- Jum’at, 3 Desember 2022 -
Hari ini, kami memiliki janji dengan anak-anak dari
Banjar untuk jalan bareng ke pantai. Pantai yang disepakati adalah Pulau Datu
(ya paling gak pinggir laut juga lah ya walaupun bukan pantai). Setelah
berunding, hanya Izza dan Rara yang akan ikut. Dua-duanya dari Banjarmasin dan
mereka naik mobil Rara. Pukul 08.30, mereka baru berangkat dari Banjarmasin dan
sekitar jam 10.00, mereka sudah sampai di depan rumahku. Kita berbincang
sebentar sebelum pergi kembali menuju tujuan.
Perjalanan menuju tujuan diiringi langit yang mendung.
Bahkan di beberapa titik, gerimis turun. Pukul 11, kami sampai di Pantai
Batakan. Sudah lama aku tidak kesini sejak ada pantai yang baru. Masih sama
seperti dulu, dengan jajaran pohon pinus dan (tidak mengejutkan tapi tetap
heran) sampah organik dan anorganik dalam jumlah cukup banyak yang
terpinggirkan oleh deburan ombak yang tidak kencang ini. Namun angin waktu itu
cukup kencang dan tidak ada orang sama sekali disana. Karena kurang menarik,
kami akhirnya kembali masuk ke dalam mobil dan melaju menuju masjid untuk
melaksanakan salat Jum’at.
Entah kenapa, Dendi ketawa melihat WC di masjid karena
tempat BAB-nya yang sangat tinggi. Lebih tinggi dari bak air-nya bahkan. Selesai
sholat, kami segera beranjak menuju tujuan. Mobil dikemudikan oleh Izza menuju Pantai
Tanjung Dewa. Sampai disana, tidak banyak pengunjung yang datang. Hanya ada
satu rombongan yang akan ziarah ke Makam Datu Pamulutan di Pulau Datu. Kami
hendak kesana, namun dengan tujuan yang berbeda. Segera kami angkut segala
perlengkapan piknik kami, termasuk siomay satu termos yang dibuat oleh Mama
Rara menuju perahu penyeberangan.
Kami berlayar dengan keadaan ombak di pesisir yang cukup
kencang. Tapi, semakin ke tengah, ombak semakin jinak. Perjalanan 10 menit
menuju Pulau Datu terasa begitu cepat dan entah kenapa tidak seindah waktu
pertama kali kesana. Hanya karena langit yang mendung sih. Kali ini kami
bersandar di sebelah utara pulau, bukan di dermaga aslinya yang ada di sebelah
timur. Ada beberapa perahu disana dengan ukuran yang relatif lebih besar.
Kami turun menyusuri jalur yang tidak dicor, menuju sisi
barat pulau. Dimana jika dilihat dari Google Maps, ada pantai berpasir disana. Melewati
semak-semak yang cukup tinggi, kami akhirnya sampai di bagian pulau yang
berbatu-batu dan menghadap barat. Ombaknya cukup kencang, namun airnya masih
belum terlalu jernih. Angin yang datang cukup deras juga, memunculkan gemerisik
dedaunan pada pepohonan tinggi yang ada di sini. Kami terus berjalan mencari
pantai berpasir yang dimaksud. Setelah sedikit melewati air, akhirnya kami
menemukan pantainya.
Pantai ini cukup kecil. Mungkin total panjangnya hanya 100
meter yang ada pasirnya dengan lebar mungkin maksimum 5 meter. Pasir disini
beda dengan di Pantai Batakan maupun Takisung yang benar-benar pasir. Karena
disini lebih seperti kerikil kecil-kecil dengan campuran hancuran rumah-rumah
binatang laut. Pantai ini diteduhi oleh pepohonan rendah yang membuat pantai
ini terasa sejuk. Sepertinya, airnya bisa dibuat renang karena kelihatannya
tidak dalam. Terdapat mercusuar juga di dekat sini yang bisa diakses dengan
berenang karena cukup di tengah.
Berbagai sisi Pulau Datu (gak semuanya sih) dan kami yang memutuskan untuk selfie di depan batu besar |
Kami menggelar tikar plastik dan mengeluarkan makanan
yang kami bawa. Tidak banyak yang kami lakukan disana kecuali bercerita,
berfoto-foto, bengong, dan bercerita. Kurang lebih kami menghabiskan 2 jam
disana hingga kami sadar kalau airnya sudah cukup naik karena pasang. Tikar
yang tadinya jauh dari air sekarang sudah sedikit demi sedikit terkena cipratan
ombak. Akhirnya kami memutuskan untuk menyudahi main-main kami disini dan
segera menuju dermaga untuk pulang. Perjalanan pulang ditempuh dengan lancar
dan sampai di rumah pukul 4-an.
- Minggu, 5 Desember 2022 -
Setelah satu hari penuh berjalan-jalan di hari Jum’at,
kami tidak ngapa-ngapain keesokan harinya. Rasanya bosan sekali tidak ada
kegiatan seperti ini dan hanya diam di rumah. Keesokan harinya, yaitu Minggu,
kami memutuskan untuk mengunjungi satu tempat wisata yang ramai dikunjungi
orang-orang, baik dari Pelaihari maupun luar Pelaihari, air terjun Bajuin.
Minggu pagi, kurang lebih pukul 08.30, kami memacu
kendaraan menuju Desa Sungai Bakar. Baru pertama kali aku ke tempat ini dan pemandangan
desa dibawah gunung ini sangat tidak familiar. Ada sungai yang airnya mengalir
dengan jernih dan tidak dalam dengan lembah rumput disekitarnya. Kayanya cocok
sekali untuk tempat duduk-duduk menikmati sore. Kami lanjut memacu kendaraan
hingga akhirnya sampai di pintu masuk air terjun.
Ada area parkir yang cukup luas dengan warung-warung
berjualan makanan minuman di sekitarnya. Selain itu, ada beberapa petani yang
ikut menjajakan hasil alam di pinggir-pinggir jalan. Area parkir ini rindang.
Sebelum memasukinya, kami ditarik retribusi terlebih dahulu, namun aku lupa
berapa nominalnya. Letakkan saja kendaraan ditempat yang disediakan. Untuk
menuju air terjun kita harus berjalan mendaki dulu sekitar 1 km. Jalan yang digunakan
untuk mendaki ini sudah disemen, sehingga tidak terlalu susah. Setelah 15 menit
berjalan, akhirnya kami sampai di air terjun yang dimaksud.
Air terjun ini memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan
paling bawah adalah air terjun yang paling tinggi. Terdapat beberapa
gubuk-gubuk dan tempat duduk disini. Tempat yang cukup tinggi ini cocok sekali untuk
melihat pemandangan di bawah. Air yang terjun cukup deras, namun tidak terlalu
dingin. Ada kolam buatan juga dibawah air terjun ini yang bisa digunakan untuk
mandi-mandi.
Pemandangan dari area Air Terjun Bajuin |
Berjalan melintasi jembatan gantung yang terbuat dari
kayu, kita akan menemui aliran air yang banyak dihalangi oleh bebatuan. Mungkin
bisa dibilang ini tingkat kedua kali ya? Tidak banyak orang yang menghabiskan
waktunya disini. Daerah ini tertutupi hutan yang cukup lebat dan tidak ada yang
terbuka sama sekali. Aku dengan Dendi coba terus mengikuti aliran air hingga ke
hulunya hingga sampai di suatu cekungan yang tidak terlalu dalam. Di ujung
cekungan ini terdapat air yang mengalir dari atas, meluncur melewati bebatuan
sebelum jatuh ke cekungan ini. Inilah batas maksimum yang bisa kami jelajahi.
Karena semakin keatas, hutannya sudah semakin lebat dan tidak ada jalan lagi.
Tak banyak yang kami bisa lakukan kecuali hanya
melihat-lihat. Kami tidak tertarik sama sekali untuk mandi-mandi karena malas
kedinginan dan tidak membawa baju ganti. Jadi kami hanya sedikit main air,
lihat-lihat pemandangan, kemudian pulang ketika bosan.
- Senin, 6 Desember 2022 -
Sejak pagi cuaca kurang bersahabat. Langit mendung
menghalangi sinar matahari pagi. Namun, hujan tak kunjung turun juga.
Mengakibatkan kami berdua khawatir dengan kelancaran rencana kami berdua untuk
hari ini. Hari ini kami berencana untuk berangkat ke Banjarmasin, menginap di
rumah Izza untuk kemudian tour di Banjarmasin selama dua hari. Jika
saja hujan langsung turun dengan derasnya pagi ini, kan ada kemungkinan siang
hari sudah cerah dan kami bisa melaksanakan perjalanan dengan damai disore
harinya. Ternyata sekitar pukul 10 pagi, hujan baru mulai turun dengan
intensitas yang kurang deras. Biasanya sih, hujan seperti ini awet.
Sementara hujan turun, kami tetap menyiapkan
barang-barang bawaan. Pukul 14.30, akhirnya hujan cukup reda. Kami memberanikan
diri untuk berangkat sekarang dengan segala kenekatan. Belum jauh berangkat,
masih di Angsau, hujan rintik-rintik kecil mulai menerpa kami. Semakin jauh, di
Pabahanan, butiran hujannya semakin besar yang mengharuskan kami menepi ke
IndoApril untuk membeli jas hujan. Kami membeli jas hujan bening dengan harga
yang bisa dibilang lumayan mahal. Setelah itu kami ibadah terlebih dahulu.
Lepas ibadah, perjalanan kami lanjut dengan intensitas
hujan yang masih sama. Sampai Kait-Kait, jalanan masih basah banget. Sampai di
Banjarbaru, hujan sudah cukup mereda. Kami ke Banjarbaru untuk mengantar
titipan ke Naufan. Namun, setelah melewati Bandara ke arah Banjarmasin,
tiba-tiba hujan menjadi sangat lebat. Benar-benar lebat dan menghalangi
pandangan. Memakai kacamata justru hanya menutupi pandangan dan tidak membantu.
Akhirnya kami melaju dengan sangat lambat, mungkin hanya 30 km/jam. Aku yang mengemudi
takut menabrak lubang dan jatuh atau kali aja terpeleset tanpa sebab kaya waktu
SMA dulu.
Kami melaju terus walaupun sangat lambat dan ternyata
saat sampai di Bundaran Liang Anggang, jalanan cukup kering kaya hujannya cuma
sedikit saja. Padahal bedanya dengan bandara hanya kurang lebih 4 km, namun
beda intensitasnya sangat signifikan. Benar saja, sepanjang dari Liang Anggang
hingga Gambut jalanan terus semakin mengering. Namun kami tidak melepas jas
hujan kami untuk menghindari kotoran di jalan dan menghangatkan badan. Saat
kami mendekati gapura pintu masuk Banjarmasin, ada kejadian menegangkan.
Jadi waktu itu jalanan cukup padat dengan mobil dan
angkot putih. Kami ada di tengah jalan berusaha keluar dari kemacetan itu.
Tiba-tiba saja, dari pinggir kiri ada beberapa orang dengan pakaian yang
biasa-biasa saja keluar dari mobil. Beberapa dari mereka sudah keluar terlebih
dahulu dan berjalan menuju tengah jalan, berdiri menghadang salah satu angkot
putih sambil menodongkan pistol. Sepertinya mereka ini anggota polisi yang
mungkin sedang menghadang objek yang dicurigai berbahaya. Entah itu narkoba,
teroris, atau apapun itu.
Aku panik ketika melihat pistol. Takut ada salah tembak
ataupun menyaksikan penembakan disana. Aku cepat-cepat mencari jalan untuk
kepinggir jalan dan segera kabur dari situasi itu. Alhamdulillah aku bisa
keluar dari situasi yang menegangkan itu. Tidak sama sekali ada rasa penasaran
dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi disana. Kami terus melanjutkan
perjalanan hingga akhirnya sudah dekat dengan rumah Izza. Kami menepi sejenak
untuk membuka jas hujan kami yang sudah sobek-sobek karena angin di jalan.
Kualitas jas hujan plastik IndoApril sungguh bagus ternyata ya. Kemudian kami
melihat motor kami, sumpah kotor banget!
Tidak lama setelah adzan maghrib, kami sampai di rumah
Izza. Aku langsung meminta air untuk menyiram motor agar terlihat tidak terlalu
kotor. Kami disuruh masuk dan membersihkan diri. Sudah lama tidak bertemu
dengan ibu dan bapaknya Izza. Terakhir waktu pulang ke Pondok Betung setelah
dari pulang kampung yang mana 2-3 tahun yang lalu. Sedikit mengobrol, makan, dan
istirahat, kami melanjutkan kegiatan. Kami keluar untuk membeli STMJ yang ada
di dekat rumah Izza.
Karena malam masih cukup panjang, kami melanjutkan keliling-keliling.
Rencananya kami ingin ke Siring untuk survei tarif naik jukung ke Pasar
Terapung Lok Baintan. Ternyata mahal sekali gaes. Akhirnya kami mengurungkan
niat untuk naik dari situ dan memilih untuk ke Lok Baintannya langsung. Namun,
paman pemilik jukung menawarkan jalan-jalan ke Kampung Biru yang ongkosnya
murah. Hanya Rp. 10.000. Kami setuju dan langsung menaiki jukung beserta
dengan beberapa turis lokal lainnya.
Siring Sungai Martapura di Banjarmasin saat malam hari |
Jukung melaju
perlahan melewati Siring. Saat melewati suatu jembatan, kepala kami hampir
menyentuh jembatan tersebut. Perkampungan di pinggiran Sungai Martapura dicirikan
dengan rumah-rumahnya yang banyak menggunakan model panggung. Cahaya lampu
rumah-rumah terpantulkan oleh air sungai dan terlihat indah. Angin malam itu
cukup kencang dan membuatku kedinginan. Setelah 15 menit menyusuri sungai,
akhirnya kami sampai di Kampung Biru yang waktu itu tidak terlalu terlihat
karena malam. Namun, memang rumah-rumah disepanjang kampung tersebut dicat
warna biru. Jukung melambat saat melewati kampung tersebut.
Setelah sampai di titik akhir kampung, jukung memutar
haluan dan kembali menyusuri sungai untuk pulang ke sandarannya. Pada titik
inilah aku merasa benar-benar kedinginan. Aku tidak ingat aku memakai jaket
atau tidak, yang jelas aku kedinginan. Padahal asyik rasanya malam-malam berada
di atas atap jukung sambil berbincang-bincang. Setelah kami sampai di
sandaran jukung di Siring, kami langsung pulang dan beristirahat di
rumah Izza. Mempersiapkan energi untuk petualangan esok hari di Pasar Terapung
Lok Baintan.
0 Comments