Awal-awal pandemi, Twitter menjadi salah satu media sosial yang sering aku mainkan. Ketemu dengan suatu utas yang bicara tentang thrifting di Pasar Baroe, Jakarta. Mumpung lagi dekat, apa salahnya dicoba.
Minggu, 12 September 2021 menjadi waktu yang aku pilih
untuk menunaikan kegiatan ini. Merasa “srek” aja di waktu itu. Aku janjian
dengan Ditto dan pukul 08.30 WIB kami sudah bersiap-siap menuju Stasiun Pondok
Ranji dari kos masing-masing. Setelah melewati keramaian jalan dengan abang Gojek,
ternyata aku sampai lebih dulu dibanding
Ditto. Namun, tak lama menunggu, ia akhirnya datang.
Bepergian dengan KRL di kala pandemi ini agak berbeda.
Kami harus pindai kode QR di depan pintu masuk stasiun dengan aplikasi
PeduliLindungi. Tujuannya adalah untuk melacak jejak bepergian kita dan
mengetahui tingkat risiko tempat yang kita kunjungi. Selain itu juga untuk
mengetahui berapa orang yang ada di dalam tempat tersebut serta peta risiko
Covid-19. Waktu itu, stasiun cukup sepi dan kereta yang kami naiki juga sama.
Kami bisa duduk dengan tenang di kereta walaupun akhir pekan seperti ini. Hari
dimana biasanya KRL penuh dengan manusia yang mau ke CFD di Sudirman.
Sudah lama tidak bepergian dengan KRL, pemandangan yang ditawarkan ternyata masih sama saja. Kami turun di Stasiun Sawah Besar dan lanjut jalan kaki kira-kira sejauh 1 km ke arah timut. Di sisi kanan jalan akan ada gapura besar yang unik yang menandakan kita sudah ada di kawasan pasar. Jika dibandingkan dengan pasar tradisional, pasar ini jauh lebih bersih, teratur, dan rapi. Jalanan dibawahnya dilapisi paving block dan tidak ada rasa-rasa kumuh gitu. Pokoknya enak, ya walaupun yang namanya pasar pasti panas. Lebih mirip ke street market dengan beberapa gedung tempat berjualan.
![]() |
Gapura masuk Pasar Baroe yang ejaannya Passer Baroe |
Pasar ini bukanlah yang kami tuju. Kami memasuki sebuah
gedung yang berdasarkan thread Twitter namanya Gedung Atom. Ada petugas
yang mengecek suhu badan dan setelah lolos, kami langsung ke lantai 3 gedung
ini. Ternyata benar, banyak sekali toko-toko yang saling berlomba menjajakan
pakaian disini. Mulai dari yang memang baru dan bagus, hingga yang bekas-bekas.
Ingat ya, kita disini niatnya adalah untuk thrifting, alias mencari
pakaian bekas. Jadi, mari kita berpetualang menyusuri gang antar toko yang
sempit ini.
Targetku adalah mendapatkan kemeja, baju kaos polos, dan
celana yang masih bagus. Berkeliling cukup lama, akhirnya aku mendapatkan satu
toko yang lengkap menjual semuanya. Aku lantas mampir dan melihat-lihat
jualannya. Setelah cukup lama menyeleksi, akhirnya aku dapat satu kemeja hitam,
satu kemeja biru, satu kemeja flanel, dan celana abu-abu gelap yang masih bagus
kondisinya. Warnanya cocok sekali, apalagi harganya. Empat keping pakaian
dibandrol hanya Rp. 150.000. Murah sekali kan? Tentunya dengan pintar-pintar
ngomong juga ya (re: nawar). Tapi ingat juga, kalau nawar jangan terlalu sadis
karena penjual juga pasti ingin untung.
Nah, buat kalian yang mau thrifting kesini, aku
ada beberapa tips yang (semoga) berguna untuk kemudahan kalian.
1.
Bikin
daftar dulu apa yang mau dibeli, biar disana gak kalang kabut dan bingung mau
beli apa. Karena kalau gak gini, nanti malah membludak pengeluaran karena apa
aja mau dibeli alias kalap.
2.
Kalau
bisa, beli di satu toko. Nawarnya jadi lebih berpeluang sukses karena bersamaan
sama barang-barang lain dan seolah kita beli banyak.
3.
Ingat
waktu! Jangan terlalu lama nanti kehabisan uang.
4.
Sebelum
pakaiannya dipakai untuk sehari-hari, jangan lupa untuk disterilkan. Ini kan
pakaian bekas, baru tapi habis dipakai orang, dan apapun itulah sebutan lainnya.
Kita tidak tahu ini sudah terkena apa aja dan (maaf) barangkali pemilik
sebelumnya ada pemyakit yang bisa ditransfer lewat pakaian. Jadi ada baiknya
direndam dan cuci dulu sebelum digunakan.
Selain perombakan eksteriornya, interior masjid juga
sedikit berubah. Dulu, kubah bagian dalamnya berwarna kuning. Namun, sekarang
berubah menjadi warna hijau tua dan terlihat “royal”. Untuk sisanya, masih sama
sih. Setelah ibadah, kami tidur-tiduran di pelataran atas yang langsung
menghadap Monas. Waktu itu, yang aku rasakan adalah lelah yang teramat sangat.
Maklum, sudah lama tidak bepergian dengan modelan jalan dan pindah moda
transportasi gini, sehingga jomponya kumat. Tidak berselang lama, kami pulang
dan sampai di kos sewaktu Isya’.
0 Comments