Advertisement

Responsive Advertisement

Ciremai via Linggajati

 Yak! Sekali melangkah, jangan menengok ke belakang dan berpikir untuk kembali. Hadapi semua rintangan yang ada di depan. Yakin dengan diri sendiri! Kaki dan tanganmu adalah alat yang sudah cukup kuat untuk membawamu menuju tujuan. Buktinya, kau sudah hidup sejauh ini. Jangan ragu dan pantang menyerah, jadikan itu kuncimu!

 

Sesuai dengan judulnya, naik-naik ke puncak gunung inilah yang akan aku ceritakan disini beserta beberapa pernak-pernik sampingannya. Pendakian menuju Ciremai adalah main event dari kunjungan ke rumah Ardi. Sebelumnya, sewaktu aku masih di Pondok Betung aku bercandain dia untuk menemani mendaki ke Gede Pangrango. Namun, dia menawarkan kenapa tidak sekalian ke Ciremai, atap Jawa Barat? Boleh juga, aku pikir. Setelah menimbang, akhirnya diputuskan untuk ikut dan berangkat ke rumah Ardi.

 

- Kamis, 30 September 2021 -

Info mengenai pendakian ke Gunung Ciremai sudah dicari oleh Ardi dan ternyata, kita wajib untuk mendaftar secara daring. Entah memang prosedur tetap atau karena ada Covid-19 saja agar terdata siapa saja yang naik. Namun, aku juga tidak tahu pasti. Ada empat jalur untuk mendaki ke Ciremai yaitu Apuy, Palutungan, Linggasana, dan Linggajati. Awalnya kami memutuskan untuk mendaki via Palutungan karena Ardi sudah dibekali dengan cerita pendakian adik kelasnya lewat jalur tersebut. Sehingga bisa dibilang tidak buta-buta banget.

Sehari sebelumnya, saat kami lihat formulir pendaftarannya, hanya jalur Apuy yang sudah penuh. Sepertinya jalur itu yang paling terkenal. Jalur lainnya, termasuk Palutungan masih ada kuota. Oleh karena itu, kami tidak langsung mendaftarkan diri. “Nunggu Kamis aja, nunggu pada bareng di rumah Ardi”, kataku waktu itu. Eh ternyata, waktu dibuka formulir pendaftarannya terpampang tulisan PENUH di samping tulisan Palutungan. Waduh, gagal mendaki lewat jalur yang ‘gak buta-buta banget’ ini.

Ada dua opsi yang terpikir. Ganti jadwal atau ganti jalur. Ganti jadwal akan memakan waktu lebih lama lagi, sehingga membuat waktu kami di Brebes semakin lama dan rasanya tidak enak memberatkan lama-lama. Oleh karena itu kami memutuskan untuk ganti jalur saja. Jalur mana yang akan dipilih? Aku mengusulkan untuk lewat Linggajati. Alasanku, hanya karena namanya sama dengan peristiwa Perjanjian Linggajati. Hanya ingin tahu dimana tempat bersejarah ini dan ingin berfoto di depan gedung pelaksanaan pertemuan. Sesederhana itu tapi ternyata jadi pilihan bersama. Linggajati, here we come.

Tahapan demi tahapan pendaftaran kami selesaikan. Kita diminta untuk unggah pindaian KTP, beberapa data diri, dan juga membayar. Pembayaran dilakukan ke akun bank resmi dari pengelola. Di tahap ini, kita hanya membayar biaya pendaftaran sebesar Rp. 5.000 perorang. Setelah pembayaran dilakukan, data kami serahkan. Nanti kita akan di-WhatsApp oleh pihak pengelola mengenai detail pendaftaran, kode booking, lokasi pos berkemah, dan di kavling mana kami harus berkemah. Yup, sedetail itu mereka merinci semuanya. Kemudian diingatkan juga untuk melakukan tes kesehatan di basecamp sebelum pendakian. Tahapan ini, selesai!

 

- Jum’at, 1 Oktober 2021 -

Hari ini kami mempersiapkan barang-barang pribadi yang perlu dibawa. Baju, kantung tidur, tenda, perpancian, kompor, dan barang-barang printilan lainnya sudah dibuat dalam bentuk daftar dan tinggal memasukkan ke keril satu persatu. Kabarnya akan ada pemeriksaan barang bawaan. Sehingga kami tidak merapikan benar-benar bawaan kami. Hanya ditaruh ke dalam keril saja. Karena nanti juga akan dibongkar kembali ketika melakukan pemeriksaan kan. Sebelum sholat Jum’at kami sudah menyelesaikan semuanya.

Selesai sholat, kami istirahat. Leyeh-leyeh. Kira-kira saat Asar tiba, kami mulai mempersiapkan keberangkatan. Setelah barang dicek semuanya dan dirasa lengkap, kami segera tancap gas menuju Kuningan. Tak lupa kami berpamitan dengan orang tuanya Ardi. Aku dibonceng oleh Ditto, Ardi sendirian menggunakan Supra kesayangannya. Kami melewati jalan Gunung Lio lagi. Baru di tanjakan awal Gunung Lio, motor yang Ditto dan aku gunakan sudah tidak kuat karena kurang pas manuvernya. Akhirnya Ditto dibonceng oleh Ardi dan aku sendirian. Kami bertukar motor. Aku jadi menggunakan motornya Ardi.

Mengendarai sepeda motor sendirian di jalan yang ekstrim ini adalah tantangan nyata. Gigi yang aku pakai hanya 1 dan 2. Memakai gigi 3 sesekali saja, itupun tidak lama. Rem belakang dan depan bekerja terus menerus tanpa henti. Apalagi jika sudah melewati puncak dan jalanan berganti menjadi turunan dengan keril di bagasi depan. Aku ekstra hati-hati karena tidak terbiasa dengan medan seperti ini. Hingga akhirnya serangkaian naikan, belokan, dan turunan ini selesai dilewati. Kini kami sudah di jalan yang relatif landai serta banyak perkampungan dan persawahan di kanan kiri. “Aman”, gumamku.

Di suatu simpang, kami belok kiri dan melewati daerah yang berbukit, namun relatif lebih landai yang merupakan jalan menuju Kabupaten Kuningan. Jalan ini merupakan jalan antar kecamatan. Melewati suatu gapura berbentuk kujang, menandakan kami sudah memasuki wilayah Jawa Barat secara administratif. Perjalanan kami teruskan hingga saat memasuki waktu Maghrib, kami mampir di masjid di alun-alun Luragung. Beristirahat dari perjalanan yang sudah cukup melelahkan hingga titik ini, meluruskan badan yang sudah renta, lama tidak dipakai bepergian jauh ini (hihi).

Cukup istirahat, perjalanan dilanjutkan melewati jalanan yang cukup mulus dan lurus. Namun, terasa kalau kami berada di jalan yang terus naik di lereng yang landai sekali. Hingga akhirnya kami sampai di pusat kota Kuningan. Kami ibadah sebentar di masjid besar yang sedang direnovasi di samping alun-alun. Banyak delman glowing (dengan hiasan lampu kerlap-kerlip) yang terparkir di sekitarnya. Suasananya jadi mirip dengan Alun-Alun Kidul Keraton Yogyakarta. Selesai ibadah, kami mencari makan di suatu jalan yang isinya penjual makanan semua. Akhir-akhirnya, kami memilih untuk makan nasi goreng.  



Suasana kota Kuningan malam itu dengan beberapa delman dihiasi lampu warna-warni diparkir dipinggir jalan

Setelah kenyang, kami lanjut berangkat menuju basecamp Linggajati. Perjalanan kami lanjutkan sejauh 16 km ke arah Cirebon. Basecamp ini terletak di tengah-tengah pemukiman dan saat kami datang, masih belum ada orang lain yang datang. Kami menyapa orang basecamp lalu mereka memperbolehkan kami untuk tidur di musala yang ada di dekat sana. Setelah membereskan barang-barang kami dan menatanya agar aman, kami segera tidur. Mengumpulkan energi untuk pendakian di esok harinya.

 

- Sabtu, 2 Oktober 2021 -

Pagi buta, aku terbangun, terkejut ketika mengetahui tiba-tiba kami berada diantara kerumunan manusia yang sama-sama tidur. Darimana datangnya orang-orang ini? Tempat yang tadi malam longgar sekarang jadi berdesakan. Waktu masih belum menunjukkan waktu sholat Subuh, masih waktunya tidur dan aku memaksakan diri untuk terlelap kembali. Setelah azan, aku baru benar-benar bangun. Kami bertiga lalu bergantian ibadah.

Kami berunding untuk membeli keperluan logistik. Akhirnya, aku dan Ardi berangkat ke pasar dan Ditto menunggu barang-barang kami di basecamp. Kami pergi ke Pasar Cilimus. Pagi itu matahari muncul di langit yang sangat cerah dan biru, sungguh hari yang indah. Saat di pasar dan bertransaksi, aku dibuat heran oleh salah seorang penjual yang merupakan seorang ibu-ibu dengan nada bicara yang halus dan mendayu banget. Ala Sunda sekali. Padahal ini di pasar dimana biasanya orang-orang teriak-teriak kan.

Ternyata perbelanjaan duniawi ini menghabiskan uang cukup banyak. Jika dihitung-hitung, belanja logistik kali ini adalah belanja terbanyak yang pernah aku alami (sepertinya?). Kami mampir ATM untuk mengambil uang. Tidak terasa, kami sudah meninggalkan Ditto selama satu jam sehingga kami segera kembali ke basecamp. Di jalan pulang, kami mampir ke warung nasi untuk membeli 6 bungkus nasi untuk sarapan dan makan siang. Sehingga lebih praktis untuk mendaki.

Sampai di basecamp, kami langsung makan pagi dengan udara yang sejuk. Beberapa pendaki sudah mulai melakukan proses registrasi ulang. Biar saja, kami masih ingin santai terlebih dahulu. Pukul 08.00, kami baru mulai registrasi ulang. Tahapan pertama adalah pembayaran simaksi sebesar Rp. 50.000. Ada tiga komponen dari simaksi ini, tapi aku sudah lupa apa saja. Lalu kami melaksanakan tes kesehatan di depan basecamp dengan biaya Rp. 50.000. Cek disini hanya cek kesehatan ringan seperti detak jantung dan tekanan darah. Hanya untuk memastikan bahwa kami bugar. Kami masih sempat bersantai setelah itu. Bahkan si Ardi sempat mandi terlebih dahulu. Kami baru selesai kira-kira di jam 09.00 WIB.

Oke pendakian kita mulai. Ciremai via Linggajati ini memiliki 11 pos hingga ke puncak. Banyak sekali jika dibandingkan dengan gunung pertama yang aku daki, yaitu Sumbing yang hanya punya 4 pos sampai ke tempat kemah sebelum puncaknya. Tempat pemberhentian dan pos-pos tersebut beserta ketinggiannya adalah sebagai berikut (disertai fotonya ya):

1.       Basecamp

2.      Gerbang Cibunar (850 mdpl, 8,5 km dari Puncak)

3.       Pos 1 – Leuweung Datar (1.108 mdpl, 8 km dari Puncak)

4.      Pos 2 – Kondang Amis (1.175 mdpl, 7,2 km dari Puncak)

5.      Pos 3 – Pangalap (1.250 mdpl, 6,6 km dari Puncak)

6.      Pos 4 – Kuburan Kuda (1.431 mdpl, 6,1 km dari Puncak)

7.      Pos 5 – Pamerangan (1.634 mdpl, 5,5 km dari Puncak)

8.      Pos 6 – Tanjakan Bingbin (1.725 mdpl, 5,2 km dari Puncak)

9.      Pos 7 – Tanjakan Sareuni (1.771 mdpl, 4,5 km dari Puncak)

10.   Pos 8 – Bapa Tere (2.025 mdpl, 3,6 km dari Puncak)

11.     Pos 9 – Batu Lingga (2.200 mdpl, 3,1 km dari Puncak)

12.    Pos 10 – Sangga Buana I (2.400 mdpl, 2,8 km dari Puncak)

13.    Pos 11 – Sangga Buana II (2.500 mdpl, 2,4 km dari Puncak)

14.   Pos 12 – Pangasinan (2.813 mdpl, 1,5 km dari Puncak)

15.    Puncak Panglongokan (3.037 mdpl)

Banyak sekali jumlah posnya dengan perubahan elevasi yang tidak terlalu jauh, namun pas mendaki rasanya seperti sudah naik jauh banget antar pos itu. Perjalanan dari basecamp menuju Gerbang Cibunar ini memiliki dua opsi. Ditempuh dengan berjalan atau dengan ojek lokal. Kami memilih menggunakan ojek lokal. Dengan membayar Rp. 20.000/orang, kami diantar menuju Gerbang Cibunar yang lumayan jauh. Opsi ini merupakan opsi yang bijak untuk menyimpan energi agar tidak habis terlebih dahulu. Hati-hati dengan keseimbangan Anda selama dibonceng. Keril di belakang pundak terkadang bikin badan hampir njungkel karena jalan yang naik.  

Gerbang Cibunar ini adalah tempat terakhir kami bisa mengisi ulang air. Yup! Tidak ada sumber air lain sepanjang jalur pendakian ini. Manajemen air benar-benar harus diterapkan. Namun karena kami sudah membawa 6 botol air @1,5 liter, kami tidak mengisi air. Disini juga terdapat warung dan playground anak-anak. Sewaktu kami lewat sana, banyak anak-anak sedang main lempar-lemparan bunga pinus yang diawasi oleh guru mereka di gazebo. Wilayah ini dikelilingi pohon pinus yang cukup tinggi dan lebat, sehingga udara masih terasa teduh.

Di 1/3 perjalanan, ada warung lagi yang menyediakan makanan dan minuman. Kami tidak mampir karena masih kuat (rasanya). Di 1/2 perjalanan, pohon pinus sudah mulai jarang dan membuat kami terpapar sinar matahari. Keringat bercucuran dan nafas menjadi berat. Kombinasi yang pas antara keril yang berat, udara yang panas, dan jalan yang naik. Beberapa kali kami beristirahat, padahal masih belum sampai di Pos 1. Setelah beberapa lama, akhirnya kami sampai. Pos 1 ini hanya berupa tempat duduk yang diteduhi pohon (tapi gak teduh-teduh amat sih) dan tidak terlalu luas. Kami tidak terlalu lama mampir disini, segera melanjutkan perjalanan sebelum merasa letih.

Jalan yang kami lalui masih lumayan landai. Terdapat sedikit perkebunan coklat (jika tidak salah) di samping jalan. Di Pos 2, kami tidak beristirahat juga dan terus berjalan. Pos 2 ini sesuai dengan namanya, memang ada bau amisnya (setidaknya itu yang aku rasakan dan jangan dikaitkan dengan hal mistis ya!). Dari sini, vegetasi berubah menjadi hutan lebat dengan pepohonan besar dan jalur yang mulai meningkat kemiringannnya, namun tidak terlalu curam. Jalanan dipenuhi oleh akar-akar pepohonan dan sepanjang jalan, kami menapaki akar tumbuhan hingga sampai di Pos 3. Di pos ini kami beristirahat dan Ditto sempat tidur.

Memang enak banget tidur ditengah-tengah pendakian gini. Tapi tentunya gak boleh lama-lama sebelum malas lagi hihi.

Istirahat perlu diatur ketika mendaki (iya kan?). Terlalu lama diam, badan akan menjadi dingin. Baik karena sirkulasi darah sudah mulai teratur, maupun karena temperatur luar yang rendah. Maka dari itu, tidak lama, kami segera gerak kembali menuju pos 4 dan langsung bablas menuju pos 5. Disinilah kami beristirahat, ibadah, serta makan siang. Untunglah kami sudah membawa makanan dari bawah, jadi tidak ribet mengeluarkan barang-barang untuk membuat makan. Enak sekali istirahat di tempat ini karena benar-benar teduh. Beberapa rombongan juga melakukan aktivitas yang sama dengan kami.

Istirahat lagi hehe

Setelah 30 menitan, kami lanjutkan perjalanan. Dari pos ini, kemiringan jalur bertambah. Kami mulai memasuki jalur yang namanya mengandung kata “tanjakan”. Jadi ya bisa dibayangkan bagaimana perjalanannya. Akar pepohonan masih memenuhi jalur dan sangat membantu kami berjalan. Mulai dari Tanjakan Bingbin, Tanjakan Sareuni, dan Bapa Tere, semuanya adalah tanjakan yang jaraknya cukup jauh. Tiga tanjakan ini tempat uji kekuatan (menurutku sih). Saat kami melalui ketiga tanjakan ini, waktu sudah diatas jam 3 sore. Sehingga sinar matahari sudah mulai meredup. Suatu waktu, kami beristirahat dan disusul oleh rombongan lain yang ada di belakang kami. Mereka-yang ternyata rombongan vlogger ini-diikuti oleh anjing (sebut saja si Jalu) milik basecamp yang kuat sekali naik gunung. Setelah sedikit berbincang, kami harus melanjutkan perjalanan dan berpamitan dengan mereka.

Di sepanjang perjalanan banyak penanda arah seperti ini. Informatif sih ya, cuma lihat angka keterangan jarak ini kadang bikin ngebatin "hmm masih jauh".

Foto kami di Tanjakan Bapa Tere

Taman Nasional Gunung Ciremai ini merupakan kawasan pelestarian flora dan fauna. Di beberapa titik jalur pendakian, terdapat palang keterangan flora dan fauna yang ada di wilayah tersebut. Lanjut ke perjalanan, si Jalu meninggalkan rombongan tadi dan mendahului kami. Saat kami jalan, tiba-tiba Ardi terkejut karena melihat palang bertuliskan “Habitat Macan Jawa” di depannya. Jujur, aku agak takut disini, ditambah langit yang sudah menuju gelap. Tapi kami lanjut saja agar cepat sampai di tempat berkemah. Suatu waktu, si Jalu tiba-tiba berhenti, diam mematung di pinggir jalur. Kami tidak tahu mengapa. Apakah dia melihat penampakan macan jawa dan takut atau bagaimana kami tidak tahu. Yang jelas, kami tetap lanjut dan meninggalkan si Jalu yang mematung, jauh di belakang kami.

Di waktu ini, hari sudah mulai gelap

Hari mulai berganti menjadi malam. Satu-satunya halangan saat ini adalah gelapnya jalur pendakian yang membuat kami terpaksa menggunakan senter kepala. Mendekati jam 18.00, kami sampai di tempat kemah kami, yakni di pos 9 (AKHIRNYA!). Beberapa pendaki sudah mendirikan tenda disini dan kami juga segera mendirikan tenda kami. Bagiku, waktu itu udara relatif tidak terlalu dingin. Bahkan untuk wudu menggunakan sedikit air, aku masih kuat. Mungkin efek karena panasnya badan setelah jalan jauh. Setelah ibadah, kami masak-masak. Makan malam yang sederhana terasa nikmat karena tidak ada lagi pilihan lain dan kami yang merasa sangat lapar. Tak lama setelah itu, kami menidurkan diri, terlelap dalam lelahnya kami.

Monggo maem! Bismillahirrohmanirrohim


- Minggu, 3 Oktober 2021 -

Aku yang tadi malam kuat dengan dinginnya udara, akhirnya merasakan kedinginan. Aku terbangun kira-kira pukul 03.00 WIB. Namun, aku mencoba untuk tidur kembali dan setengah jam kemudian, aku terbangun kembali. Tenda-tenda lain juga sudah mulai bersuara, menyiapkan keberangkatan mereka untuk menuju puncak. Sebenarnya masih ingin tidur, tapi kami harus mengikuti ritual ini. Setelah selesai bersiap, kami segera ibadah dan keluar tenda untuk berangkat. Saat itu, jam menunjukkan sekitar hampir pukul 05.00 WIB. Udara terasa begitu dingin.

Lagi, kami menapaki tanjakan yang dipenuhi akar tumbuhan. Kondisi seperti ini berlanjut terus hingga pos 12. Karena waktu itu masih cukup gelap, kami menggunakan senter. Kurang lebih di pos 10, sinar matahari sudah mulai muncul dan jalur mulai terlihat. Pepohonan sudah lebih jarang, namun masih ada. Terdapat pohon yang batangnya menjadi oranye ketika tertimpa sinar matahari, indah sekali. Walaupun matahari terbit hanya terlihat dibalik dedaunan, kehangatannya masih bisa dirasakan.


Ketika matahari sudah mulai terlihat

Kemiringan semakin bertambah dan vegetasi makin menipis. Jalur yang awalnya berupa tanah padat kini mulai bercampur dengan pasir tipis. Hari benar-benar cerah tanpa awan. Akhirnya, kami sampai di pos 12. Pos ini merupakan pos terakhir sebelum sampai di puncak. Beberapa kelompok sudah sampai terlebih dahulu di pos ini. Kami beristirahat sejenak sembari mengambil foto. Kerucut puncak Ciremai terlihat dengan jelas dari sini dan di arah sebaliknya, hamparan awan yang menutupi daerah di bawah gunung terlihat sangat luas.


Puncak Ciremai masih jauh didepan! Langitnya masyaallah!

Perjalanan dilanjutkan. Langkah-langkah kami sudah semakin lunglai, namun kami tetap mantap. Walaupun sebenarnya sudah merasa lelah, namun bukan saatnya menyerah. Medan semakin miring dengan vegetasi hanya kumpulan edelweiss yang tidak dapat melindungi kami dari terik matahari. Untung saja, temperatur yang cukup dingin masih menyelamatkan kami. Sesekali, kami melewati pinggiran jurang maupun  bekas longsor yang membuat aku cukup bergidik. Di tengah-tengah perjalanan terkadang membayangkan bagaimana jika ternyata tanah ini tiba-tiba bergerak. Melihat ke bawah, lereng ini terlihat sangat curam dan menakutkan. Kali ini, mentalku cukup tergerus. Baru kali ini selama naik gunung aku merasakan turun mental.

Perjalanan baru setengah, aku harus melawan rasa takut dan terus berjalan. Setelah menempuh perjalanan yang cukup membutuhkan keberanian ini, sayup-sayup suara orang di puncak sudah mulai terdengar. Hal ini membuat aku semakin semangat untuk segera sampai dan pada akhirnya, aku menapakkan kaki di puncak gunung ini. Puncak Ciremai, I finally stepped on you! Akhirnya, atap Jawa Barat berhasil ditaklukkan bersama dua temanku. Terbayar semua perjuangan berat menuju titik ini dengan melihat pemandangan sekitar dan rasa syukur yang memuncak. Setelah 1,5 tahun vakum melakukan kegiatan ini, ternyata aku masih bisa melakukannya. Tidak ada rasa menyenangkan lainnya kecuali kebebasan.

Puncak Ciremai ini bentuknya bundar, tidak ada celah ataupun bukaan seperti di Gunung Sumbing. Di tengahnya terdapat kawah yang cukup dalam dan besar dengan danau kecil ditengahnya. Tidak ada tanda-tanda keaktifan gunung, seperti uap yang keluar seperti di Sumbing atau suara air mendidih seperti di Sindoro. Namun, sempat di beberapa waktu, aku merasakan seperti ada bau belerang. Di dalam kawah juga sudah ditumbuhi banyak tumbuhan. Penanda bahwa gunung ini sudah lama tidak menunjukkan aktivitas (mungkin?). Kami menyeduh minuman hangat sembari beristirahat. Kegiatan selanjutnya adalah, berfoto, mengabadikan momen.






Akhirnya menginjakkan kaki di Atap Jawa Barat ini!

Puas berada di puncak dan agar tidak terlalu kesorean mencapai basecamp, kami memutuskan untuk turun sekitar pukul 09.30 WIB. Perjalanan turun ini ternyata tidak semenakutkan saat naik. Beberapa kali kami harus perosotan karena jalur yang berupa pasir dan jalur yang cukup miring. Pinggiran longsoran yang terlihat mengerikan saat naik, ternyata tidak semengerikan yang dibayangkan saat dilewati kembali. Hingga akhirnya, kami sampai lagi di pos 12. Dari sini hingga ke tempat berkemah, perjalanan lebih mudah dikarenakan sudah ada vegetasi dan banyak akar tumbuhan. Kami berpapasan dengan beberapa pendaki yang masih dalam perjalanan menuju puncak. Semangat! Perjalanan kalian masih panjang.

Sesampainya di kemah, kami segera sarapan dan menghangatkan badan dengan minuman hangat. Setelah istirahat sejenak, kami membereskan kemah. Mengemas segala barang kembali kedalam keril kami. Kegiatan kami selesai disini kira-kira pukul 12.00 WIB. Beberapa rombongan ada yang masih disini. Sedangkan kami, mulai melangkahkan kaki kami untuk turun. Awalnya, perjalanan terasa biasa saja. Namun, lama kelamaan rasa lelah mulai menghampiri. Hingga akhirnya kami sampai di pos 7 dan beristirahat disana. Ternyata ada satu bapak-bapak yang kakinya terkilir. Ia ditemani oleh temannya yang membawakan kerilnya. Sedangkan dia sendiri menggunakan tongkat pendakian untuk membantu pergerakannya. Setelah ia cukup kuat kembali, ia melanjutkan perjalanan. Sedangkan kami masih beristirahat disini.

Selepas puas istirahat, kami melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan hingga ke pos 5, kami tidak bertemu dengan bapak-bapak tadi. Gila memang, cedera saja masih bisa secepat itu jalannya. Di pos 5 ini, kami ibadah, sembari sedikit makan camilan untuk mengisi energi. Setelah puas, kami berjalan kembali. Disini kami mulai terpisah-pisah. Ardi yang terlalu kuat berjalan dengan cepat di depan. Aku menyusul di belakangnya, tapi tidak pernah bareng. Sedangkan Ditto ada di belakang kami menyusul. Tapi kami tidak saling tinggal, jika jarak antara kami terasa cukup jauh, kami berhenti untuk istirahat sembari menunggu. Setelah cukup, kami jalan kembali.

Kami baru bertemu dengan bapak-bapak tadi di tengah-tengah antara pos 2 dengan pos 1. Setelah ini, kami melanjutkan perjalanan bersama. Sesampainya di pos 1, kami semua beristirahat dan kembali jalan setelah beberapa lama. Azan maghrib sudah sayup-sayup terdengar. Kami kemalaman. Tapi kami bersyukur karena kami sudah sampai disini, bukan masih diatas. Disini, ada dua orang anak yang kira-kira masih SMA juga beristirahat. Teman-teman mereka sudah di depan dan mereka berkata bahwa ada salah satu dari mereka yang sama, kakinya terkilir. Namun ia sudah kebawah terlebih dahulu. Tak lama, mereka berdua pamit untuk duluan, dilanjutkan dengan rombongan bapak-bapak tadi, dan kemudian kami menyusul.

Jarak antara kami dan rombongan bapak-bapak tidak terlalu lama. Tapi ternyata kami tertinggal jauh dibelakang mereka (lagi). Kami tidak bertemu dengan mereka sampai di pos 1. Hebat, walau sudah bapak-bapak kekuatannya tidak diragukan lagi. Di pos 1 ini, kami mencari ojek dan segera turun menuju basecamp. Akhirnya, kami kembali berada di wilayah peradaban manusia dan sekarang saatnya istirahat, membersihkan badan, dan bersiap-siap untuk pulang. Jika dihitung-hitung, tanda waktu pendakian kami adalah sebagai berikut:

1.       Gerbang  Cibunar - Pos 1 : 09.43 - 10.20

2.      Pos 1 - Pos 2 : 10.30 - 11.19

3.       Pos 2 - Pos 3 : 11.20 - 11.40

4.      Istirahat bada Dzuhur : 11.40 - 12.15

5.      Pos 3 - Pos 4 : 12.15 - 12.47

6.      Pos 4 - Pos 5 : 12.57 - 13.55

7.      Istirahat : 13.55 - 14.41

8.      Pos 5 - Pos 6 : 14.42- 14.53

9.      Pos 6 - Pos 7 : 14.54 - 15.12

10.   Pos 7 - Pos 8 : 15.20 - 16.40

11.     Pos 8 - Pos 9 : 16.40 - 17.54

12.    Pos 9 - Pos 10 : 04.50 - 05.05

13.    Pos 10 - Pos 11 : 05.05 - 05.48

14.   Pos 11 - Pos 12 : 05.58 - 06.30

15.    Pos 12 - Puncak Panglongokan : 06.50 - 07.39


Turun dengan selamat di basecamp. Setelah pendakian, kami diberi sertifikat! Pertama kalinya dapat sertifikat mendaki.

Malam itu, kami melanjutkan perjalanan menuju Salem sekuatnya. Kami berangkat kira-kira pukul 21.00 WIB. Jalanan Kuningan sudah mulai sepi sehingga kami melewatinya dengan lancar sekali. Kami berhenti di salah satu warung untuk makan. Setelah makan, kami terus melanjutkan perjalanan hingga ke daerah Sukamaju, Cibingbin. Hari sudah terlalu malam, pukul 23.30 jika tidak salah. Jalanan sudah sangat sepi, rumah-rumah sudah tutup semua. Untunglah, kami mendapatkan masjid yang pagarnya masih dibuka. Nama masjidnya Masjid Baiturrahman di depan Klinik Hanshelga. Kami beristirahat disana dan sepeda motor kami titipkan di klinik 24 jam yang ada di seberangnya. Selamat malam, saatnya kita merangkai mimpi.

Masjid Baiturrahman, Desa Sukamaju, Kecamatan Cibingbin, Kuningan

- Senin, 3 Oktober 2021 -

Mendekati subuh, aku terbangun sendiri. Entah kenapa, walau badan terasa lelah, tapi rasanya sudah cukup enak. Setelah marbot adzan, kami ibadah dan segera melanjutkan perjalanan kembali. Terima kasih untuk masjid dan klinik yang sudah membuat kami merasa aman malam itu. Di tengah-tengah perjalanan, kami mampir ke penjual surabi yang ada di pinggir jalan. Ternyata ini surabi yang ingin Ardi tunjukkan kepada kami. Ekspektasiku, rasanya manis. Tapi ternyata rasanya tawar dan ditemani minum jamu kunyit yang UENAK sekali. Puas pokoknya disini.

Serabi di pagi hari ^.^

Kami melanjutkan perjalanan kembali menuju Salem, di pagi yang cukup hangat, melewati beberapa pasar tumpah yang penuh manusia, kembali melewati Gunung Lio dan akhirnya sampai di rumah Ardi kira-kira pukul 07.00 WIB. Masih belum telat untuk apel Senin pagi. Akhirnya cerita ini habis, terima kasih untuk teman perjalananku! Semoga kita bisa bertemu kembali dalam keadaan yang baik.

Post a Comment

0 Comments