Advertisement

Responsive Advertisement

Eastrip Bagian 7: Three in One

Kata temanku, yang asyik dari perjalanan adalah segala ketidakterdugaan yang terjadi. Hal ini menjadi warna perjalanan yang jika diingat-ingat membuat kita berpikir, aneh-aneh saja hidup ini.

 

-- Jum’at, 21 Februari 2020 --

Pagi ke pagi ku terjebak di dalam ..., hehe selamat pagi teman-teman pembaca! Alhamdulillah tidurku malam tadi sangat nyenyak dan lelahku hilang! Pagi berudara segar menyambutku di hari Jum’at yang barokah ini. Aku dan Ditto memutuskan untuk pergi ke persawahan, persis seperti yang aku lakukan dengan Ragil dan Crismon kala 2018 aku ke rumah Nadita. Pemandangan yang dilihat bagus sekali, rangkaian gunung di DTT Ijen terlihat semua. Aku harap aku akan mendapatkan pemandangan yang sama. Namun, ternyata takdir berkata lain, kabut tebal menutupi semua gunung itu sehingga tidak ada yang terlihat, satupun.

Foto 2018 silam

Foto tahun 2020 ini

Setelah bosan, kami kembali ke rumah dan sarapan. Setelah sarapan, kami membersihkan diri dan bersiap untuk berangkat kembali. Oh iya, pagi itu, hanya ada Nadita di rumah. Orang tuanya kerja di pasar, adiknya berangkat ke Jember untuk kembali berkuliah, neneknya pergi ke tempat terapi Korea. Sepi pagi itu. Tiba-tiba teringat untuk memanaskan sepeda, takutnya susah untuk dipanaskan kalau gak segera dicoba. Alhamdulillah, dia tidak semenyebalkan kemarin ternyata.

Jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Kami hendak berangkat melanjutkan perjalanan. Kali ini, kami berencana untuk ke De Djawatan, TN Alas Purwo, dan Pantai Pulau Merah. Sebelum kami berangkat, ternyata orang tua dan nenek Nadita sudah pulang. Walhasil, kami berpamitan dengan semuanya dan ketika kami hendak berangkat, kami diberi sangu oleh orang tuanya. Kami diberikan sekantong plastik penuh berisi buah naga dan camilan. Wah! Terima kasih banyak orang tuanya Nadita sudah baik sekali sama kami. Nanti saya mampiri lagi kalau ke Banyuwangi hehe. Sayonara!

Ini nih plastik penuh dengan buah naga


Foto dengan keluarga Nadita

Tujuan pertama kami adalah De Djawatan. Tempat ini berjarak 15 km-an dari rumah Nadita dan perjalanan kesana hanya memakan waktu sekitar 30 menit. Kami melewati jalanan yang cukup lengang hingga akhirnya kami sampai di tujuan. Letaknya ada di kiri jalan dan tidak disangka, ternyata letaknya bukan di hutan, melainkan di belakang pemukiman pinggiran jalan. Masuk kesini dikenakan tiket 15.000-an kalau tidak salah. Letak parkirannya ada di depan lokasi wisata. Kalian disini dapat melihat pohon trembesi yang besarnya gak ketulungan! Rantingnya menyebar sehingga membentuk sebuah kanopi begitu yang mengakibatkan sejuknya suasana di bawah pohon ini.



Foto-foto selama kami di De Djawatan

Disini kalian selain bisa lihat-lihat sambil foto-foto, ada juga penyewaan kuda untuk keliling daerah ini. Waktu itu, ada yang datang bareng dengan tour guide, aku dengar tour guide nya bilang kalau nama wisata ini berasal dari Jawatan Perkeretaapian waktu zaman Belanda. Jadi disini itu salah satu letak kantornya atau gimana aku agak lupa dan gak ngerti. Aku dan Ditto disini hanya menikmati pemandangan dengan berfoto-foto, lalu kami pergi berangkat ke tempat selanjutnya lagi.

Destinasi selanjutnya adalah taman nasional yang terkenal akan keangkerannya. Salah satu kandidat lokasi terjadinya cerita KKN di Desa Penari hahaha. Yap, Taman Nasional Alas Purwo. Mendengar namanya, aku terkagum sebenarnya. Purwo kan artinya awal ya? Artinya hutan disini umurnya sudah tua dan pasti keren! Perjalanan dari De Djawatan ke TN Alas Purwo ini sangat jauh. Sekitar 34 km dan waktu itu kami baru beranjak sekitar pukul 10 pagi dari De Djawatan. Kami melewati jalanan Banyuwangi yang menurutku random banget jalurnya dan banyak jalan yang hanya lurus gitu

Sampai akhirnya kita sampai di suatu daerah yang sudah dekat dengan TN-nya. Lokasi TN terlihat dari jauh berupa gundukan yang sangat lebar dan masih penuh hutan. Sampai akhirnya kami sampai di suatu desa yang penduduknya kelihatannya campuran antara Hindu dan Islam. Karena terlihat banyak tempat menaruh dupa di depan rumah penduduk beserta umbul-umbul ala orang Hindu gitu. Tapi ada juga musala dan masjid di pinggir-pinggir jalan. Di suatu titik, kami menemukan masjid dan kami berhenti karena waktu shalat Jum’at sudah dekat.


Saat kami datang, masjid ini masih sepi dan tidak ada orang. Tak berapa lama, orang-orang mulai datang ke masjid yang masih menggunakan kayu ini. Kayunya bagus, warnanya hitam. Bahkan tiangnya juga masih terbuat dari kayu. Adzan berkumandang dan tiba waktunya khotbah dari khatib. Jeng jeng jeng, KHOTBAHNYA DALAM BAHASA JAWA GAISSS. Jujur ini baru pertama kali aku mendengarkan khotbah dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawanya juga agak berbeda, sedikit memakai bahasa-bahasa lokal dan aku gak mampu menelan makna khotbahnya secara keseluruhan. Apalagi Ditto yang bahasa ibunya adalah bahasa Melayu hahaha.

Oke, pukul 12.30 akhirnya selesai sholat Jum’at. Kami melanjutkan perjalanan masuk ke dalam hutan. Kira-kira 30 menit dari keberangkatan tadi, kami sampai di gapura masuk TN Alas Purwo Resort Rowobendo. Kalau lihat dari namanya, mungkin ada beberapa resort disini ya, dengan pintu masuk yang berbeda-beda. Tiket yang harus kami bayar adalah Rp. 10.000 kalau tidak salah dan menurutku ini sangat murah untuk kita bisa jalan-jalan di TN yang sangat luas.


Pintu masuk di Alas Purwo di Rowobendo

Jalanan di dalam TN ini juga sangat mulus. Tujuan pertama kami adalah Sabana Sadeng. Sabana ini adalah sabana buatan yang dikhususkan untuk tempat makan para banteng penghuni TN. Saat kami sampai disana, ternyata sabananya tidak terlalu luas seperti di Baluran dan dikelilingi oleh hutan. Disana ada beberapa orang yang sedang berkunjung dan ada menara pandangnya juga. Sayangnya toko disana tutup sehingga disini sama sekali tidak ada yang menjaga. Tak berapa lama, kami segera beranjak dari spot ini menuju spot selanjutnya.



Sabana Sadeng

Oiya untuk menuju sabana ini, kalian harus berbelok ke kiri dari jalan utama dan menyusuri jalanan batu. Cukup jauh dari jalanan utama kalau menurutku. Tapi, tujuan kami selanjutnya yaitu Pantai Triangulasi justru berbeda. Pantai ini terletak di sisi kanan jalanan, dan harus belok masuk juga, tapi tidak terlalu jauh. Mungkin sekitar 200 meter saja dari jalan utama. Waktu kami sampai di pantai ini, tidak ada siapapun. Kosong. Benar-benar pantai ini hanya milik kami berdua. Sayangnya, waktu itu kami berkunjung di siang hari, sehingga kami tidak bisa main-main air karena sangat panas.

Pantai ini cukup panjang. Pasirnya hitam dan ombaknya tergolong sedang. Terdapat beberapa tempat berteduh yang bisa kalian gunakan secara cuma-cuma. Sama seperti di Sadeng, tidak ada toko yang buka disini. Padahal ada tempatnya. Karena kami lapar, kami akhirnya membuat makan siang. Lagi-lagi mie hehe. Kami memasak dan makan. Kebetulan, tiba-tiba ada bapak penjual es tong-tong datang. Kami membeli beberapa dari bapak tersebut dengan harga yang masih terjangkau ternyata. Lama sudah aku tidak merasakan makanan ini dan ternyata masih sama-sama murah.



Ternyata gak punya banyak foto pas di Pantai Triangulasi

Karena kami tidak bisa melakukan apa-apa disini, kami lekas bosan. Kami memutuskan untuk beranjak menuju spot yang lain. Kami menyusuri jalanan yang ditutupi pepohonan sejuk. Oh iya, ada suatu titik dimana jalanannya dikelilingi oleh hutan bambu. Keren sekali! Tiba-tiba kami sampai di suatu tempat dimana jalannya ditutupi oleh palang sehingga kami tak bisa lewat. Sepertinya ini memang titik terakhir untuk sepeda motor bisa lewat. Untuk melanjutkan, sepertinya seperti yang dibilang oleh bapak penjaga tiket, kita harus menggunakan mobil yang ada disana. Hal ini ditujukan untuk memajukan ekonomi rakyat setempat.

Jalanan Alas Purwo yang teduh

Kami memutuskan untuk kembali saja. Jam kunjung kami sudah habis disini dan kami segera bergegas menuju tujuan selanjutnya. Selamat tinggal Alas Purwo dan segala keindahan budaya dan alamnya. NEXT! Kami hendak pergi ke Pantai Pulau Merah. Dua tahun yang lalu aku kesini dan kebetulan, dapat pemandangan sunset yang sangat indah! Jarak dari TN Alas Purwo ke Pantai Pulau Merah ini ternyata sangat jauh, 57 km! WAW, jarak yang sangat jauh harus kami tempuh kala itu. Tapi, gas terus!

Perjalanan kami melewati lagi-lagi jalanan Banyuwangi yang abstrak dan lurus-lurus terus hahaha. Bahkan ada suatu saat kami melewati jalanan yang benar-benar lurus sampai 5 km mungkin. Udaranya sejuk karena kanan kiri jalan ditutupi oleh pepohonan. Cerita selama perjalanan, kehujanan berkali-kali aku skip ya. Sampai pada akhirnya kira-kira pukul 4 sore, kami sampai di daerah yang sudah cukup dekat dengan Pulau Merah. Kami berhenti di suatu masjid untuk melaksanakan ibadah.

Oiya aku lupa bilang, rencananya di Pulau Merah kami hendak menginap dengan menyewa tenda. Aku sudah berpikir positif pasti ada yang menyewakan tenda lah di pantai se terkenal itu. Jadi kami hanya membawa logistik kala itu. Saat kami masih ibadah, tiba-tiba saja hujan deras mengguyur area itu. Waduh, aku sempat panik bagaimana mau melanjutkan perjalanan. Ya sudah, ditunggu saja. Ternyata tidak lama, hujan reda. Kami segera bergerak agar tidak terjebak dalam hujan lagi.

Saat kami sampai di Pulau Merah, keadaan tidak banyak berubah. Kecuali pantainya yang sudah banyak sampahnya. Jujur, 2018 kesini aku berani untuk membintang lima-i pantai ini karena bersih, pantainya bagus, dan sunset yang sangat mahal harganya. Namun kali ini, aku tidak berani memberi penilaian namun cukup kecewa dengan sampah yang ada disana. Dan lebih tidak beruntungnya lagi, kami datang dikala langit sedang mendung. Sehingga waktu itu, kami tidak bisa melihat spektakulernya sunset di ufuk barat yang tepat berada di depan kami.

Sunset spektakuler di Pulau Merah yang tak bisa kami nikmati waktu itu

Keadaan diperparah, ternyata penyewaan tenda yang ada di pantai tersebut sedang kehabisan stok tenda. Tenda mereka sudah disewa oleh para bule dan dibawa ke TN Alas Purwo. Kami bingung hendak kemana kami menginap malam itu. Tapi kami hendak menikmati pemandangan yang ada terlebih dahulu. Kami duduk-duduk di pasir pantai menikmati angin yang berhembus. Sampai tidak lama kemudian, tiba-tiba hujan datang. Lengkaplah sudah alasan kami untuk segera pulang saja memang hahaha.

2018 kesini, belum ada lampu-lampu kaya gini dan sekarang sudah rame ternyata

Hari semakin malam, kami harus segera beranjak dari sini. Kami memutuskan untuk pulang, namun tidak tahu hendak pulang kemana. Akhirnya kami jalan saja dulu. Di tengah jalan dan kala langit sudah benar-benar gelap, hujan lagi-lagi mengguyur kami. Waktu itu kami masih tekad untuk menerobos saja. Sampai pada suatu waktu dimana aku yang mengemudi sudah tidak kuat untuk melawan hujan dan memutuskan untuk menepi di suatu masjid. Kami berteduh disana sekaligus beristirahat setelah selama sehari menempuh perjalanan.

Masjid yang namanya Baiturrohman ini terisi oleh banyak orang malam ini. Ada pengajian sedang berlangsung dan kira-kira setengah sepuluh, pengajiannya baru selesai. Kami minta izin ke pengurus masjid setempat untuk menginap disana. Alhamdulillah diizinkan dan kami langsung tidur. Awalnya, kami tidur diluar karena orang-orang masih didalam. Waktu orang-orang sudah keluar, kami masuk. Kami sempat berbincang sebentar dan mereka sangat baik-baik! Kami diberi camilan yang mereka makan dan juga mereka menyarankan agar sepeda motor kami ditaruh di belakang agar aman. Terima kasih buat bapak-bapak yang aku gak tahu namanya.

Malam itu, walau tidak cukup baik tempatnya, aku masih bersyukur dapat tempat untuk tidur. Malam itu kami tutup dengan tidur di masjid, yang ternyata, BANYAK NYAMUKNYA!

Bersambung.

Post a Comment

0 Comments