Survei ini adalah survei utama atau metode utama dalam disertasi Bu Ayu. Klaim aku tadi mungkin salah dan subjektif, tapi menurutku memang metode dengan skala paling besar dalam penelitian ini adalah metode ini. Metode ini bertujuan untuk memetakan bawah tanah dengan menggunakan ambient noise. Beda dengan tomografi yang aku kerjakan sewaktu skripsi yang menggunakan waktu tiba gelombang seismik dari gempa bumi sebagai subjek yang bisa mencitrakan penampakan bawah tanah. Kurang mengerti juga sih yang dimaksud dengan noise dengan kategori ambient itu seperti apa. PLOT TWIST! Ternyata jadi topik penelitian masterku!
Peralatan yang digunakan adalah sebuah seismograf
Lennartz yang besarnya sekaleng sosis, digitizer Taurus yang ukurannya
kurang lebih seboks Beng-Beng, terminal untuk listrik, kabel-kabel penghubung,
alas untuk menaruh sensor yang kami sebut tir, dan timba untuk menutup tanah
diatas sensor. Barang-barang selain timba dan tir kami jadikan satu di
kontainer barang. Kurang lebih ilustrasi pemasangannya seperti ini.
Ilustrasi pemasangan alat di masing-masing titik |
Timba, tir, kontainer, dan terminal merupakan barang yang dipersiapkan (maksudnya baru dibeli atau dibuat) sebelum survei dan menjadi barang inventaris Stageof. Sedangkan sensor dan digitizer dipinjam dari Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG. Jumlahnya tidak banyak, namun aku juga tidak tahu pastinya berapa. Yang jelas tidak sebanding dengan jumlah titik yang akan disurvei. Sehingga dalam pelaksanaannya, surveinya dibagi menjadi beberapa sesi atau waktu.
Perempatan Masjid Agung Bantul yang sering kami lewati selama survey |
Pemandangan dari Kedai Kopi Natadamar |
Pemandangan dari Laut Bekah, salah satu tempat pemasangan alat dimana akses menuju sana, hmm yummy! |
Anggap saja sensor dan digitizer yang dipinjam ada tujuh
jumlahnya yaa. Jadi tujuh sensor ini akan ditempatkan di tujuh titik yang
berbeda dengan lokasi yang (biasanya) berjauhan. Namun, kadang juga ada yang
berdekatan. Kurang mengerti juga aku sih, kenapa direncanakannya seperti itu karena aku
tidak ikut dalam tahapan perencanaan dan hanya "ngikut" saja selama survei. Tapi
sejauh yang aku pahami, agar lintasan/raypath seismik yang didapatkan itu
bagus.
Berbicara mengenai lokasi, titik yang di survei ini cukup
luas. Membentang dari Kulon Progo hingga ke Gunung Kidul, bahkan Klaten.
Benar-benar melingkupi porsi yang lumayan besar dari wilayah DIY dan melintasi
Sesar Opak dari barat ke timur. Jarak antar titik adalah 5 km garis lurus.
Kalau kita mengikuti jalan yang ada, yang mana pasti berkelok-kelok, jadinya pasti lebih dari 5 km kan. Setiap titik akan direkam
datanya selama kurang lebih 2 minggu. Jadi, misalnya hari ini kita menanam
sensor di titik A, maka dua minggu kemudian sensor tersebut akan diangkat dan
diunduh datanya. Kemudian, sensor ini akan ditanam kembali di titik yang
berbeda sesuai dengan persetujuan dimana titik penanaman selanjutnya. Biasanya
perencanaan penanaman titik selanjutnya ini akan dilaksanakan sehari sebelum pelepasan sekaligus penanaman.
Karena jarak antara titik yang cukup jauh serta barang
bawaan yang banyak, maka survei dilaksanakan menggunakan mobil. Dua mobil yang
biasa digunakan adalah Avanza Putih milik bu Ayu dan Hilux milik Stageof untuk
dua tim. Tidak selalu dua tim yang berangkat. Ada kalanya hanya satu tim yang
berangkat jika memang jadwal lepas dan pasang sensornya tidak untuk banyak
titik. Jumlah titik yang dikunjungi tidak pasti dalam sekali berangkat.
Tergantung dengan kondisi saat itu.
Hal lain yang mau aku bahas (biar aku ingat kaya gimana masang alat) adalah pemasangan alat.
Alat dipasang di titik-titik yang sudah ditentukan. Biasanya, sebelum benar-benar memasang, kami akan
menyurvei titik tersebut, meminta izin ke perangkat desa, lalu mencari lokasi yang paling memungkinkan untuk
dipasangi alat. Lokasi yang memungkinkan ini adalah yang dekat dengan rumah
penduduk untuk menjamin sumber listrik, namun tidak terlalu dekat dengan sumber derau
seperti aliran air, deru mesin, maupun jalan, serta tentunya lebih bagus lagi
jika tanah atau batuannya keras. Kami lalu akan meminta izin kepada yang punya rumah untuk melaksanakan
penelitian ini. Bisa saja proses perizinan ini dilakukan hari ini dan pemasangan 2
atau bahkan 5 hari kedepan. Tergantung ketersediaan alat.
Alat akan ditanam di kedalaman ±50 cm dibawah tanah. Biasanya, saat survei, kami meminta tolong warga untuk dibuatkan lubang dengan kriteria tertentu. Tentunya juga, ada imbalan yang disiapkan. Jadi nanti saat kami datang untuk menanam alat, lubang galian sudah tersedia. Kami bekerja sama memasang alat dengan konfigurasi seperti diatas. Tak jarang saat memasang kami juga bercengkerama dengan warga sekitar. Mengobrol ngalor-ngidul atau bercerita mengenai pengalaman mereka saat gempa Jogja 2006. Tak jarang juga kami dijamu, diberi minuman, makanan hasil kebun oleh warga sekitar. Ya Allah, padahal kami disini yang merepotkan, kok malah dijamu (terharu). Namun, memang begitulah sudah budaya dari warga sekitar dan itulah yang aku senang dari survei ini. Bisa mengenal dan bercengkrama dengan warga, walaupun tidak mengenal jauh.
Setelah selesai memasang, biasanya kami akan bilang untuk
menitipkan alat serta minta tolong agar menjaga area sekitar alat dari
gangguan. Selesai itu, kami akan pergi menuju titik selanjutnya (jika ada) atau
makan siang jika memang sudah waktunya. Gara-gara survei ini, aku jadi tau
tempat-tempat makan di sekitaran Jogja. Banyak sekali yang kami kunjungi dan
tentunya semuanya belum pernah aku coba. Karena memang aku tidak pernah
menyasar kuliner jika sedang berwisata. Selalu saja wisata-wisata alam yang aku
tuju.
Untung saja, mayoritas warga yang rumahnya ingin dijadikan tempat bersemayamnya alat selama dua minggu ini, menyambut dengan baik. Tentunya kami juga menjelaskan dengan jelas maksud dan tujuan kami serta apa manfaatnya untuk masyarakat. Mereka tidak takut dengan usaha ini. Namun, ternyata ada juga yang takut dengan apa yang kami lakukan ini. Takut karena dikira ini memicu gempa. Padahal, kami disini justru mau meningkatkan pengetahuan mengenai sumber gempanya itu sendiri. Yah, itulah dinamika umum dalam pekerjaan ini dan disini jadi sarana belajar bahwa pengetahuan kebencanaan masyarakat kita ini masih ada yang belum benar.
Oh ya, alat yang aku bicarakan tadi itu merupakan alat untuk
survei temporal selama dua minggu dan dipindah-pindah ke berbagai lokasi. Ada juga alat yang ditanam di beberapa titik tertentu dengan
jumlah yang sedikit, selama dua bulan penuh. Digitizer yang digunakan berbeda,
yaitu digitizer Pegasus. Kalau tidak salah, digitizer ini lebih susah
mendapatkan sinyal GPS, namun lebih handal dalam proses unduh data. Bisa
mencapai puluhan Mbps sehingga proses sedot data berjalan sangat cepat. Nah, karena sensornya ditimbun cukup lama, biasanya
lubang galiannya saat akan dibongkar, tidak akan terlihat lagi bekasnya karena sudah rata dengan tanah
sekitarnya. Apalagi waktu itu musim penghujan, sehingga sedimentasi dari aliran air cepat
terjadi. Bahkan ada juga yang sampai ditumbuhi rumput kembali dan tanahnya jadi keras kembali.
Survei ANT modelan ini berlangsung dari September-jika tidak salah, jauh sebelum aku ke Jogja-dan masih lanjut hingga Februari, saat aku ke Jogja kembali setelah pemberkasan di Kampus. Waktu yang lama bukan?
---
One funny, yet dramatic story
Suatu hari, hujan cukup deras di wilayah Yogyakarta dan waktu itu harusnya kita mengunduh data. Namun, tugas ini dikerjakan oleh mahasiswa yang sedang Kuliah Praktik dan salah satu mahasiswa melaporkan bahwa di satu titik, ada yang tempatnya terendam air beserta gambarnya. Tanpa ba bi bu, mas Ucup langsung mau gas untuk cek tempatnya. Aku langsung ke Stageof dan melaju menuju lokasi berdua dengan Mas Ucup. Drama akan dimulai.
Kami berangkat kurang lebih jam 4 sore. Jam 4:30, kami sampai di salah ruas Ring Road Selatan dan ternyata tiba-tiba ban motor yang kami tumpangi bocor. HAH! Kami harus menuntun hingga menemukan tambal ban 500 meter kemudian. Kami menunggu proses penambalan kurang lebih 30 menit dan kemudian memacu gas motor lagi. Tiba-tiba, sudah dekat daerah Potorono, bannya terasa goyang-goyang lagi dan disini cukup susah mencari tambal ban. Pada akhirnya kami tanya ke satu toko dan toko tersebut ternyata bengkel yang sudah tutup karena diluar jam kerja. Alhamdulillah! Akhirnya kami dibantu oleh bapak pemilik toko dan sekalian sholat di masjid di seberangnya.
Setelah kurang lebih 45 menit, akhirnya semuanya selesai dan kami lanjut perjalanan lagi. Di perjalanan, kami kehujanan di jalanan Gunung Kidul yang naik turun, kecil, gelap, dan dikelilingi pepohonan. Namun, pada akhirnya kami sampai dan langsung cek lokasi. Benar saja ada genangan air di atasnya. Kami cek data, masih masuk. Artinya alat di dalam masih berguna dan tidak terefek apapun. Tapi kami tetap memutuskan untuk cek alat dan pasang ulang alat. Akhirnya kami berusaha menggali dan warga yang kami tumpangi untuk pemasangan ini juga ikut membantu. Tanah Gunung Kidul ini benar-benar cobaan! Tanah yang liat sekali dan hujan membantu tanah ini jadi semakin keras. Setelah 1 jam menggali dan menguras, akhirnya kami berhasil mengevakuasi alat yang ada di kedalaman 50 cm ini.
Beginilah kondisinya waktu itu. Menangis melihatnya :') |
Kami segera mengangkat alat yang hampir terendam ini. Kami naikkan, bersihkan semuanya dengan tisu basah dan setelah yakin, kami liat ulang lokasinya, kami perbaiki tanahnya, kemudian kami tempatkan kembali semuanya satu persatu. Hingga akhir proses, semuanya baru terselesaikan di jam 10 malam! Setelah itu kami membersihkan diri kami yang penuh dengan tanah liat. Kami pamit pulang pukul 10:30 dan kembali menyusuri jalanan gelap tadi. Karena kelaparan (Yup! Kita belum makan malam!), kami mampir di Kopi Opak yang ada di bawah jembatan Jl. Wonosari. Kami sampai di Stageof pukul 00:30 dan aku langsung kembali ke rumah Adi lagi. What a tiring and dramatic day!
0 Comments