Kalau di Kalimantan, peribahasanya “kalau minum air Kalimantan, nanti akan kembali ke Kalimantan”. Terus di Jogja aku mengonsumsi apa ya? Kok rasanya selalu ada alasan untuk kesana.
- Kamis,
21 Oktober 2021 -
Akhirnya, ke Jogja lagi dengan tujuan inap yang sama. Ya,
rumah Adi (lagi). Alhamdulillah masih disambut walaupun sudah
berkali-kali menginap dan merepotkan disini dalam jangka waktu yang cukup lama. Singkat
cerita, aku naik kereta Sri Tanjung relasi Jember-Yogyakarta. Pukul 10, kereta berangkat dalam keadaan cukup sepi
penumpang. Aku sebangku dengan orang dari Madiun. Karena banyak bangku yang
kosong, aku berpindah agar tidur menjadi lebih leluasa (LOL!). Sepanjang
perjalanan, cuaca panas dengan langit yang biru jadi pemanis yang sangat indah.
Hampir tanpa awan, membuat Gunung Argopuro, Semeru, Lamongan, Penanggungan,
Arjuno, dan Welirang terlihat jelas.
Tengah hari, kereta sudah sampai di Surabaya. Saat di
Stasiun Gubeng, aku turun untuk ibadah. Namun, suara di pengumuman mengatakan
bahwa kereta akan berangkat sebentar lagi (?). Aku mencoba bertanya ke satpam
dan ternyata memang Stasiun Gubeng sekarang hanya sebagai stasiun mampir untuk
menurunkan barang lalu lanjut ke Stasiun Surabaya Kota. Hah? Stasiun apa itu
aku baru dengar. Masih dalam kebingunganku, kereta menderu berangkat.
Saat sampai di stasiun yang dimaksud, aku heran dengan
bentuk bangunannya yang aneh. Aku merasa sedang berada di lantai bawah tanah suatu
gedung. Keadaan stasiunnya bisa dibilang cukup ketinggalan (IMO) dibandingkan
stasiun lainnya yang sudah modern, terang, bersih, dan rapi. Rapi sih, cuma
arsitektur bangunannya itu seperti peninggalan lama. Apa mungkin stasiun ini
adalah stasiun yang baru saja reaktivasi? Kereta berhenti disini cukup lama,
sekitar 40 menit yang mana cukup untuk ibadah dan melihat-lihat stasiun.
Peronnya juga cukup banyak, seperti di Jakarta Kota. Setelah aku puas, aku
masuk kembali.
Sesuai dengan jadwal, kereta berangkat kembali. Sempat
kereta melewati beberapa daerah yang diguyur hujan. Sampai di Jogja, ternyata
tidak ada hujan. Aku sampai ba’da maghrib. Keluar stasiun, aku langsung
menemui Adi yang sudah siap di tempat penjemputan biasa. Akhirnya bertemu lagi
dengan jawara ndagel Georanger53. Setelah itu, kita makan di sebelah Mandala
Krida dan bertolak kerumahnya setelahnya. Waktu itu, hanya ada bapaknya di
rumah. Ibunya sedang pelatihan di Jakarta. Selesai beres-beres dan membersihkan
badan, aku bersantai dan tidur. Inilah awal perjalanan tiga mingguku di Jogja,
durasi terlama setelah beberapa kali ke Jogja.
-
Jum’at, 22 Oktober 2021 -
Pagi hari, tak ada hal yang kulakukan. Tidak ada juga
punya rencana kemana-mana. Hanya ingin istirahat dan mencuci baju. Kira-kira
pukul 07.30, aku mengantar Adi ke Stasiun Geofisika (Stageof) Sleman untuk
bertugas membantu salah satu pegawai, Bu Ayu, yang sedang penelitian disertasi.
Nah, untuk keperluan ini juga-lah aku ke Jogja. Untuk melakukan kerjaan yang
tidak hanya jalan-jalan saja, namun juga menambah ilmu. Namun, untuk hari ini
masih belum ikut dikarenakan kerjaan yang masih belum banyak. Oiya cerita
mengenai ini akan aku jadikan seri terpisah, karena ceritanya cukup panjang
hehe.
Adi pulang setelah sholat Jum’at. Sore hari, ia
mengajakku ke Parangtritis. Beruntung sekali cuaca cukup bersahabat. Walaupun
mendung, tidak ada tanda-tanda akan hujan sehingga perjalanan kami aman, melewati
jalanan Jogja yang kecil-kecil dan sempit. Sewaktu mendekati gerbang Parangtritis,
Adi membelokkan kemudi untuk melewati persawahan yang tembus ke Jalan
Parangtritis juga. Pemandangannya cukup indah. Tinggian Gunung Kidul terlihat. Setelah
10 menit melewati sawah-sawah ini kami sampai di pantai. Tidak terlalu banyak
yang berkunjung karena sudah terlalu sore. Sayangnya, langit yang berawan tidak
mengizinkan kami untuk melihat matahari terbenam. Namun, perlu dicatat bahwa
ini pertama kalinya aku ke Parangtritis, setelah berkali-kali ke Jogja (IRONIS
KAN). Pantainya lebar dengan ombak yang besar.
Kami sendiri ke pantai untuk bertemu dengan Adenova yang
mau meminjamkan celana training untuk seragamku survei nanti. Ade
sendiri rumahnya dekat dengan pantai. Adzan maghrib tiba-tiba berkumandang,
waktu semakin malam, namun Ade juga masih belum sampai. Selang beberapa menit kemudian
dia datang dengan temannya (atau siapa itu gak tau) dan satu anak kecil. Mengingat
sudah cukup malam dengan angin yang cukup deras, dia lekas pulang karena si
anak kecil tidak memakai jaket dan sejenisnya. Kami juga menyusul pulang
setelah itu.
-
Sabtu, 23 Oktober 2021 -
Pagi hari terasa segar karena hujan dimalam harinya. Hari
ini, ada rencana untuk mengunjungi salah satu tempat wisata terkenal yang
selama berkali-kali ke Jogja, sama, belum dikunjungi. Terletak di Gunung Kidul
adalah Gunung Api Purba Nglanggeran. Aku juga mengajak Dimas untuk ikut dan dia
setuju. Singkat cerita, jam 8-an, Dimas sudah datang. Akhirnya (lagi-lagi) bisa
bertemu kembali. Aku masih sibuk menyiapkan barang bawaan yang tertinggal.
Setelah lengkap, kami berangkat. Aku dibonceng Adi dengan Supra merahnya dan
Dimas sendirian. Kami melewati Jalan Wonosari, namun di Piyungan belok ke arah
Prambanan yang katanya lebih enak. Oke kita ikuti.
Setelah kami melewati suatu pasar, kami sampai di suatu
desa yang lumayan sepi. Semuanya masih berjalan normal hingga tiba-tiba kami dihadapkan
dengan tanjakan yang benar-benar curam. Gas pol dengan gigi 1 pun, di tengah
jalan motor menyerah dan terpaksa Adi harus turun. Sementara aku dan Dimas masih
lanjut menarik gas motor hingga jalan yang lumayan datar. Kami istirahat
sembari menunggu Adi yang sedang “pemanasan” mendaki (HAHAHA). Setelah sampai,
kami lanjut gas lagi hingga menemui jalan aspal yang lumayan enak.
Setelah kurang lebih 15 menit, kami sampai di Desa
Nglanggeran. Desa ini merupakan desa wisata yang baru-baru ini jadi perwakilan
Indonesia di suatu ajang pariwisata internasional. Setelah 5 menit masuk desa, kita
sampai di pintu masuk gunung api purba. Tempatnya bagus, tertata dengan rapih
dan bersih. Waktu itu masih belum terlalu banyak wisatawan yang datang (lihat
dari isi parkirannya), tapi ada. Kami langsung membeli tiket masuk yang harganya
cukup murah. Pendakian langsung dimulai setelahnya.
Terdapat tangga-tangga yang membantu kita untuk naik. Hujan
di malam hari membuat jalanannya menjadi lembab, namun tidak terlalu licin.
Tanjakannya tidak terlalu curam membuat pendakian ini terasa cukup ringan. Setelah
15-20 menit mendaki, kami sampai di suatu dataran dimana kita bisa pemandangan.
Di sisi kiri kami, ada batu buuuuesar yang merupakan intrusi magma
(katanya). Warnanya hitam legam dalam posisi tegak lurus vertikal. Ada beberapa
ukhti-ukhti sedang istirahat disini. Kami juga sama sembari mengambil dokumentasi.
Salah satu ukiran fosil dinosaurus yang ada di jalan menuju puncak |
Salah satu nama gunung yang ada di kompleks pegunungan purba ini |
Setelah tenaga terisi ulang, kami lanjutkan perjalanan.
Setelah ini, kami melewati lintasan dengan bantuan tali dan di beberapa titik,
lintasan berupa celah batu. Cukup ketar-ketir saat melewatinya karena
siapa tau tiba-tiba bergerak dan kita kegencet kan tidak lucu jadinya. Tapi alhamdulillah
aman. Ada dua lintasan celah batu yang kami lewati sebelum kami sampai di
tempat dengan vegetasi. Disana kami beristirahat kembali sebelum lanjut
menapaki jalan yang lumayan datar yang ditutupi dedaunan dan cukup licin. Tidak
lama, kami sampai di puncaknya. Sudah ada banyak orang disini, menikmati
pemandangan dibawah teriknya matahari tengah hari.
Pemandangan dari puncak |
Dimas dan Adi ingat kalau ada suatu jalan menuju gazebo.
Kami turun dari puncak dan mencoba mencari gazebo yang dimaksud. Setelah
melewati semak-semak, kami sampai di gazebo yang dimaksud dengan letak kurang
lebih sama tingginya dengan puncak. Dari sini, kita bisa melihat beberapa
bagian gunung api purba yang karakteristiknya sama. Tampak juga Embung
Nglanggeran dibawah sana. Kami memakan pisang goreng buatan ibunya Dimas yang
terasa nikmat dikala lelah dan panas ini dan minum air. Ada beberapa orang yang
juga menuju gazebo kami tapi kami tidak beranjak dari gazebo karena masih ingin
istirahat.
Yang lebih menarik menurutku dari tempat ini adalah bagaimana
pembentukannya? Soalnya kan katanya gunung api purba, kenapa tidak sampai jadi
gunung api beneran. Selain itu, di papan informasi yang kami temukan sebelum
mendaki, disebutkan ada kawah disini. Namun, kami (aku mungkin ya) tidak
menemukan kawah yang dimaksud. Kembali ke cerita, kami lanjut turun setelah
cukup beristirahat dengan jalan yang beda dengan naik. Kami melewati jalan yang
lebih teduh, walau tanpa payung (HEHE).
Beberapa lintasan terletak disamping batu besar, atau agak
dibawahnya, bahkan diatasnya. Sampai dibawah, ternyata kami sampai di tempat
yang berbeda. Kali ini kami sampai di halaman depan rumah warga. Kami berjalan
keluar, menuju parkiran yang jaraknya sejauh 300 meteran. Tidak berselang lama
beristirahat, kami langsung tancap gas lagi menuju tempat lain. Kali ini, kami
melewati jalan yang berbeda (lagi). Kami menuju Jl. Wonosari dengan jalur yang
naik turun. Hingga akhirnya kami sampai di pertigaan Jl. Wonosari, kami
berhenti untuk mampir beli cendol bogem. Murah sekali, satu mangkok hanya Rp.
3.000 dan aku beli dua mangkok karena merasa sangat kehausan akibat teriknya
hari itu.
Puncak gunung dilihat dari bawah |
Setelah puas, kami lanjut perjalanan menuju kota. Cukup
menyebalkan rasanya karena jalanan yang ramai (akhir pekan) dan cuaca yang semakin
panas. Di jalan, cukup banyak bis-bis besar mengangkut rombongan pariwisata
dari berbagai daerah. Sampai di kota, kami mencari makan. Kami memutuskan untuk
makan lotek, karena aku belum tau apa itu lotek hahaha. Biasanya sih, aku gak
segininya sama kuliner, tapi kali ini rasanya pingin coba kulineran deh. Kami
pergi ke penjual lotek yang diketahui Dimas di perempatan dekat Gembira Loka.
Eh, ternyata tutup! Tapi, di sebelahnya ada yang jual kupat tahu dan kami
berpindah kesitu.
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya menu pesanan
kami tersaji. Kupat tahunya cukup berbeda dengan yang aku rasakan di Salem
maupun Tasikmalaya. Disini kuahnya cair dan kehitaman. Rasanya agak manis, tapi
segar. Enggak tau apa komposisinya tapi ini menurutku lebih enak dibanding yang
dua tadi. Isinya juga cukup banyak dan benar-benar buat kenyang. Satu piring
habis kusantap. Setelah itu, kami pulang ke rumah masing-masing. Beristirahat.
Foto kami saat melewati salah satu celah batu untuk menuju puncak |
0 Comments