Oke, biar tidak binun, bagian ini terjadi diantara linimasa perjalanan di hari sebelumnya.
- Kamis,
25 November 2022 -
Beberapa hari sebelumnya, entah karena dikontak sama
keluarganya Om Dedy atau emang cuma keingat, Mama ngajak aku buat mengunjungi
Mbah Mitro yang merupakan orang tuanya Om Dedy. Dulu, rumahnya hanya berhelat
beberapa rumah sewaktu di Jember. Sekarang beliau pulang ke tempat asalnya di Purwodadi,
Purworejo. Aku sih gas saja, justru senang hendak bertemu dengan kerabat lama
dan jalan-jalan ke tempat baru dengan orang tuaku. Mama menghubungi Om Tommy
dan untuk memberitahu lokasi pastinya. Oke, tinggal eksekusi.
Motor yang kami gunakan selama disini itu motor matic pinjaman
dari Bude Umi. Sedangkan aku berencana membawa Mama berangkat lewat Wates
karena dekat dengan rumah Mbah Mitro dan pulang lewat Kaligesing. Karena hendak
melewati jalan gunung, aku pesimis dengan motor matic ini. Aku coba
meminjam motor ke Adi dan menitipkan motor matic ini di rumahnya.
Sekalian bertamu dengan orang tuanya Adi waktu balik nanti.
Pukul 07.30, kami berdua sudah menuju rumah Adi. Berbincang
sebentar kemudian langsung lanjut melewati Jl. Wates yang super ramai di pagi
hari ini. Melewati perempatan Pedes, perempatan apa lagi satunya itu, hingga
akhirnya kami sampai di suatu titik dimana tiba-tiba ban motornya geal-geol.
Motor terhuyung-huyung ke kanan dan kiri, penanda kalau benar, bannya ini bocor.
Kami berhenti untuk cek dan ternyata benar. Mau tidak mau, kami mendorong motor
hingga menemukan bengkel. Kok pagi-pagi sudah drama aja ya?
Beruntungnya kami, setelah 200 meter, sudah ada bengkel
yang buka. Kami taruh motor dan istirahat menunggu motor selesai diperbaiki.
Berbincang-bincang dengan Mama selama 30 menit, tak terasa motor sudah selesai
diperbaiki dengan biaya yang murah sekali dibandingkan dengan penambalan di
kota-kota lainnya. Oke kita lanjutkan perjalanan dengan mood-ku yang
sudah mulai bete karena waktu harus mundur karena drama ini.
Sekitar 09.15 an, kami melanjutkan lagi perjalanan. Masih
pukul 9, tapi panasnya rasanya minta ampun. Jalanan yang besar dan minim
tutupan pohon mungkin sebabnya. Kami terjang semua hingga akhirnya kami sampai
di Simpang Terong di Purworejo (ya karena memang ada tugu berbentuk terong
disini). Kami mengambil belok kiri dan 15 menit kemudian, kami sudah sampai di
lingkungan rumahnya Bu Mitro. Kerasa banget Jawa-nya disini. Banyak pepohonan
dengan rumah yang agak longgar-longgar dan tidak jauh dari sawah, beberapa juga
rumah tua.
Bertemu dengan Bu Mitro lantas membawa memori masa kecil.
Teringat dulu beliau tetangga selama masih di Jember. Cucu-cucunya menjadi
teman main kecilku dan seperjuangan selama perantauan di Kalimantan. Sekarang
Bu Mitro tinggal bersama kakak, adik, serta anak pertamanya disini. Kami dijamu
dengan sangat baik meskipun sudah lama tidak bertemu. Bahkan aku tidak pernah
bertemu dengan kakak-nya Om Dedy yang anak pertama tadi, tapi kami tetap senang
karena bagaimanapun, rasanya mereka sudah jadi keluarga sendiri.
Hari sudah mulai panas ketika kami sampai sana. Kami
disuguhi berbagai jajanan dan makan siang juga. Kami coba panggilan video
dengan keluarga Om Dedy di Kalimantan. Namun karena sinyal kami yang jelek,
tidak bertahan lama jadinya. Hari semakin panas. Mengingat perjalanan pulang
kami yang cukup jauh, serta masih mau mampir di beberapa tempat di Jogja, kami
berpamitan pulang. Sebelum pulang, kami sempat masuk ke rumah tua Bu Mitro yang
beneran terasa tua. Furnitur dan semuanya yang ada di dalamnya terasa sangat
tua dan otentik.
Aku memacu sepeda motor menuju Kota Purworejo. Hampir
sampai di Alun-Alun, kesialan alias kelucuan alias drama kedua terjadi.
Tiba-tiba dari bagian belakang sepeda motor terdengar suara aneh yang cukup
keras dan diikuti dengan melambannya motor kami. “Astaga drama apa lagi ini..”
batinku. Aku coba gas, tidak ada perubahan hingga akhirnya motor benar-benar
berhenti, DI TENGAH JALAN! Astaga! Aku mendorong motor ke tepian dan mendapatkan
rantai motor yang terlepas. Kok bisa lepas? Apakah girnya sudah tumpul? Ternyata
tidak sama sekali. Kayak gak habis pikir rasanya kok bisa lepas dengan
sendirinya kaya pas lagi naik sepeda gitu. Aku bawa motor ke Ahass yang ada di
depan kami. Untung saja dramanya terjadi di depan bengkel hahaha.
Setelah selesai, ternyata hanya ditarik biaya Rp. 10.000.
Ternyata tidak suku cadang yang diganti. Hanya rantainya dipasang ulang. Ternyata
sesepele itu (sedih sekaligus senang sih). Setelah ini, aku sempat khawatir
karena motor ini akan dibawa melewati medan yang cukup berat dan butuh kondisi
yang prima. Namun, dengan keyakinan, kami berangkat menuju Kaligesing. Melewati
pusat Kota Purworejo yang lagi-lagi sepi, aneh sekali mengingat ini di Jawa,
bukan di Kalimantan. Kali ini Mama kuminta untuk memandu Maps dan ternyata
beliau bisa setelah diajarin sebentar. Paling tidak, saat di tengah kota tidak
kesasar.
Perbukitan Menoreh yang sudah di depan mata terlihat
megah dengan mega di atasnya. Terlihat hampir sama seperti daerah Gunung Kidul
jika dilihat dari Bantul. Lama kelamaan, jalan yang rata mulai naik. Ada sungai
yang mengalir di sebelah kanan kami. Keinginanku untuk selulup di hari
yang panas seperti ini langsung meningkat. Banyak pepohonan di kanan kiri kami
membuat perjalanan ini terasa teduh, walau kami bepergian di tengah hari. Makanya
aku ajak Mama untuk lewat sini pulangnya, biar tidak kepanasan seperti tadi
pagi.
Jalanan terus naik dan orang berjualan durian sudah semakin sedikit. Waktu pertama kali aku lewat sini, banyak orang yang jual durian dan memang daerah sini adalah penghasil buah durian menurut tutur Nur. Kami melaju dengan santai. Sungguh jalanan ini sangat sayang rasanya jika dilewatkan begitu saja alias tidak dinikmati benar-benar. Pemandangan hutannya sangat asri. Mama merekam perjalanan kami melewati jalanan naik dan meliuk-liuk ini. Untunglah, motor Adi masih kuat. Kalau pakai motor matic, bisa-bisa berhenti di tengah tanjakan.
Foto kami berdua saat di perbatasan Kulon Progo dan Purworejo |
Setelah cukup lama berkendara, kami sampai di perbatasan
DIY Purworejo. Kami berhenti sejenak untuk mendinginkan mesin dan berfoto. Mama
ingin berfoto di tempat ini. Katanya karena banyak pinus di kanan kiri. Setelah
cukup beristirahat, kami lanjut jalan lagi melewati segmen jalanan DIY yang
lebih mulus dibandingkan segmen Purworejo. Naik turunannya pun terasa lebih
landai karena jalanan yang lebar ini. Dari sini, jalanan lebih banyak turun
sehingga aku harus memainkan rem hingga mencium bau gosong. Waduh, bahaya ini
jika diteruskan karena sepertinya kampasnya sudah mulai panas. Akhirnya kami
berhenti.
Sejenak berhenti menunggu kampas dingin, kami segera
berjalan lagi. Lima menit kemudian, kami sampai di persawahan Nanggulan yang
indah karena letaknya dibawah perbukitan. Tak jauh, kami berhenti di suatu
musala untuk ibadah dan lagi-lagi, mendinginkan motor. Setelah ibadah, kami
melanjutkan perjalanan ke Godean untuk bertemu dengan Bude Wening. Sepupunya
Mama yang sudah lama gak ketemu. Kata Mama, kontaknya tiba-tiba hilang dan kehilangan
jejak sejak saat itu.
Setelah 20 menit di jalan, kami sampai di Berjo Wetan,
Godean. Kami bertanya-tanya rumah beliau ke warga sekitar. Namanya juga gak ada
kontak ya. Banyak pengrajin genteng dari tanah liat gitu di kampung ini.
Setelah bertanya-tanya, kami sampai di rumah beliau. Mama langsung melepas
rindu dengan banyak bercerita, sementara aku hanya diam menikmati. Rumahnya
terletak di bawah bukit dengan hutan yang masih lebat. Ada saluran irigasi di
belakang rumah beliau. Kami makan di pinggir Jl. Godean dan setelah maghrib,
kami pamit pulang karena masih ada agenda selanjutnya, menutup jalan-jalan kami
hari itu.
Foto dengan Bude Wening |
Pukul 7 malam, kami masih mencoba memecah kemacetan di
Jl. Godean yang penuh dengan berbagai macam kendaraan. Agenda terakhir adalah
ke rumah Adi, sekaligus mengembalikan sepeda motor. Setelah setengah jam dari
rumah Bude Wening, kami sampai di rumah Adi. Syukurlah, orang tuanya sudah pulang
dari kerja. Orang tuaku berkenalan dengan orang tuanya Adi. Biar Mamaku tau,
selama di Jogja, aku sering menumpang di rumah keluarga yang sangat baik hati
dan dermawan ini. Kami membawakan oleh-oleh khas Kalimantan Selatan yaitu
keripik manday. Entah cocok atau tidak, tapi cuma itu yang terlintas dipikiran
kami.
Setelah beberapa lama, kami pamit pulang. Orang tua Adi
pasti lelah karena kerja seharian dan Mama juga pasti sudah lelah karena
keliling ke banyak tempat hari ini. Terbayang olehku melewati jalan arteri Kota
yang sudah pasti penuh dengan manusia dan bis-bis besarnya. Masih berapa lama
ini sampai ke rumahnya Bude Umi? Sementara aku sudah kepingin rebahan di kasur
rasanya. Hmm, ya sudahlah, jalani saja.
0 Comments