Advertisement

Responsive Advertisement

Jember

 - Jum’at, 15 Oktober 2021 –

Setelah menetap di Tasikmalaya selama 10 hari, aku memutuskan untuk angkat kaki. Mengunjungi keluarga di Jember yang sudah tidak ditengok selama pandemi Covid19 menjadi tujuan selanjutnya. Moda transportasi yang aku pilih adalah kereta api. H-2 keberangkatan, aku ditelpon Adi, ditawari untuk menemani dia naik Merbabu saat akhir pekan. Kepalang telat, aku sudah memesan tiket ke Jember dan sudah berjanji dengan keluarga di Jember untuk datang pada waktu tersebut. Sehingga tawaran Adi dengan sangat terpaksa (padahal juga pingin banget) aku tolak terlebih dahulu. Semoga bisa mendatangi Merbabu dilain waktu.

Aku memesan kereta api Pasundan (Tasikmalaya-Surabaya Gubeng, 13.00-23.58) seharga Rp.190.000. Dari Surabaya Gubeng-Jember, perjalanan disambung menggunakan kereta api Probowangi seharga Rp.29.000 (05.30-09.50). Tidak ada opsi lain yang lebih baik dari ini karena aku tidak perlu pindah stasiun saat transit di Surabaya.

Aku diantar oleh Dendi ke Stasiun Tasikmalaya. Kebetulan hari itu, paginya sedikit gerimis sehingga jalanan sedikit becek. Kami sempat berteduh sekali ketika sudah cukup dekat dengan kota. Kami berangkat kira-kira pukul 8 atau 9 pagi dan tiba di kota pukul 10-an. Sesampainya di Stasiun Tasikmalaya, barang kami taruh dan kami menunggu hingga pukul 13.00. Tak lupa juga aku membeli makanan berat untuk malam dan makanan ringan. Oiya, karena ini hari Jum’at, jadi kami sempat pergi mencari masjid untuk sholat Jum’at.

Pukul 12.30, sholat Jum’at selesai dan kami segera kembali ke stasiun. Sampai disana aku langsung masuk ke stasiun dengan semua barangku. Selamat tinggal untuk Dendi dan Tasikmalaya. Terima kasih sudah memberi kenangan baik di tempat ini. Aku lantas mencari tempat dudukku yang letaknya di gerbong terakhir. Setelah dapat, aku meletakkan barang-barangku. Gerbongnya sepi atau mungkin bisa dibilang kosong. Aku merasa leluasa untuk istirahat disini. Baru saja duduk, aku langsung sadar ada yang kurang. Aku mengabsen satu-satu apa yang aku bawa. Ternyata tas yang berisi dompet, laptop, dan buku ku tidak ada!

Panick attack menyerang. Kereta berangkat dua menit lagi. Aku langsung lari keluar stasiun untuk mencek tempat aku duduk menunggu. Aku juga menelepon Dendi, barangkali dia masih di tempat duduk itu. Saat sampai di tempat duduk tersebut, benar saja tasnya tergeletak rapi. Jadi, tas tadi aku taruh di tempat duduk depanku. Sementara yang lainnya aku taruh di baris yang sama. Ketika aku membawa barang-barangku masuk ke stasiun, barang tadi terlupakan karena tidak terlihat. Memang cerobohnya diriku huhu.

Huft, lega rasanya. Aku segera berlari kembali menuju kereta. Aku masuk ke gerbong tengah dan menyusuri hingga ke gerbong belakang. Benar saja, belum sampai di tempat duduk, kereta sudah berangkat. Kereta melaju meninggalkan Tasikmalaya hingga akhirnya sampai di Stasiun Surabaya Gubeng tengah malam, sesuai estimasi. Stasiun sudah sepi, tidak ada aktivitas kecuali kami, penumpang yang baru saja turun. Kereta berhenti di peron 6, dekat dengan gedung lama stasiun ini. Aku duduk di gedung lama ini hanya untuk mengetahui ternyata aku tidak boleh disini dan diperintahkan untuk pindah ke gedung baru. Karena gedung lama ini ditutup jika malam. Oke, aku jalan ke pintu keluar gedung baru dan masuk kembali menuju area tunggu.

Cukup banyak orang disini. Sama-sama menunggu kereta pagi. Aku langsung menuju musala yang ada di dekat sana. Selain untuk ibadah, aku juga memilih untuk tidur di musala dengan alasan lebih tertutup sehingga lebih aman. Kebetulan juga, musalanya memiliki air conditioner, sehingga bisa tidur dengan lebih tenang (walau kurang dingin sebenarnya sih). Oiya, alasan utama lainnya adalah biar gak terlalu diserbu nyamuk! Tau sendiri kan Surabaya terkenal dengan udara panas dan nyamuknya (yaa walau di dalam musala juga tetap diserbu nyamuk sih huhu).

 

- Sabtu, 16 Oktober 2021 -

Aku terbangun ketika musala sudah mulai ramai oleh orang-orang yang akan melaksanakan salat Subuh. Tak lama, azan berkumandang dan salat dilaksanakan secara berjamaah. Lepas salat, aku keluar, kembali ke zona tunggu. Saat pintu check in dibuka, aku segera masuk menuju gerbong kereta Probowangi yang tiketnya murah meriah ini. Untung saja waktu itu gerbong tidak terlalu sesak sehingga semua barangku muat di bagasi. Tak menunggu lama, pukul 05.30 kereta berangkat.

Setelah perjalanan cukup lama, melewati berbagai kabupaten dan bentang geografis seperti Gunung Penanggungan, Gunung Lamongan, Gunung Argopuro, dan lainnya, kereta sampai di Stasiun Jember pada pukul 09.50. Aku segera mengabari sepupuku, Algi, untuk minta tolong dijemput. Tak lama, dia datang. Kami menuju rumah Mbah Mun dan kebetulan ada Ruwi disana. Akhirnya kita bersua kembali setelah hampir 2 tahun tidak bertemu. Alhamdulillah beliau sudah lumayan lebih sehat setelah beberapa bulan sebelumnya, mengalami sakit akibat tergelincir saat turun dari tempat tidur.

Setelah membersihkan diri, aku tertidur karena lelah menempuh perjalanan. Tak banyak yang aku lakukan hari itu. Siangnya, Bulek Mar datang untuk menjemput Ruwi. Malamnya, keluarga Lek Yayan, lengkap, datang ke rumah Mbah Mun untuk menengok aku. Shanum sudah besar dan banyak bisanya. Kira-kira pukul 10, si bocah sudah ngantuk dan keluarga Lek Yayan berpamit pulang. Hari itu diakhiri.

 

- Minggu, 17 Oktober 2021 –

Hari ini, keluarga Paklek Eko datang tanpa Hafiz karena dia masih ada acara downhill di Magetan. Keluarga Lek Yayan juga datang kembali. Kira-kira pukul 09.30-an, kami bersama-sama mencat bagian samping tembok rumah Mbah Mun. Bergotong-royong dengan tajuk “sarjana muda mencat” (LOL). Setelah agak siang, aku kelelahan dan ketiduran. Bangun-bangun, sudah pada mau pulang ke rumah masing-masing.

Sorenya, aku menjemput Izharu di stasiun. Wait, what? Izharu? Yaps, memang beberapa hari sebelum aku ke Jember, dia berencana untuk pulang ke Surabaya. Pulang ke rumah setelah beberapa bulan menetap di Bali dengan keluarganya. Rencana awalnya adalah hari Sabtu, namun dia bilang masih agak lelah. Akhirnya hari Minggu dia berangkat menggunakan bis ke pelabuhan, pindah ke ferry, dan pindah lagi menggunakan kereta Probowangi. Sampai di Jember pukul 17.26. Akhirnya kami bertemu lagi setelah tidak bertemu selama libur pandemi Covid-19 ini. Aku langsung membawanya ke rumah Mbah Mun untuk menginap.

Setelah istirahat dan beres-beres sebentar, kami keluar untuk mencari makan. Berkeliling di seputaran Kampus Unej menuju Gladak Kembar dan kami berhenti di Mie Gacoan. Aku tidak tahu dan tidak pernah ke tempat ini. Dia yang memesankan makanan untuk kami berdua. Saat makanan datang, kami langsung menyantapnya. Selagi makan, banyak sekali cerita yang saling kami lontarkan. Ceritanya bahkan masih belum habis setelah kami selesai santap malam ini.

Setelah makan, aku mengajaknya berkeliling lagi ke perumahanku dulu dan lanjut langsung ke Alun-Alun Jember. Masih saja ramai walau pandemi seperti ini. Kami mencari tempat duduk untuk berbincang. Eh ternyata, tak lama ada Satpol PP yang datang dan kami memutuskan untuk pulang saja. Sebenarnya Satpol PP-nya ya cuma lihat-lihat dan ngontrol kondisi aja. Tapi kami tetap memutuskan untuk pulang saja, sekaligus ikut Makrab Daring Geofisika malam itu.

 

- Senin, 18 Oktober 2021 -

Sejauh yang aku bisa ingat, hari itu kami lebih banyak di rumah. Paginya aku mencari penjual ketan bubuk langganan. Nihil, penjualnya tutup. Lalu aku kembali ke rumah dan bersantai. Hingga tiba-tiba saja muncul inspirasi untuk menonton film Dune (yang waktu itu baru rilis) di bioskop. Cari-cari tiket di Tix, ternyata dapat di XXI Transmart hanya Rp. 20.000. Karena itu tergolong murah, akhirnya kami gaskan siang itu.

Pemandangan gedung di pusat kota Jember

Pasca Dzuhur, kami berangkat. Ini adalah pertama kalinya aku masuk Transmart Jember dan lebih fantastis lagi, pertama kalinya aku ke bioskop. Waktu didalam, kami tidak menemukan bioskopnya. Ternyata ada di lantai 4 dan waktu itu eskalator menuju lantai 4 sedang diperbaiki. Akhirnya kami lihat-lihat barang dulu dan 5 menit sebelum film dimulai, elevatornya dibuka dan kami masuk studio. Pecah juga, padahal sudah menahan-nahan keingintahuan bioskop seperti apa. Dua jam berlalu, filmnya habis dan kami keluar. Setelah ini, kami hanya sekadar cari makan di Mie Kober Patrang. Malamnya, kami hanya beristirahat.

 

- Selasa, 19 Oktober 2021 -

Hari ini, kami merencanakan untuk pergi cukup jauh. Kami akan ke Pantai Teluk Love, Pantai Payangan, Pantai Papuma (yang jadi top bucket list dia) dan kalau sempat, ke Kebun Renteng (Puslitkoka). Rencana ini merupakan rencana alternatif setelah kemungkinan ke Ijen menjadi tidak mungkin (gak papa, ikhlas saja, padahal ke Jember karena pengen ke Ijen lagi). Rencana kami adalah menyewa kendaraan. Satu hari sebelumnya, kami sudah mendapatkan penyewaan dan kami membuat janji untuk bertemu jam 6 pagi (sangat pagi kan?).

Jam 6 pagi tiba. Kurang dari itu, aku sudah berangkat menggunakan Gojek. Jam 6 lebih sedikit, aku sampai di tempat sewa. Yang aku lihat disana hanya rumah yang masih tutup karena pemiliknya masih tidur. Di titik ini, aku masih menganggapnya wajar karena ini masih cukup pagi. Aku coba menelepon sang pemilik, menepis perasaan wajar tadi karena yang namanya janji adalah janji, apalagi dengan pelanggan. Namun, ternyata WhatsApp-nya tidak aktif. Sepuluh kali lebih ditelepon, masih tidak ada hasil.

Aku mencoba cara lain, memanggil langsung pemiliknya, bahkan dengan agak berteriak. Namun, tidak ada juga balasan. “Kuat banget tidurnya orang ini”, dalam hatiku. Aku bertanya kepada tetangga yang sedang lewat, ternyata mereka juga kurang kenal dengan orang di rumah ini dan katanya mungkin sedang di luar karena mobilnya yang terparkir hanya ada satu. LOH?! Bisa-bisanya ada diluar sementara membuat janji dengan saya. “Orang gak bener ini”, batinku lagi. Ikhtiarku masih kuat karena tidak ada opsi lain. Aku terus memanggil, menelepon, hingga di satu waktu, ada seorang nenek sangat sepuh yang pendengarannya sudah kurang baik, keluar. Aku bilang baik-baik kepada nenek tersebut bahwa aku pelanggan yang hendak menyewa motor. Nenek itu bilang akan dipanggilkan ke anaknya.

Namun, mungkin karena usia yang renta, memoripun melemah. Sepertinya Nenek tersebut seketika lupa memanggil anaknya ketika beliau masuk ke dalam rumah. 15 menit berlalu, tidak ada tanda-tanda kehadiran anaknya. Aku maklumi hal ini. Hingga akhirnya, tiba-tiba ada karyawannya datang. Mbak karyawan ini mempersilakan aku masuk ke kantornya dan disanalah aku bertemu sang pemilik, YANG BARU SAJA BANGUN TIDUR DENGAN SARUNGNYA, dengan perasaan tanpa salah meneruskan administrasi peminjaman. Tidak ada kata maaf dsb-nya yang terlontar. Aku sudah malas berdrama dan hanya mengikut prosedur tersebut lalu segera membawa motornya keluar karena ini sudah cukup siang. Rencana kami yang sudah di pantai kira-kira jam 8 pagi, malah molor jadi jam 8 baru berangkat dari kota. Huft.

Tanpa basa-basi, kami segera berangkat. Di tengah jalan, kami merasa kalau ban sepeda motor goyang. Saat pelan, sangat terasa. Kalau cepat, terasa sedikit tapi tetap saja bahaya kan. Oke, lanjut, jalannya ternyata cukup jauh. Ketika sudah dekat dengan pantainya, jalan berubah menjadi agak jelek dan berlubang. Ban goyang ini semakin terasa. Tapi kami terus paksa pakai, karena bukan salah kami. Tidak lama, suasana berubah menjadi suasana pinggir pantai.

Sesampainya di pantai, kami memarkirkan sepeda motor. Akhirnya, berkesempatan kesini lagi setelah empat tahun. Kami jalan menuju Bukit Samboja. Tiket menuju bukit ini berbeda dengan Pantai Payangan tadi dan masih tergolong bisa ditolerir harganya. Dalam teriknya matahari, kami menaiki bukit melewati tangga yang ada. Tidak terlalu melelahkan, namun panasnya benar-benar terasa menyengat. Walaupun siang, terik, lumayan banyak orang di bukit ini. Kami lantas mencari tempat duduk dengan naungan pohon yang cukup rindang.





Pemandangan dari bukit di Pantai Payangan

Setelah cukup, aku mengelilingi bukit melewati jalan setapak. Tentu tidak akan kesasar karena hanya akan mengitari. Izharu tidak ikut karena cukup lelah dan panas. Aku mengelilingi dan naik ke arah yang lebih tinggi. Disana aku diam sejenak, melihat pemandangan ke arah yang berbeda dari tempat duduk tadi. Kemudian, aku lanjut kembali. Tak banyak yang kami lakukan disana. Hanya bercengkerama.

Bosan, kami memutuskan untuk berpindah. Kami turun bukit dan menuju parkiran. Kami hendak lanjut ke tujuan selanjutnya. Berhubung siang makin panas, rencana ke Pantai Papuma kami batalkan. Kami langsung ke Puslitkoka Renteng. Disana kami membeli beberapa produk dan minum minuman dingin untuk menghilangkan dahaga. Ruangan ber-AC ini juga menyegarkan badan kami kembali. Setelah 30 menit disana, kami lanjut pulang dan beristirahat.

Bundaran kecil dengan tugu di Puslitkoka

Sore harinya, kira-kira pukul 5, aku mengantarkan Izharu ke stasiun. Yup, dia kembali ke Surabaya. Kami hanya bertemu selama 3 hari saja. Rasanya sih kurang, tapi ya bagaimana lagi kan kita sudah ada agenda masing-masing. Ketemu saja sudah merupakan hal baik. Terima kasih sudah jadi teman perjalanan di Jember!

---

Dua hari kemudian, giliranku pergi dari Jember menuju Yogyakarta. Terima kasih untuk keluarga besar di Jember yang sudah menerima dengan hangat. Salam sehat untuk semuanya dan semoga dapat bertemu kembali, kampung halaman keduaku!

Foto dengan Mbah Mun, nenekku tersayang

---

Setelah melakukan rangkaian perjalanan ini, aku menuliskan ulasan untuk si penyewa motor di Google Maps. Ternyata, ulasan-ulasan orang lain berbicara yang sama, bahkan ada yang lebih parah! Jahat memang si pemilik ini ternyata.

Post a Comment

0 Comments