- Kamis, 7 Oktober 2021 -
Setelah bosan ngobrol di pinggiran kolam ikan, kami
pulang ke rumah dan bersiap. Kami mau ke air terjun alias curug dalam
bahasa Sunda. Curug yang akan kami kunjungi ini namanya curug Koja. Curug ini
jika dilihat dari Google Maps, dekat dengan lokasi rumah Dendi. Dendi juga
bilang biasanya dia lewat jalan yang dekat. Namun, kali ini ia ingin
membuktikan lewat jalur lain yang ia dengar dari orang lain.
Kami berangkat menggunakan sepeda motor Vario yang agak
ngos-ngosan saat menanjak, tapi masih kuat. Di daerah alun-alun, kami belok ke
kiri. Sampai di suatu simpang, Dendi tidak tahu lagi jalannya dan terpaksa
bertanya ke masyarakat sekitar. Petunjuk masyarakat menuntun kami melewati
jalanan yang mulai berubah menjadi tanah. Setelah naik dan turun-terkadang juga
melihat panorama daratan Cikatomas yang berbukit-akhirnya kami sampai di
gerbangnya dan memarkirkan sepeda motor. Dari sini, kami lanjut perjalanan
dengan jalan kaki.
Saat itu, tanah sedikit basah dan lengket karena hujan di
hari sebelumnya. Namun cuaca hari ini cerah. Kami melewati hutan di lereng
bukit yang lembahnya dibuat sawah oleh masyarakat. Setelah cukup jauh berjalan-sampai
membuat aku ragu dengan kebenaran jalan ini-akhirnya kami mulai mendengar suara
percikan air. Pucuk dicinta, ulam pun tak tiba (HIYA!), ternyata itu suara
saluran irigasi. Tak mengapa, saluran irigasi pasti dekat dengan sumber air. Benar
saja, setelah melewati gerbang alami (bukan dibentuk oleh manusia) yang terbuat
dari batang semak-semak, kami menemukan aliran sungai.
Aliran sungai dari Curug Koja |
Aliran sungai yang kami temukan ini adalah ujung dari
sebuah tebing. Artinya kami sedang berada di atas. Saat itu, air tidak terlalu
deras dikarenakan lama tidak hujan. Bentukan dasar sungainya adalah batuan utuh,
keren sekali. Warnanya putih dan banyak lubang-lubang kecil karena erosi. Dendi
jadi tidak yakin kalau kita ada di atas curug yang dimaksud. Akhirnya kami
berjalan sedikit lagi melawan arus air. Setelah melewati sungai dengan bebatuan
licin, akhirnya kami sampai di tempat yang dimaksud Dendi.
Indahnya curug ini adalah karena batuannya yang berwarna kuning-keputihan,
putihnya lebih menonjol sih. Tidak seperti curug lain yang pernah aku kunjungi
dimana batunya coklat-hitam. Tingginya juga cukup fantastis (bagi aku yang
tidak pernah ke curug setinggi ini). Terdapat kolam yang cukup dalam dibawahnya.
Saat kami sampai, kira-kira pukul 10, tidak ada pengunjung sama sekali. Sedikit
mengelilingi wilayah ini, bisa langsung dilihat bahwa curug ini sebenarnya
ramai dikunjungi, terlihat dari banyaknya sampah yang berserakan. Parameter
pengukuran yang ironis.
Curug Koja tanpa pengunjung, rasanya seperti di private tourist spot |
Perjalanan kami yang cukup jauh, harus dituntaskan dengan
menceburkan diri. Setelah sedikit makan roti karena lapar, kami langsung
berenang di kolam curug yang terlihat kehijauan. Airnya masih cukup dingin
walau sudah lumayan terik. Setelah 30 menit berendam dan berenang, kami
menyudahi kegiatan. Kami kembali ke tempat parkir dan menarik gas untuk pulang.
Di tengah jalan, Dendi membelokkan motor ke arah lain.
Ternyata dia ingin menunjukkanku satu curug lagi, yaitu curug Ciwatin. Menuju
curug ini, kita melewati jembatan yang cukup panjang diatas sungai yang lebar. Parkiran
curug ini ada di ujung jembatan. Kelihatannya curug ini cukup terkenal dilihat
dari adanya tempat retribusi yang memadai. Walau saat itu tutup karena bukan
akhir pekan. Curugnya berjarak 100 meter dari parkiran dengan melewati pematang
sawah.
Curug ini tidak terlalu tinggi dan sama dengan curug
Koja, debitnya saat itu kurang deras. Terdapat kolam juga dengan ukuran sedikit
lebih besar dari curug Koja. Curug ini tidak ditutupi vegetasi sama sekali. Tak
lama disana, bagian belakang leherku terbakar dan terasa perih. Tidak lama, tidak
banyak dokumentasi juga, aku mengajak Dendi untuk pulang ke rumah. Sesampainya
di rumah, aku segera membersihkan diri dan mengolesi belakang leher yang perih
dengan krim yang Dendi punya.
-
Jum’at, 8 Oktober 2021 -
Dendi mengajakku untuk mengunjungi satu curug lagi yang
jadi objek wisata. Namanya cukup unik, yaitu Deng Deng yang berada di daerah
Tawang. Jam 9-an, kami berangkat setelah sarapan. Jalan menuju curug ini kurang
baik. Jalannya berkelok dan diperparah dengan banyaknya jalan yang berlubang. Letak
dari curug ini adalah ke arah timur dari rumah Dendi. Setelah perjalanan kurang
lebih selama 25 menit, akhirnya kami sampai di persimpangan menuju curug ini.
Kami memasuki jalan biasa yang dibeton di kanan kirinya,
seperti di Gunung Kidul. Kurang lebih 4 km kami masuk kedalam, akhirnya kami
sampai di parkiran curug yang berupa tanah lapang. Tanah disini merah, seperti
di Kalimantan dan jarang sekali rasanya aku menemukan tanah seperti ini di
Jawa. Untuk menuju wilayah curug ini, kita harus menuruni lereng yang dijadikan
kios oleh pengelola curug. Jadi, tidak perlu khawatir akan kelaparan dan
sebagainya ketika disini.
Setelah menuruni lereng, kita sampai di lantai 2 dari
curug ini. Tunggu, lantai 2? Yup, tepatnya ada 3 lantai di curug ini. Lantai 2
ini adalah area yang cukup luas. Dari atas sini, kita bisa melihat langit dan
pepohonan yang sangat luas dibawah serta terasering. Sayangnya, waktu itu
langit ditutupi awan tipis, jadi tidak bisa melihat langit biru. Air yang
terjun dari lantai 3 (paling atas) cukup lebar. Namun karena debit yang kecil,
air yang terjun terbagi menjadi beberapa cabang. Jika airnya deras, mungkin
curug ini akan terlihat seperti air terjun Niagara. Seperti tanah di parkiran,
batuan disini juga warnanya ke-oranye-an. Disini, lubang-lubang bekas aliran
airnya lebih banyak.
Kami penasaran dengan lantai 1 (paling bawah) dari air
terjun ini. Akhirnya kami mbrasak (menembus semak-semak) menuruni
lereng. Namun, kami melewati jalan yang salah. Ya walaupun ujung-ujungnya kami
sampai di lantai 1. Air yang terjun dari lantai 2 lebarnya kurang lebih sama,
namun dari ketinggian yang lebih tinggi. Namun, air disini tidak jatuh 90
derajat. Melainkan melewati blok batu dengan kemiringan kira-kira 80 derajat.
Jadi airnya masih ‘menempel’ di batuan, tidak langsung terjun.
Ini keren sekali! Karena air terjunnya lebar dan ya, baru
kali ini aku liat air terjun bertingkat dengan jelas. Banyak burung-burung
beterbangan di sekitar curug. Sepertinya mereka memiliki sarang di gua yang ada
di tengah-tengah tebing. Di lantai 1 inilah terdapat kolam yang cukup besar dan
tenang karena air sedang tidak deras. Warna airnya juga kehijauan. Namun kami hanya
melihat-lihat dan mendokumentasikan saja. Beruntungnya, karena kami datang
sewaktu hari kerja, tidak ada yang menjaga parkiran dan kami berwisata secara
gratis!
Setelah bosan, kami naik kembali melewati pematang
terasering sawah. Hingga akhirnya kami sampai di lantai 2 lagi. Lalu kami naik
ke parkiran untuk pulang karena sudah mulai siang. Kali ini leherku tidak
terbakar, aman. Sampai di rumah Dendi, kami istirahat sebentar, membersihkan
diri, lalu berangkat sholat Jum’at. Diriku terkejut, karena khotbah yang
disampaikan menggunakan bahasa Sunda. Aku tidak paham apa-apa, tapi jadinya
tidak ngantuk.
0 Comments