Advertisement

Responsive Advertisement

Salem

 Sederhananya kampung Sunda yang ada di ujung barat Jawa Tengah ini, adalah daya pikatnya.

 

Pekan-pekan yang sibuk karena mengurus skripsi dan persyaratan kelulusan sudah terlewat. Semua pekerjaan yang berkaitan dengan “kemaslahatan” umat kelas juga sudah rampung semuanya. Minggu-minggu kosong yang akan datang ini sudah aku rencanakan untuk pelesir. Aku masih belum ingin pulang ke Kalimantan. Covid-19 membuat bepergian menjadi lebih berisiko. Kesehatanku harus terus dijaga agar aku dan orang-orang disekitarku aman dari virus menyebalkan ini. Rencana-rencana yang aku punya kali ini masih belum terlalu jelas dan hanya ingin mengikuti waktu yang entah seperti apa jadinya.

Tiba-tiba saja waktu itu terpikir buat mencoba ke tempat Ardi. Tempat yang gak terkenal dan memang bukan tempat berwisata seperti Jogja, Banyuwangi, dsb. Ia tinggal di Desa Bentar, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes. Dilihat dari Google Maps, tempat ini terletak di lembah yang dikelilingi oleh pegunungan. Benar-benar tepat di tengahnya. Singkat cerita, kita komunikasi dan alhamdulillah dia menyambut dengan baik. Ada dua opsi untuk menuju rumahnya dan keduanya tidak bisa mengantar aku dan Ditto (teman jalan kali ini) langsung ke dekat rumah Ardi.

Opsi pertama adalah menggunakan kereta api Tegal Ekspress dan turun di Stasiun Tanjung. Tiketnya murah dan lama perjalanannya lebih singkat. Selanjutnya, untuk menuju Desa Bentar ditempuh dengan mini bus. Opsi kedua adalah dengan menggunakan bis jurusan Bumiayu. Sama dengan sebelumnya, dari Bumiayu menuju rumah Ardi ini juga masih jauh dan juga harus dilanjutkan menggunakan kendaraan umum, atau dijemput dengan kendaraan pribadi. Opsi pertama kami pilih karena lebih banyak keuntungannya.

Tiket kereta kami pesan. Kami tes rapid antigen di apotek terdekat kos sehari sebelum keberangkatan. Kurang lebih waktu yang dibutuhkan hanya 15 menit dan syukurlah kami berdua dinyatakan NEGATIF. Tinggal kurang packing saja dan we’re about to start our adventure!

 

- Rabu, 29 September 2021 –

Kereta yang kami naiki akan berangkat pada pukul 09.20 WIB. Kami sudah siap sejak pagi dan berangkat ke Stasiun Pondok Ranji pukul 07.00. Kami diantar oleh Afi dan Dendi menuju stasiun sekaligus berpamitan dengan mereka berdua yang sudah menemani hari-hari di kos. Kami menaiki KRL tujuan Stasiun Tanah Abang dan dilanjutkan menggunakan ojek daring menuju Pasar Senen. Kami kurang beruntung pagi ini, karena kereta ramai sekali dengan orang yang berangkat kerja. Bawaan kami yang lumayan banyak ini harus kami bawa di pundak hingga keluar Stasiun Tanah Abang. Belum apa-apa, kami sudah lelah terlebih dahulu.

Untung saja ojek daring segera kami dapatkan. Mobil segera meluncur menuju Stasiun Pasar Senen. Kami langsung check in setelah Ditto menyelesaikan sarapannya dan segera menuju kereta kami. Kami pilih gerbong paling belakang dengan nomor kursi yang juga cukup belakang. Gerbong terlihat sepi penumpang. Ditambah lagi dengan pengaturan duduk yang selang-seling. Barang-barang kami taruh dan kami istirahat karena kelelahan sembari menikmati perjalanan. Ini adalah kereta jarak jauh pertamaku selama pandemi Covid-19.

Kereta melaju melintasi perkotaan, pedesaan, persawahan, hingga akhirnya sampai di stasiun tujuan sekitar pukul 13 WIB. Stasiun Tanjung ini terlihat bagus, rapi, seperti bangunan baru. Namun ia tetap mempertahankan arsitektur lamanya. Keluar dari stasiun, kami mencari tempat makan namun ternyata tidak ada tempat makan sama sekali. Tepian Jalur Pantai Utara (Pantura) ini sepi penjaja makanan dan ramai dengan truk. Kami mengabari Ardi bahwa kami sudah sampai dan Ardi menyuruh kami untuk naik travel mini bus milik Mang Irin. Dia mengirimi kami kontaknya dan kami segera menghubungi Mang Irin. Beliau mengabari untuk menunggu sekitar 30 menit.

Stasiun Terisi


Saat kami sampai di Stasiun Tanjung, Brebes

Setengah jam berlalu, Mang Irin datang. Beberapa orang juga ada di mini bus tersebut menuju lokasi yang sama. Kami melewati Pantura, lalu berbelok ke kanan melewati jalanan pedesaan, pasar pinggir jalan, sawah, hingga akhirnya setelah 30 menit, jalur menjadi berbukit. Jalur berbukit ini dikelilingi oleh pepohonan jati, sangat khas Jawa. Semakin jauh berjalan, kami dapat melihat ada deretan pegunungan di depan kami. Gunung-gunung ini terlihat tinggi sekali seperti membentuk benteng dan aku berpikir kita akan melewati lembah-lembah yang ada diantaranya. Jalanan semakin naik dan akhirnya kami benar-benar sampai dibawah gunung.

Disinilah petualangan dimulai. Mini bus kami tidak akan melewati lembah melainkan menaiki gunung ini langsung. Aku takut dan deg-deg-an hebat saat itu. Baru kali ini aku menaiki kendaraan roda empat melewati jalanan meliuk dengan kemiringan fantastis seperti ini. Mengerikan. Jalanan naik ini seolah tidak ada habisnya. Walaupun mungkin kami hanya menghabiskan waktu 20 menit-an untuk menaikinya, namun terasa seperti selamanya dengan deg-deg-an yang tak ada habisnya. Sekeliling jalan hanya ada pepohonan besar, tebing, dan jurang. Gak umum rek! (kata seseorang yang hidupnya di Kalimantan dengan medan yang rata-rata aja hihi).

Setelah melewati sekian tikungan dan tanjakan, akhirnya kami sampai di puncak gunung ini. Ada papan himbauan keselamatan disini yang menuliskan “Gunung Lio” didalamnya. Oh, berarti ini yang namanya Gunung Lio dan tempat penelitian skripsi Ardi. Medannya ekstrim Bund! Di puncak gunung ini terdapat taman wisata yang aku lupa namanya dan daerah ini merupakan daerahnya Perhutani. Isinya adalah pepohonan pinus yang homogen. Karena kita sudah di puncak, sisanya hanya jalanan turunan yang walaupun beberapa ada yang curam, namun tidak semenegangkan ketika naik. Di jalanan turunan inilah, kita melewati bekas kejadian longsor Salem 2018 silam. Cukup besar kelihatannya.

Beberapa menit dari lokasi longsor tadi, kita sampai di suatu desa namun belum desanya Ardi. Mang Irin menurunkan penumpang disini. Dari situ, kurang lebih 10 menit untuk sampai di Simpang Tugu Bentar. Kami diturunkan disana. Tidak jauh dari situ, Ardi sudah menunggu di depan swalayan. Tarif yang dikenai untuk perjalanan cukup ekstrim ini adalah Rp. 40.000 yang menurutku tergolong wajar, karena jaraknya juga jauh. Kami menghampiri Ardi dan berjalan menuju rumahnya melewati gang kecil.

Sampai di rumahnya, barang-barang kami taruh dan rapikan. Lalu kami beristirahat di ruang tamunya. Udaranya cukup sejuk, namun tidak dingin. Kami belum bisa melihat apa-apa saat itu karena hari sudah petang. Tak lama, azan Maghrib berkumandang. Ardi dan Ditto pergi ke musala yang ada di seberang rumah, sedangkan aku masih sibuk membersihkan diri. Waktu Isya’, aku pergi ke musala dan aku kaget melihat musalanya dinamai “Nurfaizi”. Entah bagaimana legendanya. Selepas itu, tidak ada kegiatan lain kecuali istirahat di malam yang tidak terlalu dingin ini.

Malam pertama di rumah Ardi, suguhannya banyak hehe


- Kamis, 30 September 2021 –

Pagi hari, aku bangun sewaktu adzan Subuh berkumandang. Setelah matahari lumayan tinggi, Ardi mengajak kami untuk melakukan lari pagi (tonenonet~) sekaligus pemanasan untuk agenda kami besok. Kami berlari di jalanan desa ini yang topografinya naik dan turun serta belok sana sini. Hingga akhirnya kami sampai di hamparan sawah luas setelah berlari sekitar 3-4 km. Kami melihat-lihat pemandangan sekitar. Ke arah utara kita bisa melihat barisan pegunungan yang panjang dan tinggi. Sayangnya pagi itu cuaca kurang bersahabat. Kelompok awan menutupi langit di sekeliling kami. Padahal kalau ada sinar matahari langsung, ini pasti PERFECT!


Jogging untuk persiapan ... (artikel selanjutnya)

Setelah puas, kami jalan pulang. Sesampainya di rumah, kami mengeluarkan tenda yang akan kami gunakan untuk ... (apa hayo?). Tenda ini bau kencing tikus karena lama terletak di kos. Masih ingat kan bagaimana kondisi awal kos waktu aku datang? Begitu pula dengan pelindung hujannya. Kami sikat dan cuci tenda itu hingga bersih, lalu kami keringkan di jemuran. Setelah itu, kami bersiap-siap untuk jalan-jalan.

Ardi mengajak kami untuk main ke air terjun yang ada di desa sebelah, yang namanya mirip dan ternyata pecahan dari Desa Bentar, yaitu Desa Bentarsari. Ardi dan Ditto naik sepeda motor, sedangkan aku menggunakan sepeda biasa. Awalnya jalanan masih bersahabat. Hanya turunan dan naikan yang tidak curam. Lama kelamaan, tanjakan menjadi cukup curam. Medan sudah mulai berat, namun pemandangan yang tersaji didepan mata sepadan dengan perjuangan ini. Kami melewati sekumpulan warga yang sedang membersihkan komplek kuburan, yang merupakan tradisi mereka di hari Kamis Wage. Setelah kurang lebih 20 menit, kami sampai.

Kami sampai di Curug Tonjong. Selain air terjun, disini juga ada kolam dan syukurnya, tidak ada retribusi apapun disini. Entah karena sedang sepi karena hari kerja, atau memang tidak ada penarikan. Air terjunnya terdiri atas beberapa tingkatan, dan kami ada di tingkatan paling bawah. Kemiringan air terjunnya sih tidak vertikal seperti yang di Bogor waktu itu. Masih lebih landai dengan air yang menurut Ardi saat itu kurang deras karena sudah cukup lama tidak hujan. Biasanya bisa lebih deras daripada itu. Padahal menurutku itu sudah cukup deras (jika dibandingkan dengan yang biasa aku kunjungi di Kalimantan).

Curug Tonjong

Aku coba untuk mencelupkan tangan ke alirannya. Dingin! Asli dingin. Namun hal ini tidak menyurutkan keinginanku untuk mandi setelah berkeringat karena bersepeda tadi. Rasa segar segera menghampiri tubuh ini. Kami berenang ke sana-sini di kolam yang tidak terlalu besar ini. Awalnya sih segar, namun lama-lama, dinginnya air ini mulai terasa menusuk. Kulit tangan mulai katur dan memutih. Setengah jam berenang, kami naik lagi dan mengeringkan badan sebelum pulang.

Perjalanan pulang kami melalui jalanan yang berbeda namun masih dengan sepeda yang sama. Medannya sih, kurang lebih sama melelahkannya. Ada satu turunan yang sangat curam dan aku tidak berani untuk diatas sepeda, lebih memilih untuk menuntun. Setelah sampai rumah, tidak banyak kegiatan yang kami lakukan. Hanya tidur karena cukup lelah dengan aktivitas fisik sepanjang pagi itu. Sore hingga malam harinya pun sepertinya tidak ada aktivitas signifikan yang kami lakukan. Hanya chilling out di rumah Ardi.

Pemandangan sawah waktu perjalanan pulang dari curug


- Selasa, 5 Oktober 2021 -

Sekarang kita melompat langsung ke tanggal 5. Tanggal 1-4 kita lewati terlebih dahulu dikarenakan akan aku tulis di bagian terpisah dengan topik yang cukup signifikan bedanya. Hari ini, aku masih merasakan pegal, atau kalau di bahasa Jawa disebut njarem di bagian paha, tungkai, dan punggung. Tiga bagian itu yang utama dan cukup menyulitkan pergerakan. Harus diseimbangkan sedemikian rupa sampai sedikit pincang agar tidak sakit. Walau badan sakit semua, tapi hari itu aku punya keinginan untuk jalan-jalan mengelilingi Salem, mencari pemandangan indah di desa Sunda ini.

Pagi harinya, Ditto pulang ke Pondok Betung. Ia menggunakan moda yang sama, hanya saja dilanjutkan dengan bis menuju Jakarta. Sedangkan aku masih memiliki satu hari disini. Aku hendak berkeliling seorang diri dengan bantuan navigasi Google Maps, namun ternyata Ardi bersedia untuk mengantar dengan motor Supra andalannya. Jam 08.30-an kami berangkat ke ibukota kecamatan. Jalannya masih belum terlalu ekstrim. Kami melewati SMAN 1 Salem, SMA Ardi dulu. Di ibukota inilah terletaknya pasar, bank, pertokoan, dan pusat pemerintahan. Cukup ramai menurutku untuk ukuran kecamatan.



Pemandangan sawah lagi

Kami melanjutkan pengembaraan ke arah barat. Kami mutar terlebih dahulu, mengelilingi bagian selatan dan setelah 20 menit perjalanan, kami sampai di area persawahan. Kata Ardi, disini ada tempat yang bagus untuk lihat sawah di jalan yang agak naik. Kami hampiri dan benar saja, terasering dengan padi yang hijau terlihat memukau. Terlihat sangat luas dengan sedikit perkampungan di tengahnya. Tempat yang cocok untuk syuting video klip lagu India (benar sekali). Suara percikan air dari saluran irigasi menambah aura ketenangan wilayah ini.

Pemandangan sawah lagi-lagi

Setelah puas, kami lanjut mengitari kecamatan ini menuju wilayah Wanoja. Berbeda dengan desa sebelumnya, di desa ini justru padinya sedang menguning dan beberapa sedang dipanen. Jadi kami melihat orang-orang yang sedang ngarit dan merontokkan padi. Kebetulan, ada penjual cincau hijau yang sedang berhenti. Kami ikut berhenti dan membeli. Beberapa orang yang sedang lewat dan petani disana juga membeli. Kami duduk sembarang di pinggir jalan sambil makan cincau hijau dengan hamparan hijau-hijauan di depan kami. Nikmat yang haqiqi. Apalagi harganya murah meriah, hanya Rp. 2.000! Kaget sewaktu aku mengetahuinya. Jikalau tahu semurah itu, aku bakal nambah terus hihi.


Lagi-lagi, pemandangan sawah tapi dengan cendol 2000-an

Perjalanan dilanjut menuju jalan baru yang dibangun setelah longsor tahun 2018. Ya, jalan ini dibuat dengan harapan menjadi jalan baru yang lebih mudah dilewati dan tidak melewati jalur longsor 2018. Jadi bekas longsor tersebut dihindari karena kemiringannya cukup mantap. Jika dilihat justru jadi lebih jauh, namun karena jalannya lebih mulus, jadi mungkin akan lebih nyaman perjalanannya. Jalur ini menghubungkan daerah puncak Gunung Lio dengan Desa Wanoja. Namun, pembangunan jalan baru selesai 1/3-nya. Sehingga setelah mencapai jalan yang sudah selesai di atas, kami kembali lagi ke bawah.

Alih-alih lewat jalan utama langsung menuju rumah Ardi, Ia mengajakku untuk melihat daerah yang terkena longsoran. Melewati jalan yang masih belum terlalu enak, kami sampai di jalan yang lebih tidak enak dikarenakan baru dibangun dan dibaguskan setelah longsor 2018 silam. Untuk jejak longsornya sendiri sekarang sudah tidak jelas dikarenakan sudah jadi lahan berkebun dan bertani. Tapi jika dilihat secara seksama, jejak ini masih ada. Terakhir, kami lanjutkan perjalanan menembus kampung-kampung hingga sampai kembali di rumah Ardi.

Sekian adalah cerita mengenai mengelilingi Salem. Jika dipetakan, perjalanan tadi kurang lebih seperti ini dan menempuh jarak 29 km. Jauh juga ternyata ya! Hari terakhir di Salem yang berhasil dihabiskan dengan baik!

Rute keliling Salem waktu itu

Kupat Tahu Brebes (lebih merah dibanding Tasik dan Jogja)


Post a Comment

0 Comments