini sungguh menantang, selain karena gelap, kabut juga menjadi penghalang kami. Aku berkali-kali menangis gara-gara kabut ini namun perjalanan harus terus berlanjut! Oiya kalau di rute ini kalian harus berbagi jalan ya sama penambang yang mau naik maupun turun ke kawah. Prioritaskan mereka yang hendak lewat karena tuntutan ekonomi. Kami berkali-kali berpapasan dengan para penambang dan kami selalu mempersilahkan mereka untuk lewat terlebih dahulu. Mereka memanggul bakul yang berisi belerang. Berat kelihatannya tapi keren bapak-bapak ini pada kuat memanggul gini.

Again, perjalanan ke bawah ini cukup susah karena jalurnya bebatuan dan tidak jelas arah dari jalannya. Sedangkan kanan kiri adalah jurang dan kita berjalan dalam keadaan gelap. Benar-benar harus ekstra hati-hati dan main insting deh! Kira-kira perjalanan 30-40 menit kami lewati dan akhirnya kami sampai di tempat Blue Fire. Ramai sekali orang-orang disini dan sayangnya waktu itu Blue Fire tidak terlihat. Kami akhirnya melihat-lihat penambangan belerang ini. Aku kira, belerang itu sudah dalam bentuk batu dan para penambang tinggal mengambilnya. Ternyata salah! Belerang ini dialirkan menggunakan pipa-pipa besi dari sumber belerangnya yaitu Blue Fire ke pinggiran-pinggiran yang cukup aman. Nah pipa ini akan mengeluarkan gas belerang dan juga cairan belerang. Cairan ini akan mengendap dan membeku seiring waktu. Nah bekuan dari cairan inilah yang ditambang oleh para penambang. Asik deh pokoknya kelihatannya.

Blue fire sedang terlihat. Masyaallah indah sekali

Setelah cukup puas melihat cara kerja penambangan, tiba-tiba saja kabut mulai hilang dan Blue Fire muncul. Masyaallah, sungguh pemandangan yang indah. Biasanya lihat api biru cuma di kompor gas kalau gak pas bakar-bakaran karet dalam intensitas yang kecil. Tapi yang satu ini, keluar dari dalam batu dan dalam intensitas yang besar. Keren abis! Nah kabut belerang itu sumbernya juga dari api biru ini. Aku jadi penasaran apa yang ada di bawah api biru ini sampai bisa terjadi fenomena seperti ini.

Berfoto bersama keluarganya Ucil, sayangnya mukaku tertutup senter

Kami terhanyut dalam keindahan. Tak sadar, kami menemui om dan tantenya Ucil sudah ada di sini juga. Loh kapan beliau mendakinya? Ternyata omnya menggunakan taksi warga. Taksi ini adalah sebutan untuk juru dorong gerobak yang dapat mengantarkan kita dari bawah hingga ke atas. Aku gak tahu berapa bayarnya, tapi bagi kalian yang gak kuat mendaki bisa menggunakan sarana ini, sekaligus menghidupkan ekonomi masyarakat sana. Setelah itu, kami berfoto-foto. Tak sadar, jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi, sebentar lagi matahari terbit akan dimulai. Aku dan Ditto naik ke puncak terlebih dahulu. Ucil dan keluarganya masih mau di bawah. Oke kita berpisah disini.


Pemandangan di Ijen saat baru saja terang dan kabut masih belum terlalu banyak

Perjalanan kembali ke puncak ditempuh dengan waktu dan problematika yang masih sama, kabut belerang! Sungguh menderita kalau mata sudah perih gara-gara belerang ini. Aku gak lebay kali ini ya. Sesampainya di atas, ternyata kabut mengelilingi kami sehingga tidak ada pemandangan apa-apa kecuali kabut putih. Bahkan danau kaldera di bawah saja tidak terlalu kelihatan saking tebalnya kabut ini. Maklum sih, kami mendaki di waktu musim hujan soalnya. Di arah timur puncak Ijen ini, ada Gunung Merapi yang menjulang dengan indahnya, sangat gagah seperti suatu bongkah batuan besar yang utuh. Beneran, warnanya hitam lagi. Sayangnya kabut terlalu tebal untuk sinar matahari dapat menembusnya.

Ini loh masker yang kami sewa (Ditto as model)



Foto ala ala dulu yaa


Kabut tebal kala itu menutupi Gunung Merapi yang ada di sebelah timur Ijen

Waktu terus berjalan, tidak ada tanda-tanda kabut akan hilang dari pandangan. Sekalinya menipis, nanti akan digantikan dengan kabut dari arah lain yang tidak kalah tebal. Ya sudahlah matahari terbit mungkin belum berjodoh dengan kami dan harus kami relakan. Kami mengelilingi puncak dari Gunung Ijen yang cukup luas ini. Puncak ini juga tidak memiliki banyak vegetasi dan tentunya tidak ada yang kemping disini. Kami berjalan di sekeliling puncak dan sampai dimana kami tidak berani lagi lebih jauh karena tak ada orang sama sekali. Kami (terutama aku) takut ada apa-apa dan gak ada yang bisa membantu nantinya. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke pertigaan mau turun tadi.

Kerajinan belerang yang dijual penduduk setempat

Nah itu para penambang membawa batu belerang sebanyak itu dari bawah kawah ke atas dan hanya menggunakan panggulan bambu

Di pertigaan kami kira bakal ketemu sama keluarganya Ucil tapi ternyata tidak. Mereka sepertinya sudah turun duluan. Karena sudah tidak ada kegiatan lagi, kami memutuskan untuk turun juga. Sepanjang jalan, kami sedikit kena gerimis yang ternyata makin lama, makin deras. Tapi semakin kebawah, gerimisnya semakin reda juga. Kami menapaki jalanan yang tidak kami lihat sewaktu mendaki. Ternyata jalanan ini berupa tanah padat yang bertaburan kerikil. Warnanya hitam, terlihat sangat subur hehe.

Inilah taksi ala Ijen yang bisa membawa kalian dari bawah ke atas dengan membayar sejumlah uang tertentu

Kami bertemu beberapa turis yang baru mau mendaki, dan ada juga yang masih turun. Tapi relatif sepanjang jalan sudah agak sepi karena udah pada turun duluan tadi mungkin. Kira-kira selama 1 jam kami mendaki turun dan akhirnya kami sampai di pos pendaftaran. Kami berfoto di depan gapura pendakian dan kami segera kembali ke warung tempat kami menitipkan barang. Oh iya, Ucil dimana? Tenang, ternyata setelah aku hubungi, dia sudah berada di salah satu warung di bawah sini. Ia sedang makan bersama keluarganya. Syukurlah. Setelah itu aku datangi dia dan berdadah saat mereka pulang duluan ke Jember.

My all time friend, Ucil from South Kalimantan sebagai teman pendakian pertama


Teman pendakian kedua, Ditto, sekaligus teman perjalanan

Aku lalu kembali ke warung dan mempersiapkan keberangkatan kami selanjutnya. Jadi kami setelah ini hendak menuju suatu tempat. Nah setelah kami selesai beberes, kami pamit dan berterimakasih sama pemilik warung karena telah memperbolehkan kami menginap disana. Ada kejadian waktu kami mau berangkat. Jadi motor Ragil ini agak susah untuk dihidupkan jika ia terlalu lama dalam kondisi dingin alias tidak dipakai. Nah kali ini, motornya sudah gak dipakai selama lebih dari 12 jam dalam kondisi lingkungan yang suhunya dingin HAHAHA. Mampuslah kami. Walhasil kami harus mengengkol manual lebih dari 100 kali mungkin hingga ia akhirnya mau menyala. Horee!!! Pagi-pagi kami olahraga kaki sudah hahaha.

Oke, kami lanjut ke berangkat ke destinasi selanjutnya. Bersambung.

Coffee after hike, punya Ditto, bukan aku


Post a Comment

0 Comments