Advertisement

Responsive Advertisement

Eastrip Bagian 11: Mengelilingi Panyipatan

Apa ya?

 

-- Rabu, 4 Maret 2020 --

Tidak ada yang spesial hari ini. Hari-hariku berjalan seperti biasanya. Menikmati waktu dirumah bersama keluarga dan Farhan si gembul hehe. Tapi, tiba-tiba Yunita menghubungi aku. Lagi-lagi, ia mengajakku untuk jalan-jalan, tapi gak tahu kemana. Akhirnya, aku mengusulkan tempat. Bagaimana kalau kita mendaki! Kemana? Ke Gunung (bukit deng) Tamiang yang ada di Panyipatan. Singkat cerita, setelah dia menimbang-nimbang, akhirnya ia menyetujui. Kali ini, ia mengajak temannya, Janah dan Riki. Kami berjanji untuk berangkat ba’da ashar.

Ba’da ashar, mereka datang ke rumahku. Tanpa banyak basa dan basi, aku berpamitan dengan orang tua dan segera berangkat. Aku dibonceng oleh Riki. Yunita bersama Janah. Jalan arah Panyipatan memang jalan yang bisa dibilang sangat bagus. Tidak ada bolong dan terasa mulus. Pemandangan yang disajikan pun bagus sekali. Tiba-tiba, tidak terasa, kami sudah sampai di tujuan kami, Bukit Tamiang. Oiya, kalau kalian mau kesini, tempat parkirnya agak masuk kedalam begitu dan disana nanti kalian akan diminta untuk membayar retribusi. Murah, gak mahal kok. Di tempat parkir ini juga menyewakan tenda, matras, pokoknya alat-alat untuk kemping.

2019 lalu, bulan September, aku juga pernah kesini, bareng Ucil hehe. Nanti kita bandingkan ya keadaannya bagaimana. Setelah kami membayar, kami langsung mendaki. Jalanan yang waktu itu pinggirnya masih kebun sekarang sudah berubah menjadi ladang untuk ternak sapi. Kelihatannya sih baru, karena tebangan pohonnya masih terlihat. Kami terus berjalan dan menemukan gubuk kecil. Gubuk ini memang sudah ada disini sejak September lalu. Ada kandang untuk ternak juga. Kami beristirahat disini. Setelah cukup, kami lanjut kembali.

Pendakian disini sebenarnya tidak jauh. Tapi karena elevasi yang rendah, suhu udara terbilang panas, apalagi sore hari. Walaupun aku menggunakan baju tipis dan barang bawaan yang tak banyak, keringat yang keluar terasa banyak sekali, membuat topiku basah. Karena panas juga, kami jadi banyak berhenti dan minum. Kira-kira 1 jam, kami baru sampai di puncak. Matahari sudah cukup rendah namun masih panas. Kami hanya duduk-duduk sebentar disini. Saat ini rerumputan sudah hijau kembali. Sedangkan September lalu, bukit ini terbakar dan menyisakan banyak jelaga hitam. Tiba-tiba, para cewek-cewek sudah minta turun. Elah, belum lama juga diatas. Ya sudah kami turun.

Ini keadaan waktu 2019 silam, selepas kebakaran

2020, alhamdulillah rumput sudah mulai tumbuh kembali

Perjalanan turun pastinya tidak lebih lama dibandingkan perjalanan naik. Setengah jam berlalu, kami sudah sampai di bawah. Sore hari masih terasa panjang. Akhirnya, kami memutuskan untuk mencari destinasi lain untuk kami kunjungi. Terpilihlah Pantai Batakan. Pantai ini masih berjarak sekitar 20 km-an dari lokasi kami saat ini. Tapi kami terus saja jalan hehe. Di tengah jalan kami mampir ke masjid untuk melaksanakan ibadah ashar. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan.

Sepanjang jalan, aku merasa bahwa pemandangan ini sudah sangat asing bagiku. Memang, aku sudah lama tidak kesini dan lama disini bukan 1 2 tahun haha. Sehingga banyak yang berubah. Bahkan Bukit Timah yang dulu Cuma bukit gersang yang tidak terjamah, sekarang menjadi objek wisata. Bukit Timah ini letaknya sudah dekat dengan Pantai Batakan. Mungkin hanya berjarak waktu 15 menit. Setelah 15 menit, kami sampai di tempat yang kami tuju.

Tempat ini adalah bagian dari Pantai Batakan tapi yang bebas bayar karena memang tidak dalam area pengawasan. Kalau di Batakan dipenuhi pohon cemara, disini hanya ada pohon ketapang. Kami memarkir motor kami dibawah salah satunya. Setelah itu kami menapaki pantai hitam yang penuh dengan sampah ini. Sedih melihat kondisinya seperti ini. Namun, hal itu tak menyurutkan niat kami untuk tetap menikmati sore disini.

Tak disangka, aku menemukan sekumpulan kelomang disini. Selama aku berkunjung di pantai-pantai yang ada di Kalimantan, aku gak pernah menemukan kelomang dan ternyata mereka ada disini. Berjalan-jalan dengan bebasnya, tersapu ombak berkali-kali, dan terkubur di dalam pasir lagi. Bedanya dengan di Jawa, ukurannya disini kecil-kecil sekali. Bahkan tidak mencapai besar kuku jempolku.

Matahari tenggelam mulai memainkan warnanya di langit. Kami menikmati pemandangan yang ada di depan kami ini. Tentunya, kami juga mengambil beberapa foto untuk mengabadikan momen yang jarang ini. Sepertinya, ini adalah pertama kalinya aku melihat matahari terbenam di pesisir Kalimantan. Sama seperti Takisung kemarin, pantai ini juga menghadap tepat ke arah barat. Sehingga tenggelamnya matahari benar-benar di tengah lautan. Indah sekali.

Saat langit sudah mulai gelap, kami segera bergegas pulang. Kami mampir di masjid yang ada di dekat sana untuk sholat dan setelah itu kami lanjut pulang. Perjalanan menuju Pelaihari tidak mendapat kendala apapun. Kami sampai kira-kira pukul setengah 8. Cepat sekali ternyata. Mereka berpamitan dengan segera karena sudah terlalu malam. Apalagi Yunita yang tidak bisa kena angin malam hahaha.


Pantai Batakan saat matahari tenggelam

Selesai. Inilah kronologi perjalananku selama Liburan Semester Genap di Tahun 2020 ini. Benar-benar perjalanan yang akan aku ingat selama aku masih bisa mengingatnya. Oh iya, mungkin tulisan inilah yang menjadi pengingat. Perjalanan kali ini artinya sangat banyak karena aku banyak melakukan hal-hal baru dan bisa dibilang nekat menurutku. Terima kasih untuk semua orang yang menjadi partisipan dan terlibat dalam ceritaku kali ini. Terima kasih Allah SWT telah mewarnai waktuku kali ini dengan jingga merah kuning biru dan hijau. Sekian, menutup salam yang ada di Bagian 1, Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Post a Comment

0 Comments