Advertisement

Responsive Advertisement

Galunggung

- Minggu, 10 Oktober 2021 –

Sebenarnya, pergi ke gunung ini sama dengan melanggar janji. Seminggu yang lalu, turun dari Ciremai, aku (seolah) berjanji tidak akan ke gunung selama satu bulan kedepan karena trauma capeknya Ciremai masih terasa. Eh tidak disangka, Dendi menawarkan untuk ke gunung ini yang mana tidak perlu kemah dan sebagainya. Perjalanan sederhana dengan menggunakan sepeda motor dan sedikit berjalan (re: mendaki tangga). Kemudahan tadi membuat aku tak berdaya menolak. Disepakati bahwa kami akan berangkat di hari Minggu.

Hari-H, kami bangun seperti biasa dan melaksanakan rutinitas pagi. Sarapan, mandi, BAB (wajib), dan menyiapkan barang yang perlu dibawa. Tidak banyak, hanya tas kecil berisi dompet, ponsel, topi, dan jaket. Perjalanan yang akan kami tempuh cukup jauh, sehingga kami harus berangkat lebih awal. Kira-kira jam setengah 8 pagi, kami sudah berangkat menuju Galunggung. Tenaga dan waktu sudah lumayan terkuras selama perjalanan dari Cikatomas ke Salopa. Di Salopa, kami mampir ke rumah tetehnya Dendi untuk meminjam helm dan menukar motor. Kenapa ditukar? Karena motor teteh Dendi lebih kuat dibanding motor Dendi.

Setelah mendapatkan helm dan motor, kami melanjutkan perjalanan. Menuju Kota Tasikmalaya, kami melewati jalan yang berbeda dengan saat aku menuju Cikatomas. Kami belok kanan di Salopa untuk melewati jalan alternatif ke arah Gunung Tanjung yang lebih mulus dan sepi (walau sama-sama berkelok). Hal tidak terduga terjadi disini. Tidak sampai 3 km dari belokan tadi, motornya melambat di jalan yang terus naik turun ini. Motor ini menyerah membawa kami berdua. Sebelum terlalu jauh, kami memutuskan untuk putar balik dan menukar motor kembali. Pada akhirnya, kami kembali menggunakan motor Dendi.

Oke, perjalanan sedikit diulang dan alhamdulillah, walau ngos-ngosan, motor ini sanggup mengantar kami. Perkebunan, persawahan, pedesaan kami lewati hingga mungkin setelah 1 jam perjalanan, kami sampai di pinggiran Kota Tasikmalaya. Dari sana, aku kira perjalanan sudah tinggal sebentar. Ternyata tidak! Kami masih harus menyusuri jalan lingkar Tasikmalaya hingga tiba di sisi barat, kemudian dilanjutkan lagi ke barat hingga tiba suatu pedesaan. Oh tidak! Jalanan menjadi jelek lagi sehingga membuat kami memakan waktu cukup lama lagi. Masih disini, waktu sudah menunjukkan hampir tengah hari. Beberapa saat kemudian, kami sampai di lereng Galunggung. Kami terus naik melewati gerbang masuk. Baru di tanjakan pertama-yang mana cukup curam- motor ini menyerah juga. Permasalahan yang sama, terulang kembali.

Kami memutuskan untuk turun kembali ke gerbang masuk, mencoba keberuntungan barangkali ada penyewaan motor. Ternyata tidak ada, adanya ojek yang harganya kurang cocok dengan kantong kami. Dendi berpikir lagi. Ada saudara dia di dekat sini dan ia memutuskan untuk berkunjung ke rumahnya, silaturahmi sekaligus meminjam motor jika ada. Oke, kita turun lagi dan setelah 20 menit perjalanan, kami sampai di rumah keluarga Dendi. Keluarganya ini baru saja kelahiran anak pertama, sehingga kami kesini sekalian menengok anak bayi yang lucu, sekaligus ibadah dan makan siang. Setelah itu kami meminjam motor gigi keluarganya.

Gerbang masuk Gunung Galunggung

Kembali ke daerah lereng gunung. Kali ini, kami melaju menaiki lereng yang kadang curam, kadang landai, dengan aman. Petugas retribusi menarik biaya sebesar Rp... . Dari sini, kita masih naik lagi menuju tempat parkir. Parkiran dekat dengan tangga biru menjadi tujuan kami. Tangga biru ini adalah satu tangga untuk menuju pinggiran kawah Galunggung yang kata Dendi merupakan tangga baru. Yang satu lagi adalah tangga kuning yang merupakan tangga lama. Lumayan banyak manusia yang berkunjung di tengah hari begini.

Pendakian (melalui tangga) kita mulai. Di kanan dan kiri tangga, setiap interval berapa meter, disediakan pos untuk beristirahat. Kala itu, karena kami naik di pertengahan hari, kami banyak berpapasan dengan orang yang sedang dalam perjalanan turun. Bahkan kami bertemu dengan nenek-nenek yang sedang turun. Sehat sekali Nek! Kira-kira sekitar 25 menit menaiki tangga, kita sampai di pinggiran kawah Galunggung. Kesan pertama adalah KEREN!

Pemandangan hutan di bawah dari tangga pendakian

---imajinasi---

Tempo waktu itu, pas sampai disana, kebetulan cuaca sedang sedikit berkabut. Kami menapaki bibir kawah Galunggung. Puncaknya sendiri ada di seberang kami, terhalang oleh kawah yang menganga lebar. Puncaknya terlihat masih jauh diatas sebuah tebing terjal tinggi yang terlihat tertutup awan. Tebing tanpa vegetasi apapun. Apa mungkin ini penanda jika erupsi besarnya masih belum lama terjadi (dalam skala waktu Geologi)? Di tebing itu, terdapat beberapa air terjun yang jatuh bebas menuju dasar kawah kemudian membentuk aliran yang bermuara ke danau yang ada di bawah kami. Pemandangan yang ada di depan mata ini terlihat dreamy alias seperti di mimpi. Dunia fantasi yang ada di film-film barat.

 

---kembali ke dunia nyata---

Kami belok kiri menuju warung yang ada di sana. Kami naik ke sebuah bangunan yang belum jadi yang bisa digunakan sebagai panggung pandang. Masyaallah, beneran seperti mimpi pemandangannya pokoknya. Temperatur yang tidak terlalu dingin dan angin yang sedang-sedang saja tidak memaksa kami untuk menggunakan jaket. Di arah bawah, terlihat pemukiman warga yang semakin jauh semakin padat, menuju Kota Tasikmalaya. Tampak juga sebuah lembah yang dialiri sungai namun tidak berpenghuni. Pinggiran gunung ini sungguh megah, seperti pelindung kawah di dalamnya.

Pemandangan puncak yang ditutupi awan

Danau yang ada di dasar kaldera, dan anak gunung kecil di pinggirannya

Bosan, kami mencoba untuk turun ke kawah melalui tangga di dekat tangga masuk kami tadi. Vegetasi disini belum seperti di gunung-gunung tinggi. Setelah cukup jauh turun, kami dihadang oleh penunggu kawah ini. Awalnya sih hanya satu dan bisa kami abaikan. Namun makin jauh kami turun, makin banyak penunggu yang menghadang kami. Satu RW monyet ada di depan kami saat ini. Mulai dari yang kecil hingga yang sudah cukup tua. Tidak sanggup rasanya menghadapi mereka dengan tangan kosong. Maksudnya bukan mau memukul atau apa, setidaknya kami harusnya berbekal bilah kayu untuk menghalau mereka. Oleh karena itu, kami putuskan untuk mundur, menyerah, mengibarkan bendera putih, melantunkan sayonara, dan kembali keatas.

Sampai di atas, kami kembali menyusuri pinggiran kawah hingga sampai di tangga kuning. Disini terdapat lebih banyak warung dan ada tugu peringatan letusan besar Galunggung tahun 1982. Aku hanya membaca sekilas narasi yang ada di tugu tersebut kemudian lanjut berjalan hingga sampai ujung pinggiran kawah yang bisa dikunjungi. Terdapat satu warung dan jalan yang biasa digunakan oleh ojek motor untuk menuju puncak. Di depan kami menjulang tebing yang dipenuhi hutan lebat yang sepertinya ada aliran air cukup deras di bawahnya.

Plakat mengenai erupsi Galunggung 1982

Dendi merasa penasaran. Dulu, dia pernah kesini dan ada jalan untuk menuju dasar kawahnya yang nihil ditemukan saat ini. Kami bertanya kepada sang ibu penjaga warung. Beliau menunjukkan jalan setapak yang kecil. Beliau berkata bahwa diperbolehkan untuk menuju dasar kawah. Akhirnya, kami menapaki jalan tersebut dengan semak-semak yang cukup lebat di kanan kiri kami. Di satu titik, terdapat bangunan kosong yang lama tidak dijamah yang bisa digunakan untuk istirahat. Tidak jauh dari bangunan tersebut, akhirnya kami sampai di dasar kawah.

Keluarnya kami dari semak-semak menuju wilayah tanpa semak ini tidak menyenangkan. Kami dikelilingi oleh nyamuk yang lama tidak memangsa dan dalam jumlah yang sangat banyak. Mereka terbang, hinggap, dan tidak awas sama sekali dengan tanganku yang sedang bergerak untuk menggeprek mereka. Mereka hanya diam, asyik berusaha memasukkan moncongnya ke kulit (padahal aku menggunakan baju panjang). Bisa ditebak, usaha mereka hanya membuahkan kematian tidak berarti. Oke kembali ke pembahasan dasar kawah ya.

Dasar kawah ini adalah dataran yang cukup luas. Terdapat sebuah danau yang airnya berasal dari aliran sungai kecil dari air terjun. Warna air danaunya hijau kekuningan, mirip dengan air butek sebenarnya. Sepertinya ada ikannya karena kami melihat beberapa perangkap ikan atau kail yang ditinggal disana. Selain itu, pepohonan tidak terlalu tinggi dan semak-semak juga menghuni dasar kawah ini. Sebuah bukit kecil terletak di pinggiran danau, yang puncaknya seperti ditanami alat pemantau getaran. Terlihat dari adanya sel surya disana.

Pemandangan sungai yang ada di dasar kaldera

Pemandangan dari warung Ibu

Rasanya tidak lengkap jika tidak berfoto disini. Aku masih takjub dengan aliran air dari air terjun menuju danau. Benar-benar seperti di dunia mimpi (sudah berapa kali aku mengatakannya?). Apalagi puncaknya saat itu tertutup awan. Sehingga tidak terlalu panas dan enak rasanya dibawah sini. Namun, waktu yang kami punya tentunya terbatas karena perjalanan pulang kami masih cukup jauh sehingga kami harus naik kembali. Saat sampai di atas, warung ibu tadi sudah tutup.

Kami kembali melewati tangga biru. Sampai di parkiran, kami ibadah dan melanjutkan perjalanan pulang. Tak lupa kami mengembalikan sepeda motor ini dulu. Sampai di rumah saudaranya, kami hanya berbincang sejenak lalu berpamitan. Tiba di Kota, hari sudah gelap. Kami mampir di beberapa tempat disini untuk makan, ibadah, dan membeli titipan. Setelah semuanya selesai, kita pulang.

Di tengah perjalanan, langit mulai menjatuhkan butiran air (re: hujan rek). Kami menepi untuk memasang jas hujan. Tak lama melanjutkan perjalanan, ternyata sudah reda, bahkan dengan jalanan yang kering. Kami sampai di Salopa kira-kira jam 07.30 malam dan sampai di rumah Dendi kira-kira jam 08.30 malam. Akhirnya perjalanan panjang dengan penuh drama ini selesai. Kalau ditanya pingin lagi, jelas pingin.

Sobat Dendi yang jadi teman perjalanan kesini


Post a Comment

0 Comments