Advertisement

Responsive Advertisement

Tour Guiding Bagian 1

 

Bagian ini, aku ingin menceritakan apa saja yang aku tawarkan ke Dendi selama di Kalimantan (re: diajak kemana saja). Karena tujuannya adalah mengenal lebih jauh Kalimantan, aku ajak dia ke beberapa tempat yang menurutku cukup menjual. Beberapa tempat bahkan baru pertama kalinya aku kunjungi juga. Walaupun aku warga lokal, tapi justru belum kemana-mana. Oiya, tulisan ini bakal aku bagi dalam beberapa bagian agar tidak terlalu panjang. So, let’s dive into the story.

 

- Senin, 29 November 2022 -

Pagi hari, kami hanya bersantai di rumah karena tidak ada yang ingin kami lakukan. Masih terbawa lelahnya hari kemarin mungkin. Selain itu, waktu itu juga masih agak hujan, jadi tidak ada yang bisa dilakukan di luar. Kecuali main-main sama bocah-bocah kehancuran (Farhan dan Amir) yang waktu itu sudah mulai dititipkan lagi setelah satu minggu libur karena babysitter-nya mengambil cuti hehe. Kami hanya merencanakan mau kemana sore ini jika sudah selesai hujan.

Loncat ke sorenya, alhamdulillah cuaca memihak kami. Cukup cerah, sehingga kami bersiap-siap untuk pergi. Tujuan pertama adalah Mangrove Pagatan Besar dan Pantai Takisung. Kayanya ini deh tempat paling terkenal se-Tanah Laut kalau sedang membicarakan pantai. Kami berangkat dan sepanjang jalan, Dendi kagum dengan jalanan di sini yang relatif mulus dan lurus-lurus. Tidak seperti di tempat dia yang sangat berkelok tiada habisnya.

Walaupun perjalanan kami ini kira-kira sejauh 20 km, tidak sampai satu jam kami sudah sampai di lokasi. Senin hari seperti ini, pengunjung relatif sepi. Memang kami yang aneh sih. Disaat orang baru mulai kerja, kita malah jalan-jalan. Kami sekadar berkeliling di area hutan rindang dan menaiki menara pandang yang ada di tengah-tengah hutan. Waktu itu, matahari masih cukup tinggi. Tak ada yang bisa dilakukan selain mengambil foto. Akhirnya kami memutuskan untuk keluar dari area hutan dan memacu motor menuju Pantai Takisung.


Foto di Mangrove Pagatan Besar dan di Pantai Takisung

Kurang dari 30 menit, kami sampai. Pastinya aku gak masuk di pantai bagian utara sungai yang dikelola dan berbayar. Aku ke pantai bagian selatan yang tidak dikelola dan masih digratiskan. Sama seperti hutan mangrove, tidak banyak orang yang kesini. Berbeda sekali dengan akhir pekan yang dipenuhi orang dengan kendaraan yang mereka bawa. Kurang beruntung hari ini karena matahari terbenam tidak terlihat. Ufuk barat dipenuhi awan tipis. Tak apa, sudah cukup mengobati kangen dengan Pantai Kalimantan yang membuat Dendi terheran karena airnya yang coklat (HAHAHA).

 

- Selasa, 30 November 2022 -

Menjajal hobiku selama pandemi, kami berangkat bersepeda di pagi hari. Lagi-lagi, pagi ini tidak cerah, cenderung hendak hujan malah. Tapi kami tetap berangkat menyusuri jalur Ambawang – Sarang Halang – Kunyit. Sampai di tempat biasa aku istirahat, ternyata kami tidak bisa lanjut lewat karena jalan tertutupi air yang saat itu sedang banjir. Tidak terlihat pemandangan persawahan hijau dan digantikan dengan air berwarna coklat dengan riak yang tenang. Walhasil, kami putar balik melewati jalan aspal sepanjang Kunyit menuju rumah.



Kunyit, yang kala itu sedang kebanjiran

Loncat ke sore harinya. Pasca Ashar, aku ajak Dendi ke Sungai Pinang untuk melihat betapa indahnya tempat itu, apalagi jika punya kenangan disana. Dalam 40 menit, kami sudah berada di Trans Sungai Pinang. Sesuai ekspektasi, tak ada yang bisa dilakukan disini selain berjalan-jalan terus mengikuti jalan yang ada hingga akhirnya kami sampai di rumah Pak Bukaman. Beliau ini sering disebut oleh Mama dan Ayah, tapi baru kali ini aku tahu orangnya yang mana. Rumahnya ada di tengah-tengah lahan yang dipenuhi ilalang. Namun, rumah beliau dikelilingi oleh kebun sayur, kolam ikan, dan juga bangunan sarang walet.

Bercerita mengenai bagaimana zaman dulu Trans ini dihuni oleh 50 orang dari Jawa dengan aktivitas yang cukup ramai. Mulai dari bertani, kerja di luar, anak-anak berangkat sekolah, pertemuan di Balai Desa dll. Hingga saat ini, tidak ada lagi orang Trans asli yang bermukim disana karena susah untuk hidup disana. Rumah Pak Bukaman ini masih punya vibes Trans pas zaman awal-awal yang kental banget. Selain letaknya yang ada di tengah-tengah Trans, kondisi rumahnya yang masih kayu dengan kandang ayam dan bebek itu benar-benar bikin vibes-nya terasa. Aku berhasil flashback disini.




Pemandangan di sekitar rumah Pak Bukaman yang sangat "Sungai Pinang"

Setelah satu jam, kami memutuskan untuk kembali ke Pelaihari lagi, menuju Taman Permana yang sedang terkenal karena rumput hijaunya. Setelah satu jam perjalanan, kami sampai di tamannya. Sayangnya langit berawan membuat tempat ini terasa seperti tempat yang malas karena tidak ada aktivitas. Padahal jika ada sedikit saja cahaya dari barat, tempat ini terlihat indah sekali. Oke, karena hari semakin gelap, kami memutuskan pulang dan it’s the end of the day.

 

- Rabu, 1 Desember 2022 -

Hari ini, aku ada rencana sama anak-anak Soto Banjar. Kami mau ngumpul di Danau Seran. Tempat ini dipilih melalui diskusi yang cukup panjang. Akhirnya danau yang belum pernah aku kunjungi ini terpilih dan disepakati jam 10 harus sudah berkumpul. Masing-masing orang membawa camilan untuk dimakan nantinya. Aku bilang jika aku mau membawa turis, namun aku tidak bilang kalau turis yang aku maksud adalah Dendi.

Singkat cerita, kami berdua berangkat pagi-pagi karena ingin membeli bubur Ujang titipan teman terlebih dahulu. Setelah satu jam perjalanan, kami sampai di Banjarbaru. Kami mengantar bubur tadi terlebih dahulu dan kemudian menuju danau yang dimaksud. Ternyata cukup jauh juga dari pusat kota ya. Kurang lebih 20-30 menit kami sampai di danau. Oiya, karena kami gak beli apa-apa dari Pelaihari, akhirnya kami beli jajanan minimarket yang bisa ditemukan dimana-mana wkwkwk.

Sampai di TKP, kami diarahkan untuk parkir. Menuju tempat berkumpul, kami harus jalan terlebih dahulu selama beberapa ratus meter. Setelah sampai, teman-temanku terkejut karena ada Dendi. Sukses kejutanku hahaha. Dijelaskankanlah akhirnya kenapa Dendi bisa ada disini. Yang sudah ada saat ini Rara, Izza, sama Naufan. Kami lalu menunggu Ina dan Dwi yang masih di jalan. Tidak terlalu lama, mereka akhirnya datang. Ina dengan bawaannya yang sederhana, tidak terlalu banyak. Sedangkan Dwi dengan bawaannya yang buanyak dimana-mana, terutama makanan.

Kami menyeberang menuju pulau kecil dengan banyak pohon akasia yang ada ditengah-tengah danau. Ada beberapa pondok yang penampakannya seperti toko jualan makanan namun hanya satu yang masih bertahan. Memang tempat ini sempat terkenal, namun itu sudah beberapa tahun silam. Sekarang sepertinya sudah jarang yang mengunjungi. Teman-temanku saja sudah jarang membicarakan tempat ini. Padahal airnya jernih sekali, cocok buat berenang dengan pemandangan rumput-rumput didasarnya.

Lima menit menyebrang, kami sampai. Kami langsung mencari tempat untuk duduk dan makan-makan. Bicara ngalor-ngidul sembari makan onigiri yang dibawakan satu-satu oleh Dwi. Pembicaraan terasa asik karena sudah lama kami tidak berjumpa. Selama pandemi berlangsung, inilah kumpul-kumpul lengkap pertama kami. Hingga tak terasa sudah agak siang. Sekitar pukul 2 siang, kami memutuskan untuk menyudahi pertemuan ini. Kami kemudian pulang ke tujuan masing-masing.


Titik kumpul: Danau Seran

Namun, rasanya sayang jika ke Banjarbaru hanya ke Danau Seran. Soalnya kan lumayan jauh dari Pelaihari. Aku memberi opsi Dendi pingin kemana lagi. Kalau mau ke mall, ada Q-Mall. Kalau mau ke wisata alam lagi, aku memberi opsi untuk ke Matang Keladan. Dendi memilih Matang Keladan. Oke, kami langsung berangkat dan setelah satu jam, kami sampai di destinasi yang dimaksud. Alhamdulillah cuaca cukup mendukung. Tidak terlalu panas, namun juga tidak terlalu mendung.

Setelah memarkirkan sepeda motor, kami segera menuju jalur pendakian. Untuk mendaki, dikenai biaya Rp. 10.000 kalau tidak salah. Terakhir kali kesini itu tahun 2019 dan sekarang sudah 2021, praktis 2 tahun aku tidak ke tempat ini. Kami berdua sempat menuju jalan yang salah. Untunglah kami bertemu dengan bapak-bapak yang sedang menebang bambu dan kami akhirnya ditunjukkan jalan yang benar. Keadaan jalur pendakian waktu itu agak licin di beberapa titik karena memang sebelumnya sempat ada hujan. Cukup tidak nyaman pendakian kali ini. Selain karena jalannya, aku saat itu memakai baju untuk jalan ke kota yang tidak memadai sekali untuk ke gunung. Namun tetap saja aku terjang hahaha.


Waduk Riam Kanan dari puncak Matang Keladan

Ada dua jalur menuju puncak. Jalur ekstrem dan jalur alternatif. Kami memilih jalur ekstrem yang cukup menanjak dengan pemandangan yang lebih bagus karena lewat pinggiran bukit yang langsung menghadap Waduk Riam Kanan. Setelah 30 menit mendaki, akhirnya kami sampai. Kegiatan di puncak tidak lebih dari mencari angin karena aku kepanasan setelah mendaki. Sementara Dendi sibuk mengabadikan momen dengan kamera ponselnya. Setelah 30 menit diatas, kami kembali ke bawah dan sampai kira-kira pukul 5, cukup sore. Setelah itu, kami tancap gas cukup cepat lewat Mandiangin – Bentok. Pukul 19.30-an, kami akhirnya sampai Pelaihari.

Kami ngide untuk coba makan Soto Banjar. Akhirnya aku tunjukkan warung Soto Banjar yang aku tau. Eh ternyata, harganya cukup mengejutkan. Untuk sepiring soto harganya 23.000! WOW! Padahal ini di warung biasa dan porsinya juga gak banyak-banyak banget. Standar lah. Tapi tidak apa-apa untuk pengalaman pertama beli soto banjar di kampung sendiri. Mulai dulu makannya kalau gak di kondangan, ya di pengajian atau hajatan. Bayangin 12 tahun di Kalimantan, baru ini beli soto banjar sendiri!

 

- Kamis, 2 Desember 2021 -

Setelah tidur malam, lelah setelah satu hari keluar masih terasa. Jadi pagi itu, kami tidak kemana-mana dan hanya di rumah saja. Tapi kami merencanakan untuk pergi ke Bukit Timah sorenya. Menikmati matahari tenggelam dengan pemandangan pesisir barat Tanah Laut. Selepas Asar, kami berangkat menggunakan sepeda motor Vega merahku yang cukup minimalis untuk kami berdua, apalagi Dendi yang badannya besar.

Ada cerita sewaktu kami melewati Desa Sungai Riam. Di pinggiran jalan di desa itu banyak dipasang spanduk-spanduk yang berpesan bahwa “Sapi punya kandang, orang punya jalan, jaga xxxxx”. Aku tidak bisa lihat dengan jelas apa pesan terakhirnya akibat melaju dengan cepat. Setelah melaju sekitar 5 km di jalanan desa ini, 200 meter di depanku ada rombongan sapi sedang berjalan di pinggir jalan tanpa penggembala. Saat aku semakin dekat dengan sapi itu, tiba-tiba tanpa alasan, ada satu sapi yang ke tengah jalan sambil agak berlari. Tanpa alasan karena sapi lainnya masih di pinggir jalan. Hampir saja tertabrak, untungnya masih bisa kuhindari, lebih tepatnya sapinya tiba-tiba minggir lagi.

Ada satu pengendara di belakangku yang menggunakan motor gede. Dia ikut kesal dengan momen tadi dan ikut mengusir sapi-sapi tadi dari tengah jalan. Mungkin inilah maksud dari spanduk-spanduk tadi. Agar pengendara berhati-hati dan pemilik sapi sadar untuk menjaga sapinya. Oke, perjalanan kita lanjut dengan lancar hingga tujuan. Kita sampai di tujuan 30 menit setelahnya, belum terlalu sore. Masih sekitar 1,5 jam dari matahari tenggelam. Kita bersantai, berfoto-foto diatas bukit sambil menikmati angin sepoi-sepoi dan pemandangan.


Panyipatan dari Puncak Bukit Timah

Karena sudah mulai bosan diatas bukit, namun masih belum puas dengan hanya satu tujuan, pun masih ada beberapa waktu sebelum matahari tenggelam, kami memutuskan untuk ke Pantai Batakan Baru yang tidak jauh. Kami sampai disana kira-kira 10 menit dari Bukit Timah. Tak ada yang dilakukan kecuali menikmati pemandangan dan matahari tenggelam. Langit kala itu campuran dari warna biru, jingga, dan merah muda. Sangat indah.




Batakan dengan matahari tenggelamnya yang indah


Post a Comment

0 Comments