Sayonara Salem!
-
Rabu, 6 Oktober 2021 -
Hari ini adalah jadwalku untuk angkat kaki dari Salem.
Setelah membereskan semua barang di hari sebelumnya, pagi itu aku bergegas
makan dan mandi. Kemudian, Ardi mengantarku ke pinggir jalan untuk menaiki
angkutan umum menuju Majenang, Cilacap. Angkutan ini berupa pickup
terbuka yang saat berangkat, hanya aku penumpangnya. Bahkan hingga cukup jauh,
masih saja aku sebagai solo player. Sayonara Ardi! Terima kasih atas
suakanya selama disana.
Pinus yang tertutup kabut di perjalanan Salem - Majenang |
Angkutan terus berjalan melewati jalan yang naik turun, dikelilingi
persawahan hingga akhirnya sampai di daerah perbukitan yang ditutupi oleh
kabut. Pohon pinus menutupi area ini dan baru disini ada penumpang yang naik
turun. Ada petani dan pekebun yang hendak berangkat menuju tempat bekerja. Di
beberapa titik, gerimis kecil turun. Untungnya tidak sampai hujan deras.
Setelah perjalanan selama kurang lebih 1 jam, akhirnya aku sampai di Majenang.
Tarif yang dikenakan adalah Rp. 20.000, masih wajar. Kemudian, aku langsung
oper menuju bus ekonomi arah Tasikmalaya yang kebetulan sedang lewat.
Menaiki bus, aku mengambil tempat duduk di bagian belakang
karena di depan dan tengah sudah penuh. Bus melaju dengan kecepatan sedang
sembari sesekali ngetem. Di tengah perjalanan, aku diminta untuk
membayar tarif sebesar Rp. 50.000. Perbukitan yang tadi dilewati sudah mulai
tidak terlihat. Bus berjalan semakin jauh, melewati Kabupaten Cilacap, Kota
Banjar, Kabupaten Ciamis, dan hampir tengah hari, sampai di Kota Tasikmalaya.
Bus berhenti di Terminal Indihang kala hujan cukup deras. Aku menghubungi
Dendi. Kondisinya sama, rumah dia juga hujan. Dia menyarankan aku untuk menaiki
bis jurusan Buniasih saja.
Setelah beberapa menit mencari, aku mendapatkan bus-eh,
minibus-yang dimaksud. Setelah aku naik, bus langsung berangkat. Aku kira bus ini
akan mengantarku dengan cepat menuju rumah Dendi di Cikatomas. Ternyata tidak,
bus ini berhenti di banyak titik dan di beberapa titik, cukup lama berhentinya.
Bahkan aku sempat tertidur. Namun, setelah sampai di pinggiran Kota
Tasikmalaya, bus hanya berhenti sebentar untuk ngetem. Kebanyakan dari penumpang
adalah anak sekolah SMA yang waktu itu sudah mulai sekolah offline. Semakin
jauh minibus berjalan, semakin bingung aku dengan jalanan disini.
Kenapa? Jalanan disini berlika-liku serta naik-turun,
tidak ada habisnya rasanya. Geografi yang penuh perbukitan dan baru dimataku. Bukannya
aku tidak pernah ke daerah perbukitan atau pegunungan. Namun, rasanya tidak ada
yang sepanjang ini perbukitannya. Ini benar-benar dari pinggiran Kota
Tasikmalaya hingga ke rumah Dendi jalannya gak ada habisnya belok dan
naik-turun. Aku tidak bisa lagi tidur karena minibus terus-terusan bergoyang.
Goyangan diperparah dengan banyaknya jalan yang berlubang dan tidak rata. Sesuai
dengan pesan Dendi, “selamat naik roller coaster”.
Bis Purwokerto - Tasikmalaya yang aku naiki dari Majenang, Cilacap |
Satu setengah jam berlalu (tapi terasa seperti 3 jam
dengan kaki yang tidak bisa lurus), akhirnya bus sampai di Cikatomas. Aku
diturunkan di tempat bernama Pamegatan, kira-kira 500 meter dari rumah Dendi.
Aku dijemput menggunakan sepeda motor menuju rumahnya yang dominan berwarna
hijau (mirip rumahku hehe). Kebetulan saat itu ada ibu dan bapaknya. Aku mengenalkan
diri serta meminta izin untuk menginap selama beberapa hari disana. Keduanya
ramah dan mempersilakan aku untuk menginap. Dendi kemudian mengajak aku untuk
menaruh barang di kamarnya yang terletak di lantai 2.
Aku lalu membersihkan diri dan ibadah. Udara disini
terasa cukup dingin, namun selama aku tidur, aku tidak berkeringat. Padahal
jika di Pondok Betung, dengan kipas saja masih berkeringat. Betah sekali
rasanya dengan suasana seperti ini. Keluar dari kamar Dendi, kita bisa melihat
pemandangan sawah dan jika pagi, bisa melihat matahari terbit. Namun sayang,
selama beberapa hari disana, matahari selalu malu dibalik awan.
Beberapa cerita singkat yang aku ingin ceritakan adalah sebagai berikut:
1.
Ini bukan
mengeluh ya, tapi selama disana, keluarga Dendi sering masak petai, jengkol,
dan sambal (perfect match!). Aku suka dengan kedua sayuran ini, cuma
dirumah juga tidak sesering itu Mamaku masak kedua sayur itu. Ketika ditanya
kenapa, Dendi berkata mungkin karena ada dia sedang di rumah (haha). Memang
ketika di kos dia tukang bawa petai dan jengkol setelah pulang kampung.
2.
Hingga
saat ini, masih tidak paham dan tertarik dengan geografi daerah ini. Perbukitan
yang tidak ada habisnya yang berakibat banyaknya air terjun disini. Cerita
mengenai air terjun akan aku ceritakan di bagian terpisah ya! Temperatur yang cukup
dingin-bahkan ketika siang hari-ini juga mengherankan.. Benar-benar betah
dengan suhu seperti ini.
3.
Setelah
beberapa hari disana, Dendi berkata kalau logat Sunda didaerahnya beda dengan Sunda
di daerah lain. Dari sanalah aku sadar dan jadi membandingkan logat orang Sunda
di Kuningan dan Salem. Memang benar sih, di dua daerah itu cenderung lebih
halus, sedangkan disini lebih kasar (bukan dalam konteks yang jelek ya).
Semacam Jawa Tengah Jogja vs. Jawa Timur gitu lah kalau di bahasa Jawa.
4.
Kondisi
jalan disini yang menurutku memprihatinkan. Banyak jalan yang jelek dan aspalnya
rusak. Sudah berliku-liku, ditambah jalanan yang kurang bagus, membuat
perjalanan terasa sangat lama dan melelahkan.
5.
Cilok
Goang yang menjadi makanan yang harus dicoba kalau disini. Sebenarnya, di kos
Dendi juga sering bawa setelah pulang kampung. Namun, aku tidak terlalu
tertarik. Tapi kali ini, aku ketagihan cilok goang karena pedas dan gurih
rasanya. Goang sendiri adalah nama jenis sambal yang dipakai sebagai campuran
penyedap makanan ini.
Hari itu, tidak banyak yang dilakukan. Sore hari, kami
keluar ke pusat kecamatan untuk membeli makan. Banyak sekali bus yang ada di
pinggir jalan maupun sedang lewat mengarah ke kota. Heran sih, karena di
daerahku bus antar kecamatan masih belum seramai ini. Pusat kecamatannya juga
cukup ramai. Terdapat pasar, pertokoan, bahkan ada pusat perbelanjaan. Terdapat
alun-alun yang dikelilingi oleh perkantoran dan masjid raya. Cukup ramai untuk
ukuran kecamatan menurutku. Mirip dengan kota kecil.
-
Kamis, 7 Oktober 2021 -
Pagi ini cuaca masih tidak cerah. Awan menutupi langit
namun tidak turun hujan. Dendi mengajakku untuk berkunjung ke kolam ikannya, 500
meter dari rumahnya. Aku menurut. Pakan ikan (pelet) dibawa dan kami berjalan
menuju kolam. Ada 3 petak (jika tidak salah) yang diisi ikan mujair. Petak
kolam ini bersebelahan dengan sawah yang lumayan luas. Dari sini, pasar
Cikatomas bisa dilihat. Aku beri makan ikan-ikan tersebut dan mereka berebut
untuk memakan pelet yang aku lemparkan.
Dendi kemudian mengajak untuk membeli surabi. Kami
berjalan ke pinggir jalan besar untuk membeli surabi dan rempeyek dan kemudian
kembali kami bawa ke saung kolam. Kami makan camilan tersebut hingga habis.
Surabinya sama seperti di tempat Ardi. Tidak ada rasanya dan rasa gosongnya
kerasa (enak tapi). Merasa puas di kolam, kami akhirnya pulang ke rumah. Kami
bersiap untuk melakukan kegiatan selanjutnya (di bagian selanjutnya).
0 Comments