Kata
temanku, yang asyik dari perjalanan adalah segala ketidakterdugaan yang
terjadi. Hal ini menjadi warna perjalanan yang jika diingat-ingat membuat kita berpikir,
aneh-aneh saja hidup ini.
-- Jum’at, 21 Februari 2020 --
Pagi ke pagi ku
terjebak di dalam ..., hehe selamat pagi teman-teman pembaca! Alhamdulillah
tidurku malam tadi sangat nyenyak dan lelahku hilang! Pagi berudara segar
menyambutku di hari Jum’at yang barokah ini. Aku dan Ditto memutuskan untuk
pergi ke persawahan, persis seperti yang aku lakukan dengan Ragil dan Crismon
kala 2018 aku ke rumah Nadita. Pemandangan yang dilihat bagus sekali, rangkaian
gunung di DTT Ijen terlihat semua. Aku harap aku akan mendapatkan pemandangan
yang sama. Namun, ternyata takdir berkata lain, kabut tebal menutupi semua
gunung itu sehingga tidak ada yang terlihat, satupun.
Foto 2018 silam |
Foto tahun 2020 ini |
Setelah bosan,
kami kembali ke rumah dan sarapan. Setelah sarapan, kami membersihkan diri dan
bersiap untuk berangkat kembali. Oh iya, pagi itu, hanya ada Nadita di rumah.
Orang tuanya kerja di pasar, adiknya berangkat ke Jember untuk kembali
berkuliah, neneknya pergi ke tempat terapi Korea. Sepi pagi itu. Tiba-tiba
teringat untuk memanaskan sepeda, takutnya susah untuk dipanaskan kalau gak
segera dicoba. Alhamdulillah, dia tidak semenyebalkan kemarin ternyata.
Jam sudah
menunjukkan pukul 9 pagi. Kami hendak berangkat melanjutkan perjalanan. Kali
ini, kami berencana untuk ke De Djawatan, TN Alas Purwo, dan Pantai Pulau
Merah. Sebelum kami berangkat, ternyata orang tua dan nenek Nadita sudah
pulang. Walhasil, kami berpamitan dengan semuanya dan ketika kami hendak
berangkat, kami diberi sangu oleh orang tuanya. Kami diberikan sekantong
plastik penuh berisi buah naga dan camilan. Wah! Terima kasih banyak orang
tuanya Nadita sudah baik sekali sama kami. Nanti saya mampiri lagi kalau ke
Banyuwangi hehe. Sayonara!
Ini nih plastik penuh dengan buah naga |
Tujuan pertama
kami adalah De Djawatan. Tempat ini berjarak 15 km-an dari rumah Nadita dan
perjalanan kesana hanya memakan waktu sekitar 30 menit. Kami melewati jalanan
yang cukup lengang hingga akhirnya kami sampai di tujuan. Letaknya ada di kiri
jalan dan tidak disangka, ternyata letaknya bukan di hutan, melainkan di
belakang pemukiman pinggiran jalan. Masuk kesini dikenakan tiket 15.000-an
kalau tidak salah. Letak parkirannya ada di depan lokasi wisata. Kalian disini
dapat melihat pohon trembesi yang besarnya gak ketulungan! Rantingnya menyebar
sehingga membentuk sebuah kanopi begitu yang mengakibatkan sejuknya suasana di
bawah pohon ini.
Disini kalian
selain bisa lihat-lihat sambil foto-foto, ada juga penyewaan kuda untuk
keliling daerah ini. Waktu itu, ada yang datang bareng dengan tour guide,
aku dengar tour guide nya bilang kalau nama wisata ini berasal dari
Jawatan Perkeretaapian waktu zaman Belanda. Jadi disini itu salah satu letak
kantornya atau gimana aku agak lupa dan gak ngerti. Aku dan Ditto disini hanya
menikmati pemandangan dengan berfoto-foto, lalu kami pergi berangkat ke tempat
selanjutnya lagi.
Destinasi
selanjutnya adalah taman nasional yang terkenal akan keangkerannya. Salah satu
kandidat lokasi terjadinya cerita KKN di Desa Penari hahaha. Yap, Taman
Nasional Alas Purwo. Mendengar namanya, aku terkagum sebenarnya. Purwo kan
artinya awal ya? Artinya hutan disini umurnya sudah tua dan pasti keren!
Perjalanan dari De Djawatan ke TN Alas Purwo ini sangat jauh. Sekitar 34 km dan
waktu itu kami baru beranjak sekitar pukul 10 pagi dari De Djawatan. Kami
melewati jalanan Banyuwangi yang menurutku random banget jalurnya dan
banyak jalan yang hanya lurus gitu
Sampai akhirnya
kita sampai di suatu daerah yang sudah dekat dengan TN-nya. Lokasi TN terlihat
dari jauh berupa gundukan yang sangat lebar dan masih penuh hutan. Sampai
akhirnya kami sampai di suatu desa yang penduduknya kelihatannya campuran
antara Hindu dan Islam. Karena terlihat banyak tempat menaruh dupa di depan
rumah penduduk beserta umbul-umbul ala orang Hindu gitu. Tapi ada juga musala dan
masjid di pinggir-pinggir jalan. Di suatu titik, kami menemukan masjid dan kami
berhenti karena waktu shalat Jum’at sudah dekat.
Saat kami
datang, masjid ini masih sepi dan tidak ada orang. Tak berapa lama, orang-orang
mulai datang ke masjid yang masih menggunakan kayu ini. Kayunya bagus, warnanya
hitam. Bahkan tiangnya juga masih terbuat dari kayu. Adzan berkumandang dan
tiba waktunya khotbah dari khatib. Jeng jeng jeng, KHOTBAHNYA DALAM BAHASA
JAWA GAISSS. Jujur ini baru pertama kali aku mendengarkan khotbah dalam
bahasa Jawa. Bahasa Jawanya juga agak berbeda, sedikit memakai bahasa-bahasa
lokal dan aku gak mampu menelan makna khotbahnya secara keseluruhan. Apalagi
Ditto yang bahasa ibunya adalah bahasa Melayu hahaha.
Oke, pukul 12.30
akhirnya selesai sholat Jum’at. Kami melanjutkan perjalanan masuk ke dalam
hutan. Kira-kira 30 menit dari keberangkatan tadi, kami sampai di gapura masuk
TN Alas Purwo Resort Rowobendo. Kalau lihat dari namanya, mungkin ada beberapa
resort disini ya, dengan pintu masuk yang berbeda-beda. Tiket yang harus kami
bayar adalah Rp. 10.000 kalau tidak salah dan menurutku ini sangat murah untuk
kita bisa jalan-jalan di TN yang sangat luas.
Pintu masuk di Alas Purwo di Rowobendo |
Jalanan di dalam
TN ini juga sangat mulus. Tujuan pertama kami adalah Sabana Sadeng. Sabana ini
adalah sabana buatan yang dikhususkan untuk tempat makan para banteng penghuni
TN. Saat kami sampai disana, ternyata sabananya tidak terlalu luas seperti di
Baluran dan dikelilingi oleh hutan. Disana ada beberapa orang yang sedang
berkunjung dan ada menara pandangnya juga. Sayangnya toko disana tutup sehingga
disini sama sekali tidak ada yang menjaga. Tak berapa lama, kami segera
beranjak dari spot ini menuju spot selanjutnya.
Oiya untuk
menuju sabana ini, kalian harus berbelok ke kiri dari jalan utama dan menyusuri
jalanan batu. Cukup jauh dari jalanan utama kalau menurutku. Tapi, tujuan kami
selanjutnya yaitu Pantai Triangulasi justru berbeda. Pantai ini terletak di
sisi kanan jalanan, dan harus belok masuk juga, tapi tidak terlalu jauh.
Mungkin sekitar 200 meter saja dari jalan utama. Waktu kami sampai di pantai
ini, tidak ada siapapun. Kosong. Benar-benar pantai ini hanya milik kami
berdua. Sayangnya, waktu itu kami berkunjung di siang hari, sehingga kami tidak
bisa main-main air karena sangat panas.
Pantai ini cukup
panjang. Pasirnya hitam dan ombaknya tergolong sedang. Terdapat beberapa tempat
berteduh yang bisa kalian gunakan secara cuma-cuma. Sama seperti di Sadeng,
tidak ada toko yang buka disini. Padahal ada tempatnya. Karena kami lapar, kami
akhirnya membuat makan siang. Lagi-lagi mie hehe. Kami memasak dan makan.
Kebetulan, tiba-tiba ada bapak penjual es tong-tong datang. Kami membeli
beberapa dari bapak tersebut dengan harga yang masih terjangkau ternyata. Lama
sudah aku tidak merasakan makanan ini dan ternyata masih sama-sama murah.
Karena kami
tidak bisa melakukan apa-apa disini, kami lekas bosan. Kami memutuskan untuk
beranjak menuju spot yang lain. Kami menyusuri jalanan yang ditutupi pepohonan
sejuk. Oh iya, ada suatu titik dimana jalanannya dikelilingi oleh hutan bambu.
Keren sekali! Tiba-tiba kami sampai di suatu tempat dimana jalannya ditutupi
oleh palang sehingga kami tak bisa lewat. Sepertinya ini memang titik terakhir
untuk sepeda motor bisa lewat. Untuk melanjutkan, sepertinya seperti yang
dibilang oleh bapak penjaga tiket, kita harus menggunakan mobil yang ada
disana. Hal ini ditujukan untuk memajukan ekonomi rakyat setempat.
Kami memutuskan
untuk kembali saja. Jam kunjung kami sudah habis disini dan kami segera
bergegas menuju tujuan selanjutnya. Selamat tinggal Alas Purwo dan segala
keindahan budaya dan alamnya. NEXT! Kami hendak pergi ke Pantai Pulau Merah.
Dua tahun yang lalu aku kesini dan kebetulan, dapat pemandangan sunset
yang sangat indah! Jarak dari TN Alas Purwo ke Pantai Pulau Merah ini ternyata
sangat jauh, 57 km! WAW, jarak yang sangat jauh harus kami tempuh kala itu.
Tapi, gas terus!
Perjalanan kami
melewati lagi-lagi jalanan Banyuwangi yang abstrak dan lurus-lurus terus hahaha.
Bahkan ada suatu saat kami melewati jalanan yang benar-benar lurus sampai 5 km
mungkin. Udaranya sejuk karena kanan kiri jalan ditutupi oleh pepohonan. Cerita
selama perjalanan, kehujanan berkali-kali aku skip ya. Sampai pada akhirnya
kira-kira pukul 4 sore, kami sampai di daerah yang sudah cukup dekat dengan Pulau
Merah. Kami berhenti di suatu masjid untuk melaksanakan ibadah.
Oiya aku lupa
bilang, rencananya di Pulau Merah kami hendak menginap dengan menyewa tenda.
Aku sudah berpikir positif pasti ada yang menyewakan tenda lah di pantai se
terkenal itu. Jadi kami hanya membawa logistik kala itu. Saat kami masih
ibadah, tiba-tiba saja hujan deras mengguyur area itu. Waduh, aku sempat panik
bagaimana mau melanjutkan perjalanan. Ya sudah, ditunggu saja. Ternyata tidak
lama, hujan reda. Kami segera bergerak agar tidak terjebak dalam hujan lagi.
Saat kami sampai
di Pulau Merah, keadaan tidak banyak berubah. Kecuali pantainya yang sudah
banyak sampahnya. Jujur, 2018 kesini aku berani untuk membintang lima-i pantai
ini karena bersih, pantainya bagus, dan sunset yang sangat mahal
harganya. Namun kali ini, aku tidak berani memberi penilaian namun cukup kecewa
dengan sampah yang ada disana. Dan lebih tidak beruntungnya lagi, kami datang
dikala langit sedang mendung. Sehingga waktu itu, kami tidak bisa melihat
spektakulernya sunset di ufuk barat yang tepat berada di depan kami.
Sunset spektakuler di Pulau Merah yang tak bisa kami nikmati waktu itu
Keadaan
diperparah, ternyata penyewaan tenda yang ada di pantai tersebut sedang
kehabisan stok tenda. Tenda mereka sudah disewa oleh para bule dan dibawa ke TN
Alas Purwo. Kami bingung hendak kemana kami menginap malam itu. Tapi kami
hendak menikmati pemandangan yang ada terlebih dahulu. Kami duduk-duduk di
pasir pantai menikmati angin yang berhembus. Sampai tidak lama kemudian,
tiba-tiba hujan datang. Lengkaplah sudah alasan kami untuk segera pulang saja
memang hahaha.
2018 kesini, belum ada lampu-lampu kaya gini dan sekarang sudah rame ternyata
Hari semakin
malam, kami harus segera beranjak dari sini. Kami memutuskan untuk pulang,
namun tidak tahu hendak pulang kemana. Akhirnya kami jalan saja dulu. Di tengah
jalan dan kala langit sudah benar-benar gelap, hujan lagi-lagi mengguyur kami. Waktu
itu kami masih tekad untuk menerobos saja. Sampai pada suatu waktu dimana aku
yang mengemudi sudah tidak kuat untuk melawan hujan dan memutuskan untuk menepi
di suatu masjid. Kami berteduh disana sekaligus beristirahat setelah selama
sehari menempuh perjalanan.
Masjid yang
namanya Baiturrohman ini terisi oleh banyak orang malam ini. Ada pengajian
sedang berlangsung dan kira-kira setengah sepuluh, pengajiannya baru selesai.
Kami minta izin ke pengurus masjid setempat untuk menginap disana.
Alhamdulillah diizinkan dan kami langsung tidur. Awalnya, kami tidur diluar
karena orang-orang masih didalam. Waktu orang-orang sudah keluar, kami masuk.
Kami sempat berbincang sebentar dan mereka sangat baik-baik! Kami diberi
camilan yang mereka makan dan juga mereka menyarankan agar sepeda motor kami
ditaruh di belakang agar aman. Terima kasih buat bapak-bapak yang aku gak tahu
namanya.
Malam itu, walau
tidak cukup baik tempatnya, aku masih bersyukur dapat tempat untuk tidur. Malam
itu kami tutup dengan tidur di masjid, yang ternyata, BANYAK NYAMUKNYA!
Bersambung.
0 Comments