Apa
ya?
-- Rabu, 4 Maret 2020 --
Tidak ada yang
spesial hari ini. Hari-hariku berjalan seperti biasanya. Menikmati waktu
dirumah bersama keluarga dan Farhan si gembul hehe. Tapi, tiba-tiba Yunita
menghubungi aku. Lagi-lagi, ia mengajakku untuk jalan-jalan, tapi gak tahu
kemana. Akhirnya, aku mengusulkan tempat. Bagaimana kalau kita mendaki! Kemana?
Ke Gunung (bukit deng) Tamiang yang ada di Panyipatan. Singkat cerita, setelah
dia menimbang-nimbang, akhirnya ia menyetujui. Kali ini, ia mengajak temannya, Janah dan Riki. Kami berjanji untuk berangkat ba’da ashar.
Ba’da ashar,
mereka datang ke rumahku. Tanpa banyak basa dan basi, aku berpamitan dengan
orang tua dan segera berangkat. Aku dibonceng oleh Riki. Yunita bersama Janah.
Jalan arah Panyipatan memang jalan yang bisa dibilang sangat bagus. Tidak ada
bolong dan terasa mulus. Pemandangan yang disajikan pun bagus sekali.
Tiba-tiba, tidak terasa, kami sudah sampai di tujuan kami, Bukit Tamiang. Oiya,
kalau kalian mau kesini, tempat parkirnya agak masuk kedalam begitu dan disana
nanti kalian akan diminta untuk membayar retribusi. Murah, gak mahal kok. Di
tempat parkir ini juga menyewakan tenda, matras, pokoknya alat-alat untuk
kemping.
2019 lalu, bulan
September, aku juga pernah kesini, bareng Ucil hehe. Nanti kita bandingkan ya
keadaannya bagaimana. Setelah kami membayar, kami langsung mendaki. Jalanan
yang waktu itu pinggirnya masih kebun sekarang sudah berubah menjadi ladang
untuk ternak sapi. Kelihatannya sih baru, karena tebangan pohonnya masih
terlihat. Kami terus berjalan dan menemukan gubuk kecil. Gubuk ini memang sudah
ada disini sejak September lalu. Ada kandang untuk ternak juga. Kami
beristirahat disini. Setelah cukup, kami lanjut kembali.
Pendakian disini
sebenarnya tidak jauh. Tapi karena elevasi yang rendah, suhu udara terbilang
panas, apalagi sore hari. Walaupun aku menggunakan baju tipis dan barang bawaan
yang tak banyak, keringat yang keluar terasa banyak sekali, membuat topiku basah.
Karena panas juga, kami jadi banyak berhenti dan minum. Kira-kira 1 jam, kami
baru sampai di puncak. Matahari sudah cukup rendah namun masih panas. Kami
hanya duduk-duduk sebentar disini. Saat ini rerumputan sudah hijau kembali.
Sedangkan September lalu, bukit ini terbakar dan menyisakan banyak jelaga
hitam. Tiba-tiba, para cewek-cewek sudah minta turun. Elah, belum lama juga
diatas. Ya sudah kami turun.
Ini keadaan waktu 2019 silam, selepas kebakaran
2020, alhamdulillah rumput sudah mulai tumbuh kembali
Perjalanan turun
pastinya tidak lebih lama dibandingkan perjalanan naik. Setengah jam berlalu,
kami sudah sampai di bawah. Sore hari masih terasa panjang. Akhirnya, kami
memutuskan untuk mencari destinasi lain untuk kami kunjungi. Terpilihlah Pantai
Batakan. Pantai ini masih berjarak sekitar 20 km-an dari lokasi kami saat ini.
Tapi kami terus saja jalan hehe. Di tengah jalan kami mampir ke masjid untuk
melaksanakan ibadah ashar. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan.
Sepanjang jalan,
aku merasa bahwa pemandangan ini sudah sangat asing bagiku. Memang, aku sudah
lama tidak kesini dan lama disini bukan 1 2 tahun haha. Sehingga banyak yang
berubah. Bahkan Bukit Timah yang dulu Cuma bukit gersang yang tidak terjamah,
sekarang menjadi objek wisata. Bukit Timah ini letaknya sudah dekat dengan
Pantai Batakan. Mungkin hanya berjarak waktu 15 menit. Setelah 15 menit, kami
sampai di tempat yang kami tuju.
Tempat ini
adalah bagian dari Pantai Batakan tapi yang bebas bayar karena memang tidak
dalam area pengawasan. Kalau di Batakan dipenuhi pohon cemara, disini hanya ada
pohon ketapang. Kami memarkir motor kami dibawah salah satunya. Setelah itu
kami menapaki pantai hitam yang penuh dengan sampah ini. Sedih melihat
kondisinya seperti ini. Namun, hal itu tak menyurutkan niat kami untuk tetap
menikmati sore disini.
Tak disangka,
aku menemukan sekumpulan kelomang disini. Selama aku berkunjung di
pantai-pantai yang ada di Kalimantan, aku gak pernah menemukan kelomang dan
ternyata mereka ada disini. Berjalan-jalan dengan bebasnya, tersapu ombak
berkali-kali, dan terkubur di dalam pasir lagi. Bedanya dengan di Jawa,
ukurannya disini kecil-kecil sekali. Bahkan tidak mencapai besar kuku jempolku.
Matahari
tenggelam mulai memainkan warnanya di langit. Kami menikmati pemandangan yang
ada di depan kami ini. Tentunya, kami juga mengambil beberapa foto untuk
mengabadikan momen yang jarang ini. Sepertinya, ini adalah pertama kalinya aku
melihat matahari terbenam di pesisir Kalimantan. Sama seperti Takisung kemarin,
pantai ini juga menghadap tepat ke arah barat. Sehingga tenggelamnya matahari
benar-benar di tengah lautan. Indah sekali.
Saat langit
sudah mulai gelap, kami segera bergegas pulang. Kami mampir di masjid yang ada
di dekat sana untuk sholat dan setelah itu kami lanjut pulang. Perjalanan
menuju Pelaihari tidak mendapat kendala apapun. Kami sampai kira-kira pukul
setengah 8. Cepat sekali ternyata. Mereka berpamitan dengan segera karena sudah
terlalu malam. Apalagi Yunita yang tidak bisa kena angin malam hahaha.
Selesai. Inilah
kronologi perjalananku selama Liburan Semester Genap di Tahun 2020 ini.
Benar-benar perjalanan yang akan aku ingat selama aku masih bisa mengingatnya.
Oh iya, mungkin tulisan inilah yang menjadi pengingat. Perjalanan kali ini
artinya sangat banyak karena aku banyak melakukan hal-hal baru dan bisa dibilang
nekat menurutku. Terima kasih untuk semua orang yang menjadi partisipan dan
terlibat dalam ceritaku kali ini. Terima kasih Allah SWT telah mewarnai waktuku
kali ini dengan jingga merah kuning biru dan hijau. Sekian, menutup salam yang
ada di Bagian 1, Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
0 Comments