Advertisement

Responsive Advertisement

Eastrip Bagian 6: Berlanjut ke Baluran

Rules are made to be [fill in the blank] 

-- 20 Februari 2020 --

Selepas kami puas berada di Ijen, dan sesuai dengan rencana, kami memutuskan untuk turun. Kami memacu (eh?), menggas motor kami menembus kabut yang juga tak kunjung menipis ini. Sinar matahari tidak ada tanda-tanda akan muncul. Kami melewati jalan yang berbeda dari keberangkatan kami. Kali ini kami melewati jalan menuju Kecamatan Licin, Banyuwangi. Jalan ini cukup bagus, mulus. Namun, namanya jalanan di lereng pegunungan ya pasti berkelok-kelok dan penuh dengan naik dan turunan. Kanan dan kiri dari jalan ini dipenuhi hutan hujan dengan pepohonan yang besar-besar.  Karakternya beda sama hutan Kalimantan tapi keren juga sih. Kala itu, kabut berkali-kali berubah menjadi hujan gerimis. Hujan ini datang dan pergi berkali-kali. Entah sudah kelokan dan turunan keberapa yang kami lewati, tiba-tiba kami bertemu dengan sebuah pondok, eh miripnya kaya villa gitu sih di kanan jalan. Kayanya ini sebuah tempat wisata yang sekarang sudah gak ada pengunjungnya. Iyalah, serem kayanya kalau menginap disana karena dikelilingi hutan bro.

Sepanjang jalan hutan ini, kami hanya berpapasan sekali dengan mobil yang hendak menuju atas. Beruntunglah kataku ada yang lewat, takut aja kok sepi banget gitu. Kami terus melewati jalanan yang seolah tak ada hentinya turunan dan kelokannya sampai akhirnya gerimis atau hujan ini berhenti seiring semakin rendahnya ketinggian kami. Kami mulai memasuki perkebunan milik rakyat yang ditanami pepohonan dan tanaman lainnya. Jalanan masih saja berkelok-kelok namun mulus. Tak lama, kami akhirnya menemukan pemukiman penduduk.

Awalnya, aku lihat di Google Maps, di sekitar jalanan ini ada pos pemantauan gunung api. Aku ingin berkunjung kesana, mau nimba ilmu tentang gunung-gunung yang mengelilingi DTT Ijen. Tapi selama dijalan, aku tidak dapat menemukan kantor ini. Keberuntunganku semakin menjauh karena hpku batrainya sisa sedikit, dengan kondisi chargerannya yang agak rusak dan ya kita mau ngecas dimana juga kan ini. Sehingga, aku harus benar-benar menghemat sisa baterai yang aku punya. Yasudah, aku harus merelakan tujuan edukasi kali ini dan terus berjalan.

Lama kelamaan, kami akhirnya sampai di pemukiman yang sudah cukup padat. Ternyata kami sudah dekat dengan pusat kota Banyuwangi. Ditto minta kami untuk berhenti karena ia ingin mengambil uang di ATM. Oiya, kali ini aku yang mengendarai, sementara dia hanya ingin di belakang sepanjang perjalanan. Entah apa yang buat dia kaya begitu, biasanya selalu maksa buat mengendarai hahaha. Oiya, aku lupa bilang kalau kami ini belum ada makan pagi loh! Setelah turun dari Ijen, kami langsung perjalanan tanpa sarapan dulu. Jangan ditiru ya! Sarapan itu penting. Bagiku juga sarapan itu harus dilakukan, namun aku ingin melanggarnya sekali ini hehe.

Oke perjalanan berlanjut dan akhirnya kami sampai di tengah kota Banyuwangi yang mana, kami baru pertama kali kesini. Jalanannya ternyata cukup rindang dan lebar-lebar. Kami menuju utara, melintasi Pelabuhan Ketapang dan ujung timur rel kereta api di Jawa. Dikira tahan, ternyata kami (terutama aku) sudah tidak tahan dengan kelaparan yang melanda ini. Apalagi sepanjang jalan kami terkena angin yang kencang akibat perjalanan. Akhirnya kami mampir di salah satu masjid yang ada di sisi kiri jalan. Kami turun, ternyata masjid ini dikunci! Padahal kami ingin merebahkan diri sejenak sebelum kami lanjut perjalanan dan tentunya SARAPAN! Kami membawa beberapa bungkus mie instan dan kompor lapangan, sehingga kami bisa masak. Namun, masjid ini tidak terbuka dan tidak ada tempat yang bisa kami jadikan tempat untuk masak. Yaudah, kami lanjut lagi sambil menahan kelaparan.

Kami melewati pesisir timur Banyuwangi termasuk Patung Gandrung yang ada di pinggir laut itu. Ternyata patungnya kok gak sebesar yang aku pikirkan ya? Perasaan waktu itu patungnya kaya besar gitu kelihatannya (karena akunya masih kecil sih haha). Kami terus menuju utara sampai akhirnya sekitar 2 km sebelum pintu masuk Baluran, kami menemukan tempat makan. Kami makan disana. Pemilik dari warung ini adalah tiga orang nenek-nenek yang bekerja sama dalam menyajikan makanan kami. Aku merasa, keren banget dilayani, diberi makanan oleh tiga nenek-nenek yang masih berjualan. Jadi keinget mbah yang ada di Jember, yang sedang aku tinggal sendirian sekarang.

Kami memesan makanan yang berbeda. Aku memesan gado-gado (eh apa rujak ya?), Ditto memesan rawon. Menurutku enak sih. Kami juga meminta minum disana untuk konsumsi kami selama perjalanan hehe. Setelah selesai makan, kami lanjut perjalanan. Akhirnya kami menemukan masjid yang bisa dijadikan tempat singgah. Kami sholat dzuhur dan membersihkan diri disana. Baju kami masih bau belerang banget! Muka kami masih banyak bekas kena asap belerang dan asap selama perjalanan. Setelah itu, perjalanan kami hanya kira-kira 10 menit dan kami sampai di pintu masuk Baluran.

Saat kami sampai di pos pembelian tiket, kala itu masih tutup karena waktu istirahat dzuhur. Ada beberapa pemuda juga yang hendak masuk dan membeli tiket harus menunggu sama dengan kami. Kesempatan ini dimanfaatkan Ditto untuk membeli oleh-oleh berupa ganci. Sayangnya aku tidak terlalu tertarik waktu itu untuk membeli apa-apa, hanya ingin cepat-cepat masuk dan melihat Baluran. Tak berapa lama, pembelian tiket dibuka dan kami membeli tiket untuk berdua. Setelah mendapatkan tiket, kami segera berjalan kembali.

Masuk ke Baluran, kita bisa menggunakan sepeda motor, namun dengan batasan kecepatan 40 km/jam. Nah, teman-teman WAJIB UNTUK MENTAATI ATURAN INI YA! Aturan ini dibuat dengan alasan, salah satunya adalah menurutku agar kita tidak cedera saat tiba-tiba ada satwa yang lewat. Karena disini ekosistemnya benar-benar alami dan masih banyak hewan liar berkeliaran. Beberapa kali kami melihat ada peringatan hati-hati kalau ada rusa lewat dan peringatan sejenis. Selama perjalanan, kami melewati beberapa tempat yang menjadi daya tarik. Antara lain adalah hutan yang hijau sepanjang tahun (aduh gak tahu nama benarnya). Memasuki hutan ini, suasana teduh sangat asri dan enak dirasa. Apalagi dikala siang-siang panas kami berjemur dibawah matahari sepanjang jalan kan?

Jalanan di Baluran yang halu, sepi, dan teduh

Perjalanan kami terus lanjut. Kira-kira 15 menit, kami akhirnya sampai di padang sabana yang luas. Jalannya menjadi belok ke arah kanan, tidak lurus ternyata. Disinilah kami dapat menemukan spot foto bertuliskan Sabana Bekol. Disini banyak sekali monyet dan terdapat peraturan untuk tidak boleh menuju area sabana. Hal ini dikarenakan banyak ular yang siap menggigit dan menyuntikkan bisanya jika kamu lengah. Jika kita melihat kebelakang, kita bisa melihat Gunung Baluran yang menjulang dengan gagahnya tanpa penghalang apapun! Namun, kami kali ini tidak mampir dan masih terus lanjut berjalan.

Kira-kira 15 menit selanjutnya, kami akhirnya sampai di ujung jalan Baluran. Ujung jalan ini ada di tempat wisata yang dinamakan Pantai Bama. Pantai ini penuh juga dengan monyet yang kalau kalian lengah, makanan kalian akan jadi sasaran mereka. Setelah itu, kami membayar retribusi dan menikmati waktu kami disini dengan rebahan menggunakan matras yang kami bawa. Sembari rebahan, kami juga menyiapkan makan siang kami, dengan pengawasan EKSTRA! Para monyet sudah bersiap untuk ikut mengambil jatah makan kami disekitar kami. Berkali-kali kami harus menghalau monyet-monyet tersebut. Tapi kami bisa mengatasinya.

Chill out gais!

Akhirnya makan siang sudah siap, kami santap dengan lahap! Tak lama, makanan habis dan kami beristirahat. Akibat sejuknya udara dan lelahnya badan kami, kami akhirnya terlelap tidur. Mungkin sekitar 20 menit kami terlelap tidur, kami terbangun kembali. Untung saja tidak ada barang yang kurang karena diambil si akang (re: monyet). Bangun dari tidur aku baru menyadari bahwa ombak pantai ini bisa dibilang sangat kecil. Bahkan hampir tidak ada suaranya. Ini adalah pantai paling tenang yang pernah aku kunjungi (sampai bisa tidur nyenyak), bahkan hingga ke tengah lautnya. Selain tenang, airnya juga jernih sekali dan terlihat tidak berbahaya kalau kita renang. Tapi kami waktu itu tidak renang karena malas untuk berbasah-basah.

Waktu sudah semakin sore, kami hendak pulang. Sebelum pulang, aku menyempatkan untuk sedikit berjalan ke sisi utara dari pantai ini. Sungguh indah pemandangannya memang. Air yang terlihat biru beserta batuan yang benar-benar hitam terlihat sangat cocok. Bunga-bunga kuning juga terlihat sangat indah mekar dari kelopaknya dan pohon bakau yang jarang-jarang enak banget buat dijadikan tempat berteduh. Tempat ini sungguh surga dunia, apalagi tidak banyak yang berkunjung kesana. Namun, waktu semakin sore, kami juga harus bergegas pulang dari sini. Jujur, saat hendak pulang, aku kaya sedih gitu. Karena baru kali ini sepertinya menemukan tempat sedamai ini.




Beberapa dokumentasi di Pantai Bama

Sebelum pulang, kami melaksanakan ibadah dulu. Setelah itu, kita bergegas pulang melewati jalan yang sama. Kali ini, pemandangan yang didapat adalah Gunung Baluran yang utuh terlihat beserta matahari yang ada di belakangnya. Masyaallah, tempat ini memang lengkap, wujud dari imajinasi akan Afrika. Kami mengambil beberapa foto bersama Gunung Baluran di kejauhan. Di depan mata, agak jauh, tepatnya di spot foto Sabana Bekol, terlihat satu rombongan dengan bis sedang berfoto. Ternyata bisa juga ya orang pakai bis kesini. Aku kira cuma motor atau mobil.

Nah, selain pemandangan Gunung Baluran, kami juga mendapatkan pemandangan geng monyet yang banyak banget kaya mau tawuran SMA hahaha. Selain itu, ada juga kerbau-kerbau yang sedang berendam di lumpur. Di kejauhan juga tampak rusa sedang makan rerumputan. Setelah itu, kami memasuki hutan dan tidak mendapatkan fauna apa-apa. Tak berapa lama kami sampai di gerbang masuk dan kami keluar dari arena ini.



Beberapa dokumentasi waktu mau pulang, tapi pas banget bagus pemandangannya

Kami melanjutkan perjalanan pulang kali ini ke Genteng, Banyuwangi. Yap, aku akan mengunjungi teman SMA-ku, Nadita dan akan menumpang nginap untuk semalam disana. Perjalanan pulang ini terasa sangat melelahkan, bahkan di jalan aku kayanya sudah sering marah-marah ke Ditto, kebawa emosi lelah (hehehe). Kira-kira 3 jam kami di jalan, akhirnya kami sampai di rumah Nadita dalam keadaan langit sudah gelap gulita.

Hello!

Ramah tamah terjadi dan kami mengobrol banyak hal. Karena memang aku dan Nadita lama tidak bertemu, sekitar satu setengah tahun. Setelah dirasa cukup, kami akhirnya istirahat. Istirahat yang sangat lelap dan benar-benar melepas lelah setelah dalam satu hari kami menempuh perjalanan 170 km dan belum istirahat dengan benar sejak turun dari Ijen. Selamat malam Genteng, jumpa di pagi hari!

Bersambung.

Post a Comment

0 Comments