-- 20 Februari
2020 --
Selepas
kami puas berada di Ijen, dan sesuai dengan rencana, kami memutuskan untuk turun. Kami memacu (eh?),
menggas motor kami menembus kabut yang juga tak kunjung menipis ini. Sinar
matahari tidak ada tanda-tanda akan muncul. Kami melewati jalan yang berbeda
dari keberangkatan kami. Kali ini kami melewati jalan menuju Kecamatan Licin,
Banyuwangi. Jalan ini cukup bagus, mulus. Namun, namanya jalanan di lereng
pegunungan ya pasti berkelok-kelok dan penuh dengan naik dan turunan. Kanan dan
kiri dari jalan ini dipenuhi hutan hujan dengan pepohonan yang besar-besar. Karakternya beda sama hutan Kalimantan tapi keren juga sih. Kala itu, kabut berkali-kali berubah menjadi hujan gerimis. Hujan ini datang
dan pergi berkali-kali. Entah sudah kelokan dan turunan keberapa yang kami
lewati, tiba-tiba kami bertemu dengan sebuah pondok, eh miripnya kaya villa
gitu sih di kanan jalan. Kayanya ini sebuah tempat wisata yang sekarang sudah
gak ada pengunjungnya. Iyalah, serem kayanya kalau menginap disana karena
dikelilingi hutan bro.
Sepanjang
jalan hutan ini, kami hanya berpapasan sekali dengan mobil yang hendak menuju
atas. Beruntunglah kataku ada yang lewat, takut aja kok sepi banget gitu. Kami terus melewati
jalanan yang seolah tak ada hentinya turunan dan kelokannya sampai akhirnya
gerimis atau hujan ini berhenti seiring semakin rendahnya ketinggian kami. Kami
mulai memasuki perkebunan milik rakyat yang ditanami pepohonan dan tanaman
lainnya. Jalanan masih saja berkelok-kelok namun mulus. Tak lama, kami akhirnya
menemukan pemukiman penduduk.
Awalnya,
aku lihat di Google Maps, di sekitar jalanan ini ada pos pemantauan gunung
api. Aku ingin berkunjung kesana, mau nimba ilmu tentang gunung-gunung yang
mengelilingi DTT Ijen. Tapi selama dijalan, aku tidak dapat menemukan kantor
ini. Keberuntunganku semakin menjauh karena hpku batrainya sisa sedikit, dengan
kondisi chargerannya yang agak rusak dan ya kita mau ngecas dimana juga kan ini. Sehingga, aku harus benar-benar menghemat sisa
baterai yang aku punya. Yasudah, aku harus merelakan tujuan edukasi kali ini
dan terus berjalan.
Lama
kelamaan, kami akhirnya sampai di pemukiman yang sudah cukup padat. Ternyata
kami sudah dekat dengan pusat kota Banyuwangi. Ditto minta kami untuk berhenti
karena ia ingin mengambil uang di ATM. Oiya, kali ini aku yang mengendarai,
sementara dia hanya ingin di belakang sepanjang perjalanan. Entah apa yang buat
dia kaya begitu, biasanya selalu maksa buat mengendarai hahaha. Oiya, aku lupa
bilang kalau kami ini belum ada makan pagi loh! Setelah turun dari Ijen, kami
langsung perjalanan tanpa sarapan dulu. Jangan ditiru ya! Sarapan itu penting. Bagiku
juga sarapan itu harus dilakukan, namun aku ingin melanggarnya sekali ini hehe.
Oke
perjalanan berlanjut dan akhirnya kami sampai di tengah kota Banyuwangi yang
mana, kami baru pertama kali kesini. Jalanannya ternyata cukup rindang dan
lebar-lebar. Kami menuju utara, melintasi Pelabuhan Ketapang dan ujung timur
rel kereta api di Jawa. Dikira tahan, ternyata kami (terutama aku) sudah tidak
tahan dengan kelaparan yang melanda ini. Apalagi sepanjang jalan kami terkena angin
yang kencang akibat perjalanan. Akhirnya kami mampir di salah satu masjid yang
ada di sisi kiri jalan. Kami turun, ternyata masjid ini dikunci! Padahal kami
ingin merebahkan diri sejenak sebelum kami lanjut perjalanan dan tentunya
SARAPAN! Kami membawa beberapa bungkus mie instan dan kompor lapangan, sehingga
kami bisa masak. Namun, masjid ini tidak terbuka dan tidak ada tempat yang bisa
kami jadikan tempat untuk masak. Yaudah, kami lanjut lagi sambil menahan
kelaparan.
Kami
melewati pesisir timur Banyuwangi termasuk Patung Gandrung yang ada di pinggir
laut itu. Ternyata patungnya kok gak sebesar yang aku pikirkan ya? Perasaan
waktu itu patungnya kaya besar gitu kelihatannya (karena akunya masih kecil sih haha). Kami terus menuju utara
sampai akhirnya sekitar 2 km sebelum pintu masuk Baluran, kami menemukan tempat
makan. Kami makan disana. Pemilik dari warung ini adalah tiga orang nenek-nenek
yang bekerja sama dalam menyajikan makanan kami. Aku merasa, keren banget
dilayani, diberi makanan oleh tiga nenek-nenek yang masih berjualan. Jadi
keinget mbah yang ada di Jember, yang sedang aku tinggal sendirian sekarang.
Kami
memesan makanan yang berbeda. Aku memesan gado-gado (eh apa rujak ya?), Ditto
memesan rawon. Menurutku enak sih. Kami juga meminta minum disana untuk
konsumsi kami selama perjalanan hehe. Setelah selesai makan, kami lanjut
perjalanan. Akhirnya kami menemukan masjid yang bisa dijadikan tempat singgah. Kami
sholat dzuhur dan membersihkan diri disana. Baju kami masih bau belerang
banget! Muka kami masih banyak bekas kena asap belerang dan asap selama
perjalanan. Setelah itu, perjalanan kami hanya kira-kira 10 menit dan kami
sampai di pintu masuk Baluran.
Saat kami sampai di pos pembelian tiket, kala itu masih tutup karena waktu istirahat dzuhur. Ada beberapa pemuda juga yang hendak masuk dan membeli tiket harus menunggu sama dengan kami. Kesempatan ini dimanfaatkan Ditto untuk membeli oleh-oleh berupa ganci. Sayangnya aku tidak terlalu tertarik waktu itu untuk membeli apa-apa, hanya ingin cepat-cepat masuk dan melihat Baluran. Tak berapa lama, pembelian tiket dibuka dan kami membeli tiket untuk berdua. Setelah mendapatkan tiket, kami segera berjalan kembali.
Masuk ke Baluran, kita bisa menggunakan sepeda motor, namun dengan batasan kecepatan 40 km/jam. Nah, teman-teman WAJIB UNTUK MENTAATI ATURAN INI YA! Aturan ini dibuat dengan alasan, salah satunya adalah menurutku agar kita tidak cedera saat tiba-tiba ada satwa yang lewat. Karena disini ekosistemnya benar-benar alami dan masih banyak hewan liar berkeliaran. Beberapa kali kami melihat ada peringatan hati-hati kalau ada rusa lewat dan peringatan sejenis. Selama perjalanan, kami melewati beberapa tempat yang menjadi daya tarik. Antara lain adalah hutan yang hijau sepanjang tahun (aduh gak tahu nama benarnya). Memasuki hutan ini, suasana teduh sangat asri dan enak dirasa. Apalagi dikala siang-siang panas kami berjemur dibawah matahari sepanjang jalan kan?
Jalanan di Baluran yang halu, sepi, dan teduh
Perjalanan kami terus lanjut. Kira-kira 15 menit, kami akhirnya sampai di padang sabana yang luas. Jalannya menjadi belok ke arah kanan, tidak lurus ternyata. Disinilah kami dapat menemukan spot foto bertuliskan Sabana Bekol. Disini banyak sekali monyet dan terdapat peraturan untuk tidak boleh menuju area sabana. Hal ini dikarenakan banyak ular yang siap menggigit dan menyuntikkan bisanya jika kamu lengah. Jika kita melihat kebelakang, kita bisa melihat Gunung Baluran yang menjulang dengan gagahnya tanpa penghalang apapun! Namun, kami kali ini tidak mampir dan masih terus lanjut berjalan.
Kira-kira
15 menit selanjutnya, kami akhirnya sampai di ujung jalan Baluran. Ujung jalan ini
ada di tempat wisata yang dinamakan Pantai Bama. Pantai ini penuh juga dengan
monyet yang kalau kalian lengah, makanan kalian akan jadi sasaran mereka.
Setelah itu, kami membayar retribusi dan menikmati waktu kami disini dengan
rebahan menggunakan matras yang kami bawa. Sembari rebahan, kami juga
menyiapkan makan siang kami, dengan pengawasan EKSTRA! Para monyet sudah
bersiap untuk ikut mengambil jatah makan kami disekitar kami. Berkali-kali kami
harus menghalau monyet-monyet tersebut. Tapi kami bisa mengatasinya.
Akhirnya
makan siang sudah siap, kami santap dengan lahap! Tak lama, makanan habis dan
kami beristirahat. Akibat sejuknya udara dan lelahnya badan kami, kami akhirnya
terlelap tidur. Mungkin sekitar 20 menit kami terlelap tidur, kami terbangun
kembali. Untung saja tidak ada barang yang kurang karena diambil si akang (re:
monyet). Bangun dari tidur aku baru menyadari bahwa ombak pantai ini bisa
dibilang sangat kecil. Bahkan hampir tidak ada suaranya. Ini adalah pantai
paling tenang yang pernah aku kunjungi (sampai bisa tidur nyenyak), bahkan hingga ke tengah lautnya. Selain
tenang, airnya juga jernih sekali dan terlihat tidak berbahaya kalau kita
renang. Tapi kami waktu itu tidak renang karena malas untuk berbasah-basah.
Waktu
sudah semakin sore, kami hendak pulang. Sebelum pulang, aku menyempatkan untuk
sedikit berjalan ke sisi utara dari pantai ini. Sungguh indah pemandangannya
memang. Air yang terlihat biru beserta batuan yang benar-benar hitam terlihat
sangat cocok. Bunga-bunga kuning juga terlihat sangat indah mekar dari
kelopaknya dan pohon bakau yang jarang-jarang enak banget buat dijadikan tempat
berteduh. Tempat ini sungguh surga dunia, apalagi tidak banyak yang berkunjung
kesana. Namun, waktu semakin sore, kami juga harus bergegas pulang dari sini.
Jujur, saat hendak pulang, aku kaya sedih gitu. Karena baru kali ini sepertinya
menemukan tempat sedamai ini.
Sebelum
pulang, kami melaksanakan ibadah dulu. Setelah itu, kita bergegas pulang
melewati jalan yang sama. Kali ini, pemandangan yang didapat adalah Gunung
Baluran yang utuh terlihat beserta matahari yang ada di belakangnya.
Masyaallah, tempat ini memang lengkap, wujud dari imajinasi akan Afrika. Kami
mengambil beberapa foto bersama Gunung Baluran di kejauhan. Di depan mata, agak
jauh, tepatnya di spot foto Sabana Bekol, terlihat satu rombongan dengan bis
sedang berfoto. Ternyata bisa juga ya orang pakai bis kesini. Aku kira cuma
motor atau mobil.
Nah,
selain pemandangan Gunung Baluran, kami juga mendapatkan pemandangan geng
monyet yang banyak banget kaya mau tawuran SMA hahaha. Selain itu, ada juga
kerbau-kerbau yang sedang berendam di lumpur. Di kejauhan juga tampak rusa
sedang makan rerumputan. Setelah itu, kami memasuki hutan dan tidak mendapatkan
fauna apa-apa. Tak berapa lama kami sampai di gerbang masuk dan kami keluar
dari arena ini.
Kami
melanjutkan perjalanan pulang kali ini ke Genteng, Banyuwangi. Yap, aku akan
mengunjungi teman SMA-ku, Nadita dan akan menumpang nginap untuk semalam
disana. Perjalanan pulang ini terasa sangat melelahkan, bahkan di jalan aku kayanya
sudah sering marah-marah ke Ditto, kebawa emosi lelah (hehehe). Kira-kira 3 jam
kami di jalan, akhirnya kami sampai di rumah Nadita dalam keadaan langit sudah
gelap gulita.
Ramah
tamah terjadi dan kami mengobrol banyak hal. Karena memang aku dan Nadita lama
tidak bertemu, sekitar satu setengah tahun. Setelah dirasa cukup, kami akhirnya istirahat. Istirahat yang
sangat lelap dan benar-benar melepas lelah setelah dalam satu hari kami
menempuh perjalanan 170 km dan belum istirahat dengan benar sejak turun dari
Ijen. Selamat malam Genteng, jumpa di pagi hari!
Bersambung.
0 Comments