Advertisement

Responsive Advertisement

Purworejo Jalur Gunung

 - Selasa, 26 Oktober 2021 -

Hari ini survei penelitian diliburkan, istirahat sejenak setelah kerja keras di Minggu dan Senin. Aku langsung bingung mau ngapain. Rasanya kali ini malas untuk jalan-jalan di Jogja, eh kemana-mana sih tepatnya. Mungkin merasa sudah cukup jalan-jalan disini, sudah lumayan sering maksudnya. Namun, inspirasi datang secara tiba-tiba yang menuntun aku untuk berencana pergi ke Purworejo, yang ada di sebelah barat Jogja dan masih tergolong cukup dekat. Kebetulan ada teman yang tinggal disana yang bisa aku kunjungi, yaitu Nur. H-1, aku menghubungi Nur dan juga mengajak Faqih yang tinggal di Kebumen, untuk ke rumah Nur. Dia setuju.

Hari-H, kira-kira pukul 08.30 WIB, aku berangkat menggunakan Supra milik Adi. Aku memilih untuk lewat Nanggulan, sesuai dengan rekomendasi Google Maps dengan jarak yang lebih dekat, namun medan yang menantang. Agak malas juga lewat Jalan Wates karena jalannya ramai, walaupun medannya santai. Sampai di daerah Nanggulan, Perbukitan Menoreh terlihat menantang di depan mata, alasan dibalik rute berkelok di Google Maps. Ketinggian perbukitan terlihat agak mendung. Nyali sempat ciut karena parno dengan jalan meliuk ini. Apalagi kondisinya basah dan licin. Tapi aku putuskan untuk terus saja.

Perbukitan Menoreh dengan awan hitam menggantung diatasnya

Perlahan, sepeda motor menaiki perbukitan. Tanjakan disini terasa lebih curam dibandingkan dengan jalan menuju Wonosari yang juga sama-sama naik turun. Tapi tak mengapa, tidak jadi masalah karena jalannya sangat bagus dan lebar, untuk ukuran jalan di gunung. Semakin naik, awan semakin dekat dan gelapnya semakin terasa. Benar saja, semakin jauh berkendara, rintik hujan mulai mengiringiku. Aku memilih untuk menerobos karena masih berpikir “ini hanya hujan lokal dan akan cepat reda”. Eh ternyata, setelah menerobos sejauh 3 km-an, gerimis masih turun. Berhentilah aku di setengah perjalanan menuju Purworejo ini.

Nur kukabari mengenai situasiku. Kabar gembiranya, dia mengabari bahwa tidak ada hujan sama sekali di rumahnya. Harapanku muncul kembali akan hujan yang hanya di atas saja ini. Aku coba memakai jas hujan dan kembali berkendara. Setelah 15 menit berkendara, benar saja, hujannya reda. Aku terus saja mengikuti Google Maps yang mengarahkanku untuk keluar dari jalan besar dan menuju jalan kecil diantara hutan pinus. Kuturuti saja dan akhirnya aku melewati suatu pedesaan yang jalannya kecil, berlubang-lubang, dan basah. Sepanjang jalan aku parno jika selip dan rem tidak bekerja. Dengan penuh hati-hati, akhirnya aku berhasil dan selamat.

Jalanan masih tidak berubah hingga 30 menit kedepan. Aku mulai mempertanyakan keberadaan jalan ini sebagai jalan antar kabupaten. Ricek Google Maps dan benar saja, belokan tadi mengarahkanku ke perjalanan yang secara jarak lebih dekat, namun medannya tidak lebih baik. Inilah masalah keduanya, kesasar karena Google Maps, setelah masalah pertama yaitu kehujanan. Setelah melewati suatu jembatan yang sedang dibangun, aku kembali di jalan yang lebar dan benar, yang penampakannya meyakinkan bahwa ini adalah jalan antar kabupaten.  

Perjalanan dilanjutkan dengan pemandangan orang berjualan durian di beberapa titik. Lama-kelamaan jalan menjadi cukup rata dan lurus yang menandakan aku sampai di Kota Purworejo dimana tiada tanda-tanda setelah diguyur hujan. Kering. Menurut Google Maps (lagi), rumah Nur sudah tidak jauh dan setelah beberapa menit, aku sampai. Faqih sudah disana, bersama Rahmat. Kami masuk ke rumah Nur dan bercerita-cerita cukup panjang. Selanjutnya, kami berencana untuk pergi ke destinasi wisata. Kami sepakat untuk ke Mangrove Jembatan Api-Api. Impresi pertamaku, “kok namanya gitu ya?”

Waktu kala itu sudah cukup siang, aku sampai kira-kira pada pukul 11 siang. Tak lama, adzan Dzuhur berkumandang. Setelah menunaikan ibadah, kami berangkat menggunakan mobil Faqih. Sebelum ke mangrove, kami mampir ke kedai ayam geprek rekomendasi dan langganan Nur yang murah dan enak. Benar saja, sampai disana banyak sekali orang yang sedang santap siang, pekerja hingga pelajar. Lokasi kedai ini ada di suatu jalan yang cukup sepi. Belakangan aku menyadari bahwa secara umum, Purworejo itu sepi. Namun, sekolahnya besar-besar gedungnya, megah layaknya universitas.

Kami memesan menu andalan utamanya. Setelah 15 menit menunggu, pesanan diantar. Ayamnya memiliki ukuran cukup besar dibanding dengan harganya. Topping yang diberikan juga aneh menurutku, belum pernah liat sebelumnya. Namun, rasanya enak. Pedas sambalnya juara dan tidak bisa aku habiskan. Teh dingin sebagai penawar pedas ini habis dalam sekejap, bahkan nambah beberapa kali. Untung saja, minuman ini gratis. Selesai makan, kami berangkat kembali. Aku tertidur selama perjalanan.

---

Setelah tertidur selama setengah jam, aku terbangun. Tak lama, akhirnya kami sampai. Tak ada pengunjung lain selain kami hari itu. Berbanding terbalik dengan pada masa jayanya yang menurut penuturan Nur, penuh dengan ibu-ibu pengajian yang sedang dharmawisata. Baguslah, tempat ini jadi wisata pribadi kami. Kami menuju loket dan membayar tiket masuk. Lalu, kami mengikuti penunjuk arah masuk. Loket masuknya menurutku cukup bagus, seperti di tempat wisata elit (duh aku gak tau gimana membahasakannya hehe).

Wisata semacam ini memang umumnya hanya menyediakan jalan yang terbuat dari kayu menembus lebatnya mangrove. Kami lewati semua jalan yang ada, termasuk beberapa jembatan dengan bentuk yang beragam. Ada yang tinggi, bergantung, bahkan menyerupai London Bridge juga. Jembatan ini menyeberangi muara sungai yang membelah hutan mangrove itu sendiri. Banyak tempat untuk berfoto juga yang konon sering dibilang Instagram-able. Nur berkata bahwa dengan kondisi yang sekarang, wisata ini seperti kurang dirawat. Tapi menurutku masih keren karena pengelolanya bisa membuat apa-apa dari bambu. Wisata ini terletak sangat dekat dengan YIA. Menara ATC-nya maupun pesawat mendarat jadi pemandangan juga.

Teman perjalanan kali adalah (dari depan) Faqih, Nur, dan Rahmat


Pemandangan mangrove Jembatan Si Api-Api

Kami coba menyebrang ke sisi selatan sungai yang langsung tersambung dengan pantai selatan. Di kanan kiri jalannya ada tambak aktif dan toko penjual jajanan yang sedang tutup karena sepi pengunjung di hari itu. Kami akhirnya sampai di pantai dengan pasir hitam. Ombaknya kencang dan ada beberapa nelayan yang mancing dari pinggiran dengan benang yang sangat panjang. Tak lama, kami kembali ke mangrove karena udara tengah hari yang menyengat.


Pemandangan di pantai dekat dengan Mangrove Jembatan Si Api-Api

Kami sekarang sedang menuju parkiran dan hendak pulang karena hari semakin sore. Selama perjalanan menuju rumah Nur, aku tidak tertidur dan menikmati jalanan Purworejo yang cukup lebar dan agak sepi dengan persawahan yang asri di sekitarnya. Di suatu titik, ada rel kereta yang melewati tengah sawah, terlihat seperti menuju tidak terbatas dan melampauinya (wow). Setelah sampai di rumah Nur, Faqih dan Rahmat langsung pamit pulang karena ada acara. Aku mampir sejenak untuk istirahat dan ibadah. Akhirnya, menginjakkan kaki di Purworejo.

Alun-alun Purworejo

---

Oke, saatnya kita pulang! Melewati jalanan yang sama dengan saat berangkat. Hanya saja, kali ini aku membiarkan diriku mempercayai penunjuk arah di jalan (bye Google Maps). Langit cukup teduh, perjalanan dari kota terasa cukup nikmat dengan angin sepoi-sepoi. Saat sampai di suatu desa, ada sawah yang luas dengan pemandangan langsung Perbukitan Menoreh yang indah sekali. Aku berhenti untuk mengabadikan momen disana. Pokoknya indah! Beneran indah.

Foto persawahan yang aku ambil di jalan menuju Kaligesing

Setelah puas, aku melanjutkan perjalanan dengan modal insting ini. Kali ini aku agak santai karena tidak diburu apapun. Jalanan meliuk kembali aku lewati. Jelas kali ini terasa lebih mudah dengan jalan yang lebih lebar, tidak licin, dan ramai dengan rumah-rumah penduduk. Walau di beberapa titik ada juga yang sepi dan dikelilingi hutan juga. Namun, rasanya tetap lebih aman dan setelah beberapa lama, aku bertemu dengan simpang tempat aku belok sewaktu berangkat tadi yang mengantarkanku melewati desa-desa tidak jelas.

Aslinya keliatan Jogja dari atas sini, tapi sayangnya aku tidak mengambil foto yang pas

Akhirnya aku memasuki teritori Kulon Progo yang mana kondisi jalannya berubah. Jalanan Purworejo kondisinya baik, namun agak sempit, dan sedikit bergelombang. Setelah melewati perbatasan DIY dan Purworejo, perbedaannya jalan ini terlihat kontras. Jalanan DIY lebih lebar dan mulus lagi, keren pokoknya. Bukannya mau menjelek-jelekkan, cuma baru kali ini aku lihat perbedaan semacam ini. Aku sampai di rumah Adi kira-kira pukul 18.00-an, ketika hari sudah gelap.

Post a Comment

0 Comments