Advertisement

Responsive Advertisement

Pansela Jawa Barat

 

Artikel ini merupakan catatan perjalanan ke beberapa pantai yang ada di selatan wilayah Kabupaten Tasikmalaya dan Pangandaran. Yang mana indahnya tidak kalah dengan pantai di Yogyakarta. Apalagi dengan ombak dan angin yang cukup kencang~

 

- Sabtu, 9 Oktober 2021 -

Hari ini kami akan ke pantai di sore hari. Sebenarnya rencana kami adalah di hari sebelumnya. Namun, Dendi tertidur hingga sore di kamar bawah dan aku merasa tidak enak untuk membangunkannya. Jadi aku beralih menghabiskan buku ‘Catatan Juang’ yang ditulis oleh Fiersa Besari, setelah 1 bulan membacanya (hehe, kejeda ditengah). Oiya, pagi harinya aku diajak oleh keluarganya untuk bakaran ikan di saung kolamnya. Setelah itu, kami memanen rambutan dan alpukat. Siangnya kami istirahat, baru sorenya, kami berangkat.

Lepas Asar, kami bersiap-siap membawa barang yang diperlukan. Aku memakai jaket karena perjalanan yang cukup jauh dan udara yang cukup sejuk. Tujuan kami adalah Pantai Karangtawulan yang kami dapatkan setelah menelusuri internet. Jaraknya dari rumah Dendi kurang lebih 40 km. Seperti perjalanan dari Pelaihari ke Banjarbaru, namun dengan medan yang jauh berbeda. Tidak banyak basa-basi, keburu terlalu sore, kami langsung pergi. Kami ingin menyaksikan matahari terbenam, dimusim pancaroba yang cuacanya tidak menentu ini (mencoba keberuntungan!).

Jalanan yang berkelok melewati perbukitan kami lewati. Cuaca saat kami berangkat cukup cerah, walau paginya agak gerimis. Tapi sesekali awan menutupi matahari, membuat suasana menjadi mendung. Saat melewati daerah Cikalong, kami ambil kiri. Jalanan berubah menjadi cor beton dan pemandangan berganti menjadi persawahan yang datar. Tidak lama, kami sudah berada di jalanan pinggir laut yang lurus. Angin dari laut yang datang dari sisi kanan terasa cukup dingin. Mungkin karena memang jaketku yang kurang tebal ya. Terdapat beberapa tambak di sisi kanan jalan juga yang luas. Kurang lebih setelah 30 menit di jalur pinggir pantai ini, kami akhirnya menemukan penanda arah masuk ke wilayah Pantai Karangtawulan.

Penandanya besar, tidak perlu khawatir akan kelewat atau salah masuk jalan. Di seberang jalan masuk juga terdapat masjid baru yang besar dan terletak di tanah yang tinggi sehingga terlihat jelas di pinggir jalan. Kami ditarik retribusi sebesar Rp. 15.000 untuk dua orang dan satu motor. Untuk wilayah wisata dan di akhir minggu, menurutku ini cukup murah. Apalagi pantai ini juga menyediakan wilayah jelajah yang cukup banyak. Wilayah pantainya bukan pantai pasir, melainkan tebing pinggir laut. Namun, kita bisa jalan turun kebawah. Inilah salah satu hal yang menjadi daya tarikku dalam memilih pantai mana yang ingin dikunjungi.

Setelah parkir, kami berjalan lurus menuju persimpangan. Ke kiri, lurus, maupun ke kanan sama-sama bisa dijelajahi. Sebagian kecil wilayah ada yang ditanami rumput teki sehingga terlihat bersih dan rapi. Kami memilih untuk lurus, menuju penanda tulisan nama pantai ini. Sekarang kami berada di tebing karang yang langsung menghadap laut. Angin Samudera Hindia yang dingin, begitu kencang langsung menerpa wajahku. Kami duduk sejenak disini untuk beristirahat setelah perjalanan cukup panjang. Setelah itu, kami menjelajah pantai ini dengan menuruni tebing, mengikuti jalan setapak yang sudah ada menuju pinggiran laut.





Pemandangan di Pantai Karangtawulan

Sampai di bawah, banyak binatang laut di kolam-kolam kecil. Banyak sekali bulu babi disini. Andai saja binatang ini bisa dimakan gitu ya. Banyak juga bintang laut, ikan kecil-kecil, dan kepiting. Kami jalan-jalan diatas karang hingga tak terasa sudah semakin sore. Waktunya untuk menyaksikan matahari terbenam. Kami naik ke atas tebing kembali dan sayangnya awan mulai berdatangan dari laut. Menutupi langit yang sebelumnya cukup cerah. Alih-alih melihat semburat sinar matahari, kami hanya mendapatkan langit yang tertutup awan dan sedikit rona kemerahan. Tapi tak apalah, masih tidak terlalu mengecewakan setelah cukup lama tidak melihat matahari terbenam di laut.

Lama-kelamaan, anginnya terasa semakin dingin. Karena hari juga semakin gelap, kami menjauh dari bibir pantai. Saatnya kami pulang. Di tengah perjalanan, perut mulai ‘kekucuran’. Kami mampir ke kedai yang ada di pinggir sawah untuk menyantap sepiring ayam geprek yang porsinya (menurutku) MASYAALLAH (re: banyak sekali). Setelah itu, kami menempuh 1,5 jam perjalanan dan sampai kembali dirumah untuk beristirahat.

 

- Rabu, 13 Oktober 2021 -

Secara mengejutkan, dua hari sebelumnya kampus mengeluarkan pengumuman akan diadakan yudisium untuk angkatanku. Aku terkejut dan bingung karena kami diwajibkan menggunakan PDUB, sedangkan aku tidak membawa seragam apapun selama perjalanan. Untung saja, ada junior dari Tasikmalaya yang bersedia meminjamkan. Walau aku harus mengambilnya ke kota (yang mana cukup jauh). Tapi ya tidak ada opsi lain. Dari sinilah, kami memutuskan untuk self-reward di sore harinya dengan pergi ke pantai.

Setelah yudisium kami mencari lewat Google Maps (gak tau ya, aku lebih suka liat lewat Google Maps karena bisa lihat letaknya secara geografis langsung). Akhirnya, dapat suatu pantai yang dinamakan Keusikluhur (ada urban legend nya nih). Oke, mari kita istirahat agar sorenya segar ketika hendak jalan.

Sore pun tiba. Dengan menggunakan kendaraan yang sedikit ngos-ngosan (kendaraan yang sama) kami berangkat. Sebenarnya cuaca kurang mendukung karena awannya kali ini lebih banyak dibanding yang sebelumnya. Tapi karena sudah niat, kami tetap berangkat. Udara sore itu terasa lebih dingin dari sebelumnya karena mendung tadi. Di beberapa titik, kami sempat terkena gerimis. Namun, alhamdulillah perjalanan kami lancar hingga sampai di jalur pantai selatannya.

Rute yang kami lalui sama dengan ketika kami ke Pantai Karangtawulan. Namun, kali ini kami lurus kurang lebih sejauh 9 km ke timur hingga sampai di suatu persimpangan yang menurut Google Maps, kami harus berbelok ke kanan. Dilihat-lihat, tidak ada penanda, gerbang, dsb yang menunjukkan arah pantai. Jalannya pun, hanya jalan kecil yang dibeton. Namun, kami menurut kepada Mbah Google dan melanjutkan perjalanan yang sudah tinggal sedikit ini. Jalanan kecil tadi lama-lama berubah menjadi tanah biasa yang kadang berbatu. Kami melewati perkebunan kelapa dan sesekali juga rumah pembuatan gula aren. Aromanya sedap sekali!

Akhirnya, kami sampai di semak-semak dengan jalan setapak. Jalan sudah habis dan kami memarkirkan sepeda motor disitu. Tidak ada pantai dengan pengelolanya. Hanya ada kerangka bangunan yang sepertinya lama tidak dilanjutkan pembangunannya. Ada beberapa motor juga, sepertinya milik nelayan. Disinilah kami, di tebing yang menghadap laut langsung. Namun tebingnya tidak setinggi Karangtawulan. Di kanan kirinya, terdapat pantai berpasir hitam yang panjang. Ombaknya cukup kencang.

Terdapat jalan setapak untuk menuruni tebing yang cukup aman untuk dilewati. Kami mencoba turun dan sampai di pantai yang berpasir. Kami berjalan melihat-lihat keadaan pantai. Terdapat tebing yang dekat sekali dengan ombak dan memiliki lubang-lubang seperti gua kecil dibawahnya. Mengarah ke laut, terdapat dataran karang yang ditutupi rumput laut. Pantai ini cukup lebar, namun kurang eloknya adalah sampahnya yang lumayan banyak. Beberapa nelayan memancing, mencari ikan maupun binatang laut lainnya. Tidak ada pengunjung lain selain kami disini. Dalam benak para nelayan, mungkin kami dikira orang kesasar.



Pemandangan di Pantai Keusikluhur dengan banyak pasirnya

Hari semakin gelap, kami mau kembali ke tebing tempat kami memarkirkan motor. Kami melewati jalan yang berbeda. Kami berjalan menaiki tebing satu lagi yang lebih menjorok ke laut dan tidak terlalu tinggi. Ternyata diatas tebing ini terdapat dataran pasir. Secara logika, bagaimana bisa ada pasir diatas tebing yang tidak terkena ombak ini ya? Dari sini, Dendi langsung paham mengapa pantai ini dinamakan Keusikluhur. Dalam bahasa Sunda, keusik artinya pasir dan luhur artinya atas. Jadi “pasir yang diatas”, sesuai dengan apa yang kami temukan ini. Beberapa pemancing lewat disini dan kami menemukan ternyata tidak ada jalan tembusan disini. Akhirnya, kami turun kembali karena hari semakin gelap.

Sampai di tempat parkir, kami langsung keluar menuju jalan besar. Pulangnya kami melewati jalan yang berbeda. Kali ini kami melewati jalan yang lebih bagus, lancar, dan lebih dekat di Kabupaten Pangandaran. Suatu waktu, kami melewati jalan yang benar-benar gelap dan sepi. Setelah melewati jembatan besar, kami akhirnya memasuki wilayah Kabupaten Tasikmalaya lagi. Kami jalan terus hingga akhirnya kami sampai di Tawang dan kemudian sampai di Cikatomas. Perjalanan kami akhiri dengan makan bakso di dekat alun-alun.

 

- Kamis, 14 Oktober 2022 -

Tiba-tiba diajak oleh Ayah dan Ibunya Dendi untuk main ke Pangandaran. Wow, langsung saya terima. Sebenarnya, pinginnya di lusa sekaligus dengan acara keluarga besar. Syukuran kehamilan 7 bulan kakaknya, kalau tidak salah. Namun, berhubung Jum’at diriku sudah harus ke Jember, jadi dimajukan acaranya. Acara ini sekaligus syukuran Dendi mendapatkan peringkat utama sewaktu yudisium kemarin. Bangga sekali Ayah dan Ibunya Dendi.

Setelah selesai bersiap, kami langsung berangkat menggunakan mobil. Aku duduk di deret kedua dengan ibunya Dendi. Sedangkan Dendi di depan. Kami melewati jalan menuju Tawang, jalan yang sama saat kami pulang dari Pantai Keusikluhur. Melewati jembatan yang melewati sungai yang merupakan batas antara Tasikmalaya dan Pangandaran, jalanan berubah menjadi lebih menyenangkan. Dari sana, kami masih terus berjalan selama kurang lebih 45 menit hingga sampai ke Cijulang. Disini jam sudah menunjukkan pukul 10-an. Kami berhenti sejenak untuk membeli buah-buahan untuk dicamil di jalan karena perjalanan masih membutuhkan waktu beberapa lama lagi.

Semakin lama berjalan, aura pesisir semakin terasa. Di pinggir-pinggir jalan banyak villa maupun penginapan yang menandakan bahwa Pangandaran memang daerah wisata. Oiya aku lupa, sebelum sampai di Cijulang tadi, kami melewati suatu jalan di pinggir sungai yang airnya berwarna hijau emerald. Sungai ini populer disebut sebagai Green Canyon yang dijadikan tempat wisata. Disana, kita bisa menyusuri sungai lewat dermaga yang ada di pinggir-pinggir jalan. Kali ini kami melewatinya, hanya melihat melalui kaca pintu mobil.

Oke kita lanjut, akhirnya kami bertemu dengan perahu-perahu yang sedang bersandar. Mangrove yang cukup lebat dengan air yang menurutku saat itu sedang surut. Tak berapa lama dari situ, akhirnya kami sampai di tujuan kami. Sebuah rumah makan menu khas laut sederhana yang hewannya kita pilih sendiri. Orang tua Dendi memilih berbagai macam hewan seperti ikan, udang, dan cumi. Setelah itu, makanan akan diproses untuk kemudian disajikan. Kami menuju tempat-tempat duduk yang sudah disediakan. Kami pilih saung yang paling ujung, paling dekat dengan pantai walau sebenarnya masih 50 meteran dari garis pantai.

Pantai di dekat tempat kami makan

Perahu di dermaga sebelum Pantai Batukaras


Selagi menunggu, aku lihat-lihat pantai yang lebar ini. Kiri dan kananku hanya pantai yang luas dengan ombak yang sedang. Pangandaran terletak di sebuah teluk. Maka dari itu pantainya terlihat sangat panjang. Di kananku, ada sebuah dermaga yang kelihatannya untuk kapal-kapal ikan yang hendak bersandar, aku tidak tahu pasti. Setelah mengabadikan beberapa foto, aku kembali ke saung dimana makanan ternyata sudah siap tersaji. Didahului oleh doa dan puji syukur oleh Ayahnya Dendi atas keberhasilan anaknya, kami mulai makan. Semuanya terasa enak karena aku memang jarang makan makanan laut.

Setelah puas makan, kami segera beres-beres untuk menuju destinasi selanjutnya. Kami kembali ke jalan Cijulang untuk menuju Pantai Batukaras. Tapi sebelum itu, kami mampir ke desa tempat penjualan kepiting terlebih dahulu. Ibunya Dendi beli beberapa kepiting untuk dimasak di rumah. Lepas itu, kami melanjutkan perjalanan. Kurang lebih setelah 30 menit, kami sampai di pantai yang dimaksud. Topografi pantai ini berbeda dengan tempat makan kami tadi. Terdapat tebing yang curam di ujung pantai ini. Pantai ini nampaknya cukup terkenal, terlihat dari beberapa vila yang ada di jalan masuknya. Selain itu, terdapat hotel mewah yang sedang dibangun di pinggir pantai.

Ayah dan Ibunya Dendi mempersilakan kami untuk main-main sementara mereka mau mojok (aseek). Kami mencoba untuk ke atas tebing melalui tangga yang cukup landai. Wah, berbeda sekali pemandangan diatas ini. Terlihat di timur, kota Pangandaran yang diujungnya terdapat sebuah bukit. Sementara diantaranya adalah (lagi) pantai yang sangat luas dengan perairan yang bisa dibilang cukup tenang. Aku mengabadikan beberapa rekaman disini.


Pemandangan di Pantai Batukaras

Karena kurang puas dengan sudut pandang yang ada, kami mencoba menjelajahi sisi lain dari tebing ini. Sisi yang cukup belum tersentuh dengan banyak tumbuhan berduri. Untung saja kami menggunakan baju lengan panjang. Saat kami mencoba menembus semak ini, kami melihat biawak yang kamuflasenya hampir sempurna, hampir tidak terlihat. Aku terkejut, Dendi terkejut, si biawak pun terkejut. Biawak itu lalu mencoba lari dari kami menuju bawah dengan cepat. Jika diingat-ingat, terkejutnya kami bertiga ini lucu sekali. Setelah mendapatkan sudut pandang untuk kamera yang bagus, kami segera turun kembali.

Kami mencoba jalan di pasir pantai. Pasirnya halus, sayangnya banyak sekali sampah berserakan. Tak berselang lama, kami dipanggil oleh orangtuanya Dendi. Mereka mengajak kami untuk pulang karena sudah lumayan sore. Kami naik kembali ke mobil lalu melaju kembali menuju Tasikmalaya. Kami sempat mampir ke Bandara Nusawiru, hanya untuk melihat seperti apa bandara yang merupakan basis dari Susi Air milik Susi Puji Astuti ini. Tidak ada apa-apa, seperti bandara pada umumnya. Perjalanan kami lanjut hingga kurang lebih pukul 5, kami sampai di rumah. Terima kasih untuk orang tua Dendi atas jamuannya yang sekaligus merupakan salam jalan, karena esoknya aku bertolak ke timur.

Post a Comment

0 Comments